Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tidur Hillary K. Chimezie sepekan ini tak nyaman lagi. Hampir saban hari warga Nigeria ini mesti meladeni penyidik Badan Narkotika Nasional, yang kerap menginterogasinya hingga larut malam. Petugas gampang mengambil dan mengirimnya kembali ke ruang tahanan lantaran ia kini "menginap" di gedung BNN, Cawang, Jakarta Timur. Di sana dia mendekam di ruang tahanan, yang berada di lantai dasar.
Sebelumnya, Hillary berada di Blok A Lembaga Pemasyarakatan Pasir Putih, Nusakambangan, Jawa Tengah. Sudah sewindu ia di sana. Rabu siang pekan lalu, penyidik "menjemput"-nya. Dia diduga kembali aktif membangun jaringan peredaran narkotik dari Nusakambangan. "Dia kami bon (pinjam) untuk pengembangan," kata Deputi Pemberantasan Narkoba BNN Inspektur Jenderal Benny J. Mamoto.
Bukan cuma Hillary yang dipinjam. Pada hari yang sama, BNN juga memboyong enam penghuni tiga penjara berbeda di pulau seluas 210 kilometer persegi itu. Mereka adalah Humphrey Ejike alias Doktor alias Koko dari LP Pasir Putih, Ruddi Cahyono dan Hadi Sunarto alias Yoyok dari LP Narkotika, serta Obina Nwajagu, Silvester Obiekwe Nwaolise alias Mustofa, dan Yadi Mulyadi alias Bule alias AA dari LP Batu. Semuanya terpidana kasus narkotik.
Sebanyak 25 penyidik dari BNN turun ke Nusakambangan untuk "menyapu" tiga lembaga pemasyarakatan yang jarak antara satu dan lainnya sekitar 400 meter tersebut. Penangkapan kali ini tak dibarengi penggerebekan oleh aparat bersenjata lengkap. Hanya separuh penyidik bersenjatakan pistol di pinggang. Begitu tiba di Nusakambangan, mereka menyerahkan surat permohonan untuk membawa si terpidana. Lalu mereka mendatangi satu per satu penjara itu.
Petugas LP lantas menjemput para tahanan dari dalam sel. Mereka diserahkan kepada penyidik BNN, yang menunggu di ruang tamu. Setelah itu, penyidik memborgol para tahanan dan memasukkan ke bus, yang mengangkut mereka ke Jakarta. Penangkapan kembali para terpidana yang dipimpin langsung oleh Benny ini hanya memakan waktu dua jam. "Mereka sudah satu bulan kami awasi secara intensif," ujar Benny.
Menurut Benny, tak semua terpidana berasal dari jaringan yang sama. Silvester dibon karena diduga terlibat kasus penyelundupan 2,5 kilogram sabu-sabu di Jayapura. Adapun Humphrey diduga terlibat kasus heroin seberat setengah kilogram yang disembunyikan ke dalam 42 butir kapsul. Tiga warga negara Indonesia yang ditangkap hari itu adalah kaki tangan keduanya. Sedangkan Obina diduga menjadi kaki tangan Hillary. "Seluruh jaringan narkoba dikendalikan dari sel mereka," ucap juru bicara BNN, Sumirat Dwiyanto.
Dari semuanya, yang menjadi perhatian khusus BNN adalah Hillary. Dia pernah divonis hukuman mati hingga tingkat kasasi, tapi belakangan majelis peninjauan kembali Mahkamah Agung mengorting hukumannya, menjadi "hanya" 12 tahun penjara. Pengurangan hukuman yang luar biasa itu mendapat sorotan dari berbagai pihak.
Hillary ditangkap pada 2002 dengan bukti 5,8 kilogram heroin, yang ia titipkan kepada dua temannya. Heroin disembunyikan dengan beragam cara, seperti di dalam kaus kaki, talang dapur, wastafel, kotak bekas setrika, dan eternit kamar mandi. Dalam pembelaannya, Hillary membantah tuduhan bahwa heroin itu miliknya. Di persidangan, ia mengatakan datang ke Jakarta untuk berdagang sepatu.
Kepada Tempo pekan lalu, Benny menegaskan bahwa Hillary kembali ditangkap karena ia terlibat kasus baru. Dia diduga aktif lagi berbisnis narkotik antarbenua. Hillary memimpin jaringan tersebut dari dalam selnya.
Aktivitas Hillary terendus setelah BNN menangkap Zakiyah alias Agnes, calon reporter sebuah media cetak, awal November lalu. Agnes tertangkap tangan di depan Sarinah, Jakarta Pusat, membawa 2,6 kilogram sabu-sabu, yang disembunyikan dalam guling. Kepada penyidik, Agnes mengaku diperintah Hillary.
Penyidik kemudian memantau lalu lintas komunikasi Hillary dari dalam penjara. Ia diketahui memiliki sebuah telepon seluler. Lewat telepon itulah Hillary memberi perintah dan menerima informasi dari anak buahnya di luar penjara dan di penjara lain. Dia juga mengatur pembayaran bisnis barang haramnya lewat ponsel. "Ia menggunakan fasilitas mobile banking," ujar seorang sumber Tempo.
Menurut Kepala LP Batu Hermawan Yurianto, perkara telepon seluler yang dimiliki narapidana sudah lama diketahui. Tapi asal-muasalnya tak mudah ditelusuri. "Mereka selalu punya akal," kata Hermawan kepada Tempo. Jika telepon disita, para tahanan akan menyimpan SIM card milik mereka dengan segala cara. "Saya pernah menemukan 10 SIM card dalam nasi bungkus," ucap Hermawan.
BNN juga punya alasan lebih besar untuk mencokok lagi Hillary. Menurut Benny, penangkapan Hillary berkaitan dengan kasus Meirika Franola alias Ola, 42 tahun. Ola diboyong ke tahanan BNN pertengahan Oktober lalu dari LP Wanita Tangerang. Dia dibon karena diduga terlibat lagi jaringan narkotik. "Ada kaitan di antara keduanya dalam hal pendanaan jaringan," kata Benny. Sebelumnya, pada September lalu, Ola mendapatkan grasi dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang membuat hukumannya berubah jadi seumur hidup.
Benny enggan memerinci bagaimana kerja sama Hillary dan Ola. Sumber Tempo mengatakan Ola menjadi bandar di dalam penjara dengan modal dan pasokan narkotik dari Hillary. Rekening yang melibatkan keduanya masih ditelusuri. "Hillary membiayai Ola hingga bisa menerima grasi," ucap sumber itu.
Bagi Ola, Hillary memang bukan orang asing. Suaminya, Tajudin Ganiyu, adalah anak buah Hillary. Tajudin tewas dalam penggerebekan tak lama setelah polisi menangkap Ola. "Hillary punya banyak jaringan karena dia memiliki pabrik narkotik di Nigeria," kata sumber tersebut. Benny belum mau menceritakan omzet jaringan narkotik Hillary. Menurut dia, saat ini penyidik masih mengembangkan penyidikan. "Nanti akan kami ungkap betapa besarnya jaringan ini," ujarnya. Hillary tak banyak bicara saat ditangkap. "Saya bingung mengapa saya ditangkap," katanya dalam bahasa Indonesia.
Pengacara Hillary, Elza Syarief, melakukan "perlawanan" atas pengambilan kliennya oleh BNN. Menurut dia, ada pihak yang sengaja mencegah kliennya bebas dari penjara. Bila mengikuti putusan peninjauan kembali, Hillary akan bebas pada Agustus tahun depan. "Sudah berkali-kali ada yang berupaya agar klien saya tak bebas," kata Elza kepada wartawan Tempo, Fransisco Rosarians.
Adapun Benny menyebutkan justru yang perlu diwaspadai kini adalah langkah sejumlah pengacara yang berupaya mati-matian meringankan hukuman gembong narkotik. Taktik kuno yang dipakai pengacara, kata Benny, antara lain, berupaya memutus kaitan antargembong. "Dibuat skenario agar terlihat tak berhubungan, sehingga menguntungkan mereka," ujarnya. Dengan cara itu, akhirnya terkesan para gembong narkoba tersebut "hidup baik-baik" di dalam penjara. Padahal, dari dalam sel, jaringan bisnis narkoba mereka terus bergerak.
Mustafa Silalahi (Jakarta), Ananda Badudu (Nusakambangan)
Kaki tangan di mana-mana
Hillary K. Chimezie, 43 tahun, hanya butuh satu unit telepon seluler untuk mengatur seluruh jaringan bisnis narkobanya. Dengan telepon itu, dari balik selnya di Penjara Pasir Putih, Nusakambangan, dia mengendalikan belasan orang "di dunia bebas" dan jaringan narkoba lainnya di dalam penjara.
Datang ke Indonesia pada awal milenium lalu, warga Nigeria itu langsung menjadi bandar narkoba nomor wahid.
Bertahap Menuju Hillary
22 Agustus 2002
Polisi menangkap Marlena, warga negara Indonesia, di Vila Melati Mas, Bumi Serpong Damai, Tangerang, karena menjadi kurir heroin 50 gram.
Marlena mengakui barang itu diperoleh dari Izuchukwu Okoloaja alias Kholisan Nkomo. Lalu Okoloaja mengungkapkan ia memperoleh heroin itu dari Michael Titus Igweh. Hari itu juga keduanya ikut ditangkap.
3 September 2002
Hillary Chimezie ditangkap di kediamannya di sebuah wisma di bilangan Kelapa Gading, Jakarta Utara, dengan barang bukti 5,8 kilogram heroin yang ia titipkan ke Okoloaja dan Igweh.
23 Oktober 2003
Pengadilan Negeri Tangerang memvonis Chimezie hukuman mati dan denda Rp 500 juta.
12 Januari 2004
Pengadilan Tinggi Jawa Barat menolak permohonan banding Chimezie.
19 Juli 2004
Mahkamah Agung menolak kasasi Chimezie.
6 Oktober 2010
Majelis sidang peninjauan kembali di Mahkamah Agung, yang terdiri atas Timur P. Manurung (1), Imron Anwari (2), dan Suwardi (3), mengubah vonis mati Hillary menjadi 12 tahun penjara.
Kaki Tangan Hillary
Hillary (LP Pasir Putih, Nusakambangan) <=> pabrik narkoba di Nigeria
Kaki tangan yang terendus (semua nama posisinya sejajar di bawah Hillary):
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo