Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERKAS gugatan setebal sekitar 1.300 halaman itu terbang dari Aceh ke Jakarta pada awal Oktober lalu. Pembawanya Muhammad Nur, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, sertarekannya, Cut Mirna, Syafruddin, dan Muhammad Syahputra. Pada 9 Oktober lalu, gugatan atas Qanun Nomor 19 Tahun 2013 tentang Tata Ruang Aceh itu diserahkan sendiri oleh Muhammad Nur ke panitera Mahkamah Agung. "Ini duplikatnya," kata Nur, menunjuk berkas gugatan setebal bantal di depannya, kepada Tempo.
Walhi menggugat Qanun alias Peraturan Daerah Tata Ruang Aceh karena dinilai melanggar sejumlah undang-undang yang pada ujungnya juga akan merusak lingkungan dan hutan Aceh. Qanun Tata Ruang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada 27 Desember 2013 dan diundangkan pada 3 Maret 2014. Walhi menuding aturan itu bertentangan dengan sebelas undang-undang serta sejumlah peraturan daerah. Antara lain Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Nasional.
Menurut Nur, pembuatan Qanun Tata Ruang juga tak sesuai dengan Qanun Nomor 5 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pembuatan Qanun. Menurut qanun ini, setiap aturan baru mesti memperhatikan hak masyarakat tradisional. Selain itu, proses pembahasan Qanun Tata Ruang dinilai tidak transparan, tak melibatkan kelompok-kelompok masyarakat yang berkepentingan.
Tak semua pasal dipersoalkan Walhi. Organisasi penyelamat lingkungan ini mempersoalkan enam pasal dalam qanun tersebut. Itu, antara lain, meliputi konsideran dan definisi istilah, soal kawasan lindung Aceh, daerah rawan bencana yang dinilai tak memasukkan zona evakuasi, serta tidak diakomodasinya keberadaan Kawasan Ekosistem Leuser.
Walhi menuding DPRA dan pemerintah Aceh tak mengindahkan "arahan" Menteri Dalam Negeri. Sebelum peraturan itu diundangkan, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Keputusan Nomor 650-441/2014 yang berisi evaluasi perihal Rancangan Qanun Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh. Menurut Nur, di situ Kementerian Dalam Negeri memerintahkan Gubernur Aceh menyempurnakan Tata Ruang Aceh itu. Qanun ini, kata Nur, juga tidak memuat perihal keputusan Menteri Kehutanan tentang perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan. Padahal itu semestinya ada. "Kami berharap Mahkamah Agung memutuskan qanun itu dicabut, tidak berlaku," ujar Nur.
Sejumlah lembaga swadaya masyarakat Aceh menyoroti Qanun Tata Ruang itu sejak 2005, saat masih berupa draf. Nur mengingat, mulai 2012, proses pembahasan qanun mulai tertutup. Melihat gelagat "main sembunyi" itu, sejumlah LSM, termasuk Walhi, mulai bersuara keras: menuntut qanun tak disahkan dulu.
Sejumlah LSM juga menghadap Gubernur Aceh Zaini Abdullah. Kepada Pak Gubernur, mereka meminta aturan itu tidak ditandatangani dulu. Mereka melihat banyak hal ditutupi dalam proses pembahasannya. Satu di antaranya hasil analisis Tim Terpadu Tata Ruang Aceh. "Tak pernah diketahui publik," kata Nur.
Tidak adanya klausul Kawasan ÂEkosistem Leuser menjadi hal yang paling disoÂrot. "Itu kawasan strategis nasional, Âpusat koridor dua provinsi, Aceh dan ÂSumatera Utara," kata Nur. Menurut dia, hilangnya nama "Leuser" akan merugikan Aceh. PadaÂhal kawasan itu diatur dalam peraturan presiden lantaran perannya yang demikian strategis, tak hanya untuk kepentingan nasional tapi juga internasional. "Dalam Undang-Undang Pemerintah Aceh, Leuser juga diakui," ujar Nur. Menurut dia, melindungi kawasan ÂLeuser bukan berarti melarang masyarakat setempat masuk ke kawasan itu. "Masyarakat tetap boleh memanfaatkannya, tapi terlarang untuk industri."
Luas hutan yang diatur juga menjadi pertanyaan Walhi. Tim terpadu, kata Nur, ternyata menyetujui pengubahan fungsi hutan seluas 145.982 hektare—termasuk hutan lindung dan konservasi—menjadi area penggunaan lain, yang mencakup area seluas 79.179 hektare. "Ini berpotensi membuka akses terhadap perusakan lingkungan secara sistematis," ujar Nur. "Juga akan bisa terjadi bagi-bagi lahan untuk kepentingan pengusaha."
SEPEKAN setelah gugatan Walhi masuk ke Mahkamah Agung, pemerintah Aceh mendapat surat dari lembaga peradilan tertinggi itu. Mahkamah meminta klarifikasi mengenai gugatan tersebut. Kepada Tempo, seorang anggota staf biro hukum daerah bercerita bagaimana mereka mesti "berjibaku" menyiapkan dan membuat materi untuk menjawab pertanyaan Mahkamah. "Tiga hari kami tidak tidur," ujarnya. Akhir Oktober lalu, giliran Kepala Biro Hukum Pemerintah Aceh Edrian terbang ke Jakarta membawa materi tanggapan gugatan Walhi ke Mahkamah Agung. Edrian menampik anggapan bahwa Qanun Tata Ruang dibuat tidak melibatkan LSM. Pembuatan qanun itu, kata dia, juga melibatkan semua perangkat kerja di Aceh.
Abubakar Karim, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Aceh, menyebutkan Qanun Tata Ruang disusun sejak 2004. "Pembuatan tata ruang itu menjadi prioritas karena aturan tata ruang Aceh terakhir dibuat pada 1995," katanya. Pada 2004, menurut Abubakar, penyusunan dimulai dengan mensinkronkan penataan ruang dengan data di semua kabupaten/kota. Tapi tsunami yang melanda Aceh pada Desember 2004 membuat proyek ini tersendat. "Para ahli yang ikut menyusun data banyak yang tewas." Sejak 2006, penyusunan mulai dilakukan lagi, lalu disesuaikan kembali dengan Peraturan Pemerintah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, yang terbit pada 2008.
Menurut Abubakar, semua proses pembuatan Qanun Tata Ruang melibatkan LSM di Aceh. Pada 2007, kata dia, pemerintah Aceh bahkan membentuk lembaga Aceh Green, yang anggotanya dari kalangan LSM. "Konsep-konsep mereka juga mengisi Qanun Tata Ruang Aceh."
Soal Kawasan Ekosistem Leuser, menurut Abubakar, memang tidak secara tertulis disebutkan dalam qanun. Menurut dia, aturan atas itu akan ditulis lebih rinci pada peraturan gubernur. Menurut Abubakar, itu karena Undang-Undang Pemerintah Aceh memberikan mandat kepada Aceh untuk mengatur wilayah hutannya sediri. "Jadi sebutannya secara umum adalah hutan Aceh, tidak memblok-blok hutan ini dan hutan itu."
Perihal hak kelola adat yang digugat Walhi, Abubakar menegaskan lahirnya qanun berikut pasal-pasal di dalamnya sudah berdasarkan usul 23 kabupaten/kota di Aceh. "Kalau belum diusulkan, ya, tidak dimasukkan." Adapun tentang pengurangan kawasan hutan, hal itu karena sebagian area yang dulunya kawasan hutan telah difungsikan menjadi area publik. "Kawasan itu dikeluarkan dari area hutan karena, misalnya, di sana ada sekolah, masjid, dan fasilitas publik lainnya." Menurut dia, qanun ini sangat penting karena Aceh memerlukannya.
Apa pun alasannya, Walhi menunjuk Qanun Tata Ruang Aceh ini berpotensi besar merusak lingkungan alam Aceh, kawasan Leuser seluas 1,8 juta hektare, yang di dalamnya antara lain terdapat hutan lindung. Menurut Nur, dalam berkas gugatan lebih dari seribu halaman itu, mereka sudah merinci apa dan di mana saja kesalahan peraturan daerah tentang tata ruang itu, termasuk bahayanya bagi masa depan Aceh.
LRB, Adi Warsidi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo