Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tentara dan polisi yang terlibat dalam bentrokan TNI vs Polri di Sorong harus diperiksa.
Jiwa korsa sudah ditanamkan kepada tentara dan polisi sejak masa pendidikan.
Insiden di Sorong telah mencoreng institusi TNI dan Polri.
KOMISI Kepolisian Nasional (Kompolnas) meminta tentara dan polisi yang terlibat dalam bentrokan TNI vs Polri di Pelabuhan Sorong, Papua Barat Daya, pada Ahad, 14 April 2024, harus diperiksa. Mereka yang terbukti terlibat dalam bentrokan itu harus diberi sanksi karena telah mencoreng nama institusi masing-masing. “Tentu saja bentrokan ini sangat memalukan,” kata komisioner Kompolnas, Poengky Indarti, kemarin, 16 April 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Pungki, pertikaian di Pelabuhan Sorong itu sebenarnya dapat dicegah bila masing-masing pihak bisa menahan diri. Apalagi mereka sama-sama berasal dari institusi negara yang berhubungan dengan masalah keamanan. “Masyarakat berharap mendapatkan perlindungan dari dua institusi tersebut, tapi yang anggotanya justru bentrok.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Poengky Indarti. ANTARA/Laily Rahmawaty
Pendapat serupa disampaikan oleh pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto. Ia mengatakan bentrokan anggota TNI versus Polri itu menimbulkan preseden negatif. Sebab, mereka adalah aparat keamanan yang seharusnya menjaga situasi tetap aman, bukan justru menciptakan suasana sebaliknya. “Mereka sering kali bertikai dan menjauh dari tugas pokok dan fungsinya,” kata Bambang.
Konflik antara anggota TNI dan Polri sudah sering terjadi. Menurut Bambang, masing-masing memiliki semangat korsa (l'esprit de corps), tapi salah dalam menerapkannya. “Perlu ada pembenahan agar tidak terus berulang,” katanya.
Insiden di Pelabuhan Sorong itu terekam kamera closed-circuit television (CCTV). Bermula dari ruang tunggu pelabuhan ketika seorang anggota Brimob Polda Papua—tak mengenakan seragam dinas—mengantar anggota keluarganya yang hendak naik ke kapal. Namun polisi itu dilarang naik ke kapal oleh anggota TNI Angkatan Laut yang bertugas di pelabuhan. Sebab, berdasarkan aturan, pengantar memang tidak diperbolehkan untuk naik ke kapal.
Selanjutnya mereka terlibat adu mulut yang berujung pada perkelahian. Situasi menjadi tidak terkendali setelah masing-masing rekan mereka berdatangan. Enam polisi dan empat tentara terluka akibat bentrokan itu. Sejumlah fasilitas di pelabuhan juga porak-poranda dirusak massa.
Kapolda Papua Barat Inspektur Jenderal Johnny Eddizon Isir mengatakan bentrokan terjadi karena ada kesalahpahaman antara anggota Brimob Batalyon B Sorong dan Polisi Militer TNI AL XIV/Sorong. Dia tidak menjelaskan lebih rinci tentang kesalahpahaman tersebut. “Akan ada penyelidikan secara utuh dan tuntas terhadap personel Brimob yang terlibat,” ucap Johnny.
Polda Papua Barat telah menurunkan Bidang Profesi dan Pengamanan serta Satuan Brimob Polda Papua Barat untuk menyelidiki kasus ini. Intelijen dari Pangkalan Utama TNI AL dan Komando Armada TNI AL juga akan terlibat dalam penyelidikan itu.
Johnny menyatakan permohonan maaf kepada masyarakat dan TNI AL atas konflik yang melibatkan anak buahnya tersebut. Dia mengimbau masyarakat tidak terprovokasi oleh berita bohong. “Jangan terhasut ataupun termakan informasi yang tidak benar,” katanya.
Panglima Komando Armada III Laksamana Muda Hersan menjamin bahwa hubungan TNI dan Polri tidak terganggu oleh insiden di Pelabuhan Sorong itu. Dia memastikan prajurit yang terlibat dalam pertikaian akan diberi sanksi. “Kami tetap menjaga soliditas TNI-Polri,” kata Hersan.
Pengamat militer Ngasiman Djoyonegoro menilai bentrokan anggota TNI vs Polri di Sorong harus menjadi perhatian, meskipun tidak terlalu mengkhawatirkan. Dia yakin pemimpin masing-masing institusi bisa meredam situasi. “Termasuk penanganan pelanggaran dan penegakan hukumnya,” ucap Ngasiman.
Dalam satu dekade terakhir, kata Ngasiman, hubungan TNI dan Polri terbilang baik. Hanya, masing-masing institusi tetap perlu meningkatkan rasa kebersamaan TNI-Polri sejak dalam masa pendidikan. Tidak ada salahnya juga untuk program pendidikan yang mendukung kebersamaan operasional dua instansi. “Mereka juga harus memetakan persoalan relasi TNI-Polri ini secara lebih serius,” kata Ngasiman.
Sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta, Asep Suryana, menjelaskan, pada dasarnya, semangat korsa itu merupakan sebuah konsep kebersamaan dan saling terikat. Bentuk solidaritas ini muncul ketika militer terbentuk sejak zaman dulu. Jiwa korsa ditanamkan kepada setiap anggota satuan militer di setiap negara di dunia. Perasaan itu melekat dengan status sosial bagi mereka yang menjadi prajurit, bagian dari pasukan, dan patuh kepada pemimpin.
Menurut Asep, semangat korsa ini dibutuhkan untuk mereka yang terlibat dalam masalah pertahanan dan keamanan. “Mereka harus saling menitipkan diri, harus membangun jiwa solidaritas,” katanya.
Kapolda Papua Barat Inspektur Jenderal Johnny Eddizon Isir (kanan) bersama petinggi TNI AL saat menggelar konferensi pers perihal kasus bentrokan personel TNI AL dengan oknum anggota Brimob, di Mapolresta Kota Sorong, 14 April 2024. ANTARA/Yuvensius Lasa Banafanu
Seorang prajurit, kata Asep, hidup di bawah tekanan dan harus selalu siap menghadapi pertempuran. Konflik yang muncul akan memperkuat rasa solidaritas di antara sesama anggota. “Solidaritas itu akan makin tinggi ketika merasa senasib di medan pertempuran,” katanya.
Dalam insiden bentrokan TNI vs Polri di Sorong, kata Asep, muncul pemaknaan lain dari jiwa korsa. Mereka tidak lagi bertindak atas dasar benar dan salah, melainkan demi membela teman seperjuangan. Karena itu, jiwa korsa dianggap bisa menjadi investasi hubungan sosial jangka panjang. Ketika ikatan di antara mereka sangat kuat, hubungan yang terjalin itu seperti analogi anggota tubuh: jika satu merasa sakit, maka yang lain ikut merasakan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Hans Arnold Kapisa dari Papua berkontribusi dalam penulisan artikel ini