Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kalah Lagi di Pengadilan Pajak

Setelah gagal meloloskan diri dari jerat denda dan pajak di Mahkamah Agung, anak perusahaan Asian Agri kembali keok di Pengadilan Pajak. Bisa menjadi momentum penegakan hukum perpajakan.

17 November 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Senyum lebar menghiasi wajah Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany. Hari itu, Rabu dua pekan lalu, senyum yang sama menghiasi muka Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan Vincentius Sonny Loho, Direktur Keberatan dan Banding Catur Rini Widosari, Direktur Intelijen dan Penyidikan Yuli Kristiyono, serta sejumlah petinggi di Kementerian Keuangan. Mereka semua berada di Ruang Sidang I di lantai 9 Gedung Dhanapala, Kementerian Keuangan.

Senyum sumringah para pejabat itu tak lepas dari putusan majelis hakim Pengadilan Pajak yang baru diketuk. Pengadilan menolak permohonan banding keberatan surat keputusan pajak 2 dari 14 anak perusahaan Asian Agri Group, PT Rigunas Agri Utama dan PT Raja Garuda Mas Sejati. Begitu palu diketuk, para petinggi pajak saling jabat tangan, meluapkan kepuasan mereka. "Saya pikir itu putusan yang sangat adil," ujar Fuad Rahmany sesaat setelah keluar dari ruang sidang.

Hakim ketua majelis Pengadilan Pajak, Didi Hardiman, menyatakan menolak permohonan banding dengan alasan Pengadilan tak memiliki kewenangan mengadili­ permohonan banding yang diajukan Rigunas. Menurut dia, surat ketetapan pajak yang dikeluarkan terhadap Rigunas dan Garuda Mas bukan merupakan keputusan tata usaha negara karena merupakan bagian dari putusan Mahkamah Agung terhadap kasus penggelapan pajak dengan tersangka mantan Manajer Pajak Asian Agri Group Suwir Laut. Hal ini sesuai dengan Pasal 2 huruf e Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara. Karena itu, hakim beranggapan banding tersebut tak memenuhi persyaratan formal. "Dengan demikian, usulan banding tidak dapat diterima," kata hakim Didi.

Namun putusan yang dibacakan Didi itu tak bulat. Hanya hakim anggota Tonggo Aritonang yang mendukung. Satu hakim anggota lain, Djangkung Sudjarwadi, menyatakan pendapat berbeda atau dissenting opinion. Dia menyatakan Pengadilan Pajak berwenang mengadili sengketa itu. Alasannya, dalam beberapa suratnya, Direktorat Jenderal Pajak berpendapat bahwa permohonan banding Rigunas dan Garuda Mas memenuhi ketentuan formal pengajuan permohonan banding. Buktinya, Ditjen Pajak mengeluarkan surat ketetapan keberatan terhadap kedua perusahaan itu.

Djangkung juga membantah jika surat ketetapan pajak Rigunas dan Garuda Mas disebut bukan termasuk putusan tata usaha negara seperti dalam Pasal 2 huruf e Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara. Mantan Direktur Penagihan Direktorat Jenderal Pajak itu mengatakan pengecualian dalam pasal 2 huruf e hanya berlaku untuk putusan perkara perdata. "Sedangkan putusan Mahkamah Agung atas nama Suwir Laut berada di lingkungan kamar pidana sehingga rujukan tersebut tidak tepat," ujarnya.

Putusan ini menjadi angin segar di tengah bayang-bayang penerimaan negara yang tahun ini dipastikan meleset dari target. Dengan putusan itu, Direktorat Jenderal Pajak dapat meraup uang sebesar Rp 75,8 miliar. Total, jika Pengadilan Pajak menolak permohonan banding semua dari 14 anak perusahaan Asian Agri, negara akan mendapat dana sebesar Rp 1,95 triliun. Fuad Rahmany mengatakan satu pesan besar yang termaktub dari putusan ini: wajib pajak tidak mencoba-coba melakukan penyimpangan pajak. "Ini sejarah bagi penegakan hukum perpajakan di Indonesia," ucapnya.

Pihak Asian Agri terkesan enggan berkomentar tentang putusan itu. General Manager PT Asian Agri Freddy Wijaya mengatakan pihaknya belum bisa memberi tanggapan. Menurut dia, Asian Agri belum menentukan sikap: akan menempuh upaya peninjauan kembali atau tidak. Mereka akan mempelajari putusan hakim dulu. "Sampai hari ini kami belum terima putusan­nya," ujar Freddy kepada Tempo.

l l l

Banding terhadap surat keputusan pajak 14 anak perusahaan Asian Agri bermula dari putusan Mahkamah Agung yang memvonis mantan Manajer Pajak Asian Agri Suwir Laut dua tahun penjara dengan masa percobaan tiga tahun. Suwir divonis karena terbukti memanipulasi laporan pajak Asian Agri Group dan menyebabkan negara rugi Rp 1,25 triliun. Selain menghukum Suwir, Mahkamah mengharuskan Asian Agri membayar tunggakan pajaknya plus denda dua kali pajak terutang atau Rp 2,5 triliun. Sanksi denda pidana itu sudah dilunasi Asian Agri pada 18 September lalu kepada Kejaksaan Agung dengan cara mengangsur.

Nah, atas putusan Mahkamah tersebut, Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan 108 surat ketetapan pajak atas 14 anak perusahaan Asian Agri sesuai dengan hitungan Mahkamah Agung sebesar Rp 1,259 triliun. Selain itu, perusahaan dikenai denda Rp 700 miliar sehingga total tagihan pajak mereka menjadi Rp 1,959 triliun.

Asian Agri tak terima dan mengajukan permohonan keberatan kepada Direktorat Jenderal Pajak pada Agustus 2013. Namun, pada 31 Oktober 2013, Ditjen Pajak menolak keberatan itu. Kemudian ke-14 perusahaan itu pun mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Pajak. Sebelumnya, mereka membayar separuh dari total tagihan pajak sebesar Rp 979,5 miliar sebagai syarat mengajukan permohonan banding.

Dalam surat bandingnya, Asian Agri memprotes keputusan Direktorat Jenderal Pajak yang mengeluarkan 108 surat ketetapan pajak itu. Mereka menganggap penerbitan surat itu serampangan, antara lain tidak melalui proses pemeriksaan. Mereka merasa perusahaan-perusahaan tersebut tidak terkait dengan sengketa.

"Tantangan" Asian Agri "disambut" Direktorat Jenderal Pajak. Mereka membentuk tim khusus untuk mengkaji landasan hukum pengeluaran surat ketetapan pajak itu. "Saya langsung menghadapi mereka karena kasus ini cukup serius," ujar Direktur Keberatan dan Banding Catur Rini Widosari.

Di persidangan, tim Catur membantah anggapan bahwa tindakan Direktorat Jenderal Pajak serampangan. Menurut dia, penertiban surat ketetapan pajak sudah sesuai dengan prosedur. Dia menunjuk Pasal 13 ayat 1 Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan yang menyebutkan Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak kurang bayar berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak. Selain itu, dalam pasal 15 undang-undang yang sama disebutkan bahwa Direktorat Jenderal Pajak bisa menerbitkan surat ketetapan kurang bayar pajak jika ditemukan data baru. "Putusan Mahkamah Agung itu termasuk keterangan lain," ujar Catur.

Selama persidangan, Asian Agri menggiring opini agar proses pengadilan lebih berfokus pada penghitungan angka pajak yang disengketakan. Sebab, jika terjadi selisih angka satu rupiah saja, itu akan memberi peluang Asian Agri menang sekaligus menjadi senjata mengajukan permohonan peninjauan kembali atas putusan Mahkamah Agung yang telah ditetapkan pada Desember 2012.

Untuk mendukung argumentasi mereka, tim Direktorat Jenderal Pajak mendatangkan tiga saksi ahli: guru besar hukum tata negara Universitas Parahyangan, Asep Warlan Yusuf; Ketua Jurusan Hukum Administrasi Negara Universitas Indonesia Dian Puji N. Simatupang; dan pakar hukum pidana Universitas Gadjah Mada, Edward Omar Sjarief Hiariej.

Dalam kesaksiannya, ketiga pakar ini menyatakan surat ketetapan pajak yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Pajak termasuk keputusan yang tak bisa disengketakan lagi di peradilan mana pun. Alasannya, surat ketetapan pajak merupakan pelaksanaan atas putusan Mahkamah Agung yang sudah memiliki kekuatan tetap. Satu-satunya cara menganulir surat keputusan itu adalah jika Asian Agri memenangi peninjauan kembali putusan Suwir Laut tersebut. "Hakim akhirnya sepakat dengan kami," ujar Catur.

Sejumlah kalangan juga menyambut dengan lega putusan itu. Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo, misalnya, berharap 12 perusahaan Grup Asian Agri yang masih menunggu putusan mendapat putusan yang sama dengan dua perusahaan yang permohonan bandingnya ditolak itu. Direktur lembaga riset Katadata, Metta Dharmasaputra, mengatakan putusan ini akan menjadi momentum penegakan hukum pajak jika pemerintah dapat memenangi keseluruhan 14 kasus tersebut. Jumlah denda yang dibebankan kepada grup milik taipan Sukanto Tanoto itu adalah yang terbesar sepanjang sejarah. "Hampir Rp 4,5 triliun," ucapnya saat menggelar konferensi pers menyambut putusan itu.

Catur juga memiliki harapan yang sama. "Direktorat Jenderal Pajak pun berharap dapat memenangi 12 perkara lainnya," katanya. Setelah memenangi perkara ini, Direktorat Jenderal Pajak, menurut Catur, akan segera melakukan penagihan. "Batas waktunya satu bulan setelah putusan kami terima harus sudah dilunasi. Jadi kami harus bergerak cepat."

Febriyan, Maya Nawang Wulan, Tri Artining Putri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus