Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dilantik sebagai Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus pada 27 April 2011, Andhi Nirwanto langsung mendapat perhatian publik saat "pasukan"-nya menelisik sejumlah kasus dugaan korupsi yang melibatkan korporasi besar. Perkara yang ditangani tim Andhi mendapat sorotan karena, terutama, dituding tidak ada unsur korupsi di dalamnya. Tidak hanya pada kasus Indosat Mega Media 2 (IM2), tapi juga, misalnya, pada kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia. Pada kasus terakhir ini, "anak buah" Andhi dituding mengabaikan fakta di lapangan bahwa Chevron telah melakukan bioremediasi—hal yang justru menurut Kejaksaan Agung tak ada.
Tapi, di luar itu, pada masa Andhi ini pula tercatat sejumlah kasus dugaan korupsi kakap yang sebelumnya diusut berakhir dengan dikeluarkannya surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Karena itu, tak mengherankan bila Indonesia Corruption Watch mempertanyakan sikap Andhi—sebagai garda terdepan penelisik perkara korupsi—yang terkesan tidak serius mengusut kasus-kasus tersebut.
Salah satunya kasus yang melibatkan Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek. Dia ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus divestasi PT Kaltim Prima Coal (KPC) pada Juli 2010. Namun tiga tahun kemudian, Juni 2013, Kejaksaan mengeluarkan SP3 untuk Awang.
Sebelumnya, dalam kapasitasnya sebagai Bupati Kutai Timur 2002-2008, Awang diduga bersama direksi PT Kutai Timur Energi (KTE) merugikan negara Rp 576 miliar. Kerugian ini berkaitan dengan hilangnya hak membeli saham Pemerintah Kabupaten Kutai Timur dari PT KPC, yang diberi konsesi pertambangan.
Ketika itu, dengan alasan pemerintah Kutai Timur tak sanggup menyediakan dana untuk menguasai 55.800 lembar saham bernilai Rp 576 miliar, Direktur Utama PT KTE Anung Nugroho dan Direktur PT KTE Apidian Tri Wahyudi lantas mengalihkan penjualan hak pembelian saham tersebut kepada PT KTE.
Awang pertama kali diperiksa tim Jaksa Agung Muda Pidana Khusus pada 17 November 2012. Adapun permohonan kasasi Anung dan Apidian, yang sebelumnya sudah dihukum pengadilan negeri, pada 20 November 2012 ditolak oleh Mahkamah Agung. Anung dihukum 15 tahun penjara plus denda Rp 1 miliar serta Apidian dihukum 12 tahun dan denda Rp 1 miliar.
Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung saat itu, Adi Toegarisman, menyatakan keluarnya SP3 karena tak cukup bukti Awang terlibat. Dalam putusan yang sudah in kracht itu, kata Adi, tidak menggambarkan keterlibatan Awang dalam kasus ini. Pada 31 Mei 2013, Awang datang ke Kejaksaan untuk menandatangani berita acara penerimaan SP3 dirinya itu.
Keluarnya SP3 untuk Awang membuat Indonesia Corruption Watch meminta Presiden mengevaluasi kinerja Kejaksaan. "Keluarnya SP3 itu sangat mengecewakan," ucap anggota Badan Pekerja ICW, Emerson Yuntho.
Kasus lain adalah perkara Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum). Berlabuh berbulan-bulan di "gedung bundar", akhirnya kasus skandal korupsi Sisminbakum dihentikan. Kejaksaan pada Mei 2012 mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dengan alasan tidak cukup bukti melanjutkan kasus tersebut.
Sebelumnya, ada empat orang yang tersandung perkara ini. Mereka antara lain bekas Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum, yakni Romly Atmasasmita dan Zulkarnain Yunus, serta mantan Direktur PT Sarana Rekatama Dinamika (PT SRD) Yohanes Waworuntu. Mereka didakwa merugikan keuangan negara sekitar Rp 420 miliar dari, antara lain, hasil pembayaran para notaris untuk mengecek dan pendaftaran badan hukum. Sisminbakum dibuat pada era Kementerian Hukum dipimpin Yusril Mahendra.
PT SRD sendiri, menurut Yohanes, dikendalikan oleh Hartono Tanoesoedibjo, kakak pengusaha Hary Tanoesoedibjo. Kejaksaan pada 24 Juni 2010 menetapkan Yusril dan Hartono sebagai tersangka.
Dinyatakan bersalah di tingkat pengadilan pertama, di tingkat peninjauan kembali, Romly, Zulkarnain, dan Yohanes dibebaskan Mahkamah Agung. Alasan Mahkamah, pungutan Sisminbakum itu bukan uang negara sehingga tidak ada kerugian negara. Ini karena biaya Sisminbakum belum diatur dalam peraturan pemerintah sebagai pendapatan negara bukan pajak. Dengan, antara lain, alasan ini, Yusril dan Hartono "dianugerahi" SP3.
Selain tiga kasus itu, kasus korupsi yang juga mendapat SP3 adalah kasus dugaan korupsi proyek floating crane PT Tambang Batubara Bukit Asam, korupsi pengambilalihan aset PT Kiani Kertas pada 2008, dan kasus korupsi dengan tersangka Gubernur Kalimantan Selatan Rudy Arifin. Rudy ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi pembebasan eks Pabrik Kertas Martapura, yang membuat negara rugi Rp 6,3 miliar. Dalam proyek ini, dia menjabat ketua panitia pembebasan. Pada Juli 2012, Kejaksaan mengeluarkan SP3 untuk Rudy.
Terhadap kritik sejumlah aktivis yang mempertanyakan keluarnya surat perintah penghentian penyidikan tersebut, saat itu Andhi Nirwanto menyatakan keluarnya SP3 sudah sesuai dengan amanat Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. "Kalau tetap kami naikkan, nanti akan bebas," ucapnya.
Pada 19 November 2013, Andhi ditunjuk menjadi Wakil Jaksa Agung. Tapi perkara korupsi korporasi yang dulu dibidiknya hingga kini masih bergulir. Para tersangka kasus itu terus melakukan perlawanan. Mereka menilai menjadi korban ketidakprofesionalan penyidik Kejaksaan. "Saya akan terus mencari keadilan," kata Indar Atmanto, bekas Direktur Utama PT Indosat Mega Media 2 (IM2), yang kini bersiap melakukan upaya hukum terakhirnya: peninjauan kembali.
LRB
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo