Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akhir tahun tampaknya bakal menjadi hari-hari sibuk bagi tiga pria belia asal Bandung ini. Di sela-sela jadwal pentas dalam negeri, mereka kembali diundang tur mancanegara. Karena itu, selain menjaga kebugaran fisik, ketiganya perlu memastikan seabrek peralatan manggung mereka selalu berfungsi baik. "Personel kami sedikit, tapi peralatan kami lumayan banyak," kata Yulius Iskandar, Manajer Bottlesmoker, band elektronik asal Bandung itu, pekan lalu.
Pada pekan kedua Desember nanti, Yulius akan bertolak ke Bangkok bersama dua personel Bottlesmoker, Anggung "Angkuy" Suherman dan Ryan "Nobie" Adzani. Mereka akan tampil dalam Big Mountain Music Festival, perhelatan musik terbesar di Thailand tahun ini. Setelah itu, mereka akan menghibur pengunjung sejumlah kafe di ibu kota Negeri Gajah Putih itu. "Untuk bertahan hidup, kami memang mengandalkan hasil pentas," ujar Yulius.
Ya, sejauh ini honor manggung menjadi andalan utama Bottlesmokers. Soalnya, mereka tak memungut royalti atas lagu ciptaannya. Padahal album mereka sudah direkam perusahaan label musik kelas dunia. Album pertama, Before Circus Over, misalnya, direkam Neovinyl Records dari Spanyol pada 2006. Lalu ada album yang direkam Probablyworse Records, Amerika (2008); Misspelled Records, Australia (2011); dan Handshakes Records, Cina (2012).
Angkuy dan Nobie mulai meracik tembang instrumental pada 2005. Saat itu, mereka masih duduk di semester awal di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas PadjaÂdjaran. Berbekal laptop berperangkat lunak Fruity Loops, mereka merekam dan mengolah bebunyian aneka alat musik anak yang mereka mainkan. Kamar kos mereka di kawasan Jatinangor, Jawa Barat, pun sekaligus menjadi studio rekaman.
Pernah ditolak sejumlah stasiun radio dan televisi lokal, Bottlesmoker memilih Internet sebagai media penyebaran musik mereka secara gratis. Situs pengunggah karya kreatif, seperti MySpace dan YouTube, pun menjadi arena petualangan mereka.
Kerja keras itu berbuah manis. Racikan musik mereka terus mendapat penggemar lintas negara. Berkah paling nyata: BottleÂsmoker, yang belum dikenal luas di dalam negeri, berkali-kali tur keliling Asia, seperti ke Malaysia, Filipina, Hong Kong, dan Cina.
Meski menganut paham "berbagi dengan gratis", Bottlesmoker peduli atas hak cipta karya mereka. Mereka pun mencari cara agar karyanya bisa diperbanyak sepanjang tidak diklaim sebagai karya orang lain dan tidak dikomersialkan. Pergaulan BottleÂsÂmoÂkÂer dengan label rekaman dunia memperkenalkan mereka dengan lisensi jenis baru: Creative Commons. "Kami tahu ada lisensi itu pada 2008," ujar Yulius.
Awalnya, Creative Commons merupakan gerakan yang dipelopori Lawrence Lessig, profesor hukum dari Universitas Stanford, Amerika Serikat. Muncul pada 2001, gerakan ini ingin menengahi dua kecenderungan utama yang berlawanan di Amerika, yaitu pemberlakuan hak cipta secara ketat (copyright) di satu sisi dan perlawanan untuk menghapuskan hak cipta (copyleft) di sisi lain.
Lessig dan kawan-kawan melihat penerapan hak cipta secara ketat berpotensi mematikan kreativitas, terutama bagi pencipta pemula. Sebaliknya, penghapusan total hak cipta rawan penyimpangan dan klaim palsu. Padahal, mereka yakin, agar bermanfaat maksimal, setiap karya harus bisa dibagi dan diperbanyak dengan mudah. Pada saat yang sama, jasa si pencipta harus tetap mendapat pengakuan.
Bermarkas pusat di California, Amerika, Creative Commons kini menjelma sebagai organisasi nirlaba dengan jaringan di 72 negara. Sejumlah pusat informasi milik pemerintah dan swasta ternama sudah memakai lisensi ini. Situs resmi kantor Presiden Barack Obama, www.whitehouse.gov, dan situs resmi parlemen Australia, www.aph.gov.au, termasuk yang memakai lisensi ini. Di kalangan media, jaringan televisi dan kantor berita Al-Jazeera serta situs investigasi Huffington Post juga memakai lisensi Creative Commons.
Di Indonesia, afiliasi Creative Commons baru diluncurkan dalam penutupan Konferensi Creative Commons Asia-Pasifik di Jakarta pada 11 November lalu. "Secara sporadis, lisensi ini sebenarnya sudah dipakai beberapa orang sejak pertengahan 2000-an," kata Direktur Proyek Creative Commons Indonesia Ari Juliano Gema pekan lalu. Ari sendiri sudah membubuhkan simbol lisensi ini untuk semua tulisan di blognya sejak 2005.
Lisensi Creative Commons memodifikasi ketentuan hak cipta agar memudahkan penyebarluasan dan penggunaan sebuah ciptaan. Bagi pencipta, menurut Ari, lisensi ini memberi kemudahan untuk berbagi tanpa harus khawatir dicuri. Soalnya, si penciptalah yang menentukan seberapa jauh pihak lain bisa memakai, mengubah, dan memperbanyak ciptaannya.
Bila sebuah karya sudah dibubuhi simbol lisensi Creative Commons (CC), pengguna pun tahu sejak awal seberapa bebas mereka bisa memakai sebuah ciptaan, tanpa harus meminta izin atau bernegosiasi dengan penciptanya. Sepanjang memenuhi rambu yang digariskan, "Pengguna tak perlu khawatir dituntut secara hukum," kata Wakil Direktur Proyek Creative Commons Indonesia Ivan Lanin.
Orang yang ingin mempublikasikan karyanya di bawah lisensi Creative Commons bisa memilih empat aturan main berbagi. Pertama, dengan cara atribusi (attribution). Simbolnya "BY". Pencipta mengizinkan pihak lain memakai, memperbanyak, memodifikasi, dan menyebarluaskan ciptaannya sepanjang menyebutkan nama si pencipta.
Kedua, berbagi secara nonkomersial (noncommercial) dengan simbol "NC". Pencipta mengizinkan pemakaian, penyalinan, pengubahan, dan penyebarluasan karyanya sepanjang bukan untuk mencari keuntungan komersial. "Kalau untuk dikomersialkan, perlu bicara lagi dengan penciptanya," ujar Ivan.
Ketiga, dengan berbagi serupa (share alike). Pencipta membolehkan pengubahan dan penyebarluasan karyanya sepanjang di bawah lisensi Creative Commons yang sama. Simbolnya "SA".
Terakhir, berbagi tanpa turunan (no derivative), dengan simbol "ND". Di bawah ketentuan ini, pencipta mengizinkan pemakaian, penyalinan, dan penyebarluasan hanya dalam bentuk asli ciptaannya.
Penggunaan lisensi Creative Commons tidaklah rumit. Orang tinggal mengunjungi situs www.creativecommons.org. Situs itu akan membimbing bagaimana pencipta menyalin dan membubuhkan simbol yang pas pada karyanya. Selebihnya tinggal "klik". Tak ada uang sepeser pun yang harus dikeluarkan.
Meski mudah dan murah, lisensi ini tak otomatis banjir dukungan. Di Indonesia, menurut Ari, penghargaan atas hak cipta dan prinsip free sharing karya kreatif masih jauh dari merata. Karena itu, juru kampanye lisensi Creative Commons perlu bekerja keras. Sejauh ini Ari dan kawan-kawan baru mendapat dukungan dari komunitas terbatas, seperti pemusik independen dan segelintir akademikus. "Untuk masuk ke pemerintah masih sangat sulit," ujar Ari.
Direktur Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Ahmad M. Ramli mengatakan pemerintah mendukung penerapan lisensi Creative Commons. "Kami melihat manfaatnya lebih banyak daripada mudaratnya." Jika diterapkan di bidang pendidikan, kata Ramli, lisensi Creative Commons menyediakan peluang bagi banyak orang untuk menjadi pintar tanpa harus membayar.
Ramli mengakui memang masih ada ketentuan dalam Undang-Undang Hak Cipta yang perlu disesuaikan dengan prinsip lisensi Creative Commons. Misalnya ketentuan bahwa lisensi yang diberikan pencipta wajib didaftarkan ke Direktorat Jenderal HAKI. Padahal, seperti hak cipta, yang otomatis melekat begitu satu karya dilahirkan, lisensi penyerahan hak pun langsung berlaku begitu diumumkan. "Kami akan mengusulkan revisi undang-undang itu," kata Ramli.
Jajang Jamaludin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo