SUASANA berkabung memayungi kantor Kejaksaan Agung di Jakarta Selatan, Jumat siang pekan lalu. Jenazah Ferry Silalahi, yang sempat disemayamkan di sana, membuat para anggota korps kejaksaan menundukkan kepala. Berkali-kali, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Sudono Iswahyudi, yang memimpin upacara, mengungkapkan rasa dukanya. ?Semoga cita-cita almarhum bisa dilanjutkan para jaksa, tetap berjuang menegakkan hukum,? ujarnya.
Hari itu juga jenazah Jaksa Ferry akhirnya dikebumikan di sebuah tempat pemakaman di Cibinong, Bogor. Toh, kesedihan tak segera menghilang dari lingkungan kejaksaan. Maklum, hidup Ferry berakhir mengenaskan. Rabu malam pekan lalu, lelaki 40 tahun ini tewas diterjang empat pelor di Palu, Sulawesi Tengah, tempat tugasnya yang terakhir.
Sang jaksa dihabisi empat orang tak dikenal (diduga bersenjata laras panjang) saat ia pulang dari persekutuan doa El Saddai, Gereja Kristen Indonesia. Kebaktian ini digelar saban Rabu secara bergiliran di rumah jemaatnya. Kali itu pengacara Thomas D. Ihalaw di Jalan Swadaya, Palu, menjadi tuan rumah.
Dengan mengendarai Isuzu Panther biru tua, Ferry berangkat dari rumahnya di Jalan Sutoyo pada sekitar pukul 19.00 waktu setempat. Dia ditemani oleh istrinya, Julia Girsang, menuju rumah Ihalaw, yang berjarak sekitar 10 kilometer dari rumahnya. Dihadiri oleh sekitar 30 jemaat, kebaktian usai sekitar pukul 21.30. Hanya, Ferry dan istrinya tak langsung pulang. Mereka berbincang-bincang dulu dengan Ihalaw.
Jaksa yang baru setahun berdinas di Palu tersebut mencurahkan kerisauannya pada pengacara senior ini. Ferry bercerita tentang hidupnya yang tak tenang karena kerap diteror selama bertugas di Tangerang. Saat itu ia menangani berbagai perkara yang cukup berat, antara lain penyelundupan heroin dan pembuatan ekstasi. Salah satu terdakwa yang ditanganinya adalah Ang Kim Soei, yang kemudian divonis hukuman mati (lihat Korupsi, Heroin, dan Terorisme).
Sekitar pukul 22.30 Ferry lalu berpamitan pulang. Tapi baru sekitar 20 meter mobilnya bergerak dari rumah Ihalaw, ia diberondong peluru oleh orang tak dikenal. Pelor meluncur ke arahnya dari kaca depan dan pintu. Empat peluru menembus tubuhnya. Dua mengenai lengan kiri menembus jantung, lainnya di dada dan pinggang bagian kanan. Dalam gelap, Julia membuka pintu mobil dan kabur mencari pertolongan.
Menurut sejumlah saksi mata, para penembak telah lama mengintai Ferry di tempat kebaktian. Tetangga Ihalaw bercerita, sekitar pukul 20.00 sebuah mobil nyaris menubruk pohon di sisi jalan. Ia menduga, pengemudinya menurunkan dua penembak gelap. Dua orang lainnya menyusul dengan dua sepeda motor. Diperkirakan, mereka membidik Ferry dari atas gundukan tanah di kiri-kanan jalan yang gelap.
Julia, yang mengenali ciri-ciri penembak, juga sempat melihat mereka mondar-mandir berjalan kaki di depan rumahnya, sekitar pukul 15.00. Mereka berambut gondrong, berkulit gelap. Menurut tetangga Ferry, orang dengan ciri-ciri seperti itu juga sempat mampir ke tokonya membeli anting besi putih. ?Wajahnya sangar. Hanya satu yang bicara, tiga lainnya diam,? kata si tetangga.
Sejumlah kesaksian tersebut kini menjadi arah polisi mengusut pelakunya. Kepala Polda Sulawesi Tengah, Brigjen Taufik Ridha, menduga penembakan tersebut berkaitan dengan sejumlah perkara yang ditangani Ferry.
Perkara heroin dan ekstasi? Polisi cenderung mengaitkannya dengan kasus teroris yang sedang ditangani Ferry. Terutama perkara dengan terdakwa Fajri dkk., yang kini sudah sampai ke pengadilan tinggi.
Jangan heran, setelah Ferry ditembak, rekan-rekannya yang juga menangani kasus teroris?Edy Dikdaya, Firdaus Jahja, Syahrul Alam, dan Hartana?ditempel ketat oleh aparat. ?Kini kami mendapat pengawalan polisi selama 24 jam,? ujar Firdaus, salah seorang jaksa.
Firdaus, yang juga Kepala Kejaksaan Negeri Parigi, mengaku sempat diteror lewat pesan pendek (SMS). Salah satu pesan yang masuk ke telepon genggamnya berisi: ?Selamat, Pak Firdaus, Kajari Parigi. Apa Bapak tidak melayat di rumah Ferry? Bapak di mana sekarang? Hati-hati, jangan keluar malam.?
Berkaitan dengan kasus terorisme, Ferry sendiri juga pernah diteror. Ini sempat diceritakannya kepada Firdaus. Lima hari sebelum ditembak, almarhum bertemu dengan Fajri, terdakwa kasus teroris yang baru saja divonis pengadilan tinggi. Saat itu Fajri bilang, ?Pak Ferry, kok pintu rumahnya dikunci terus, sih??
Malamnya, Ferry menerima telepon dari seseorang. Dia meminta Fajri dan dua terdakwa lainnya dilepaskan dari tahanan setelah diputus bebas oleh pengadilan tinggi baru-baru ini. Sebelumnya, di Pengadilan Negeri Palu, mereka divonis lima tahun penjara. Sang jaksa menolak permintaan ini karena pihaknya akan mengajukan kasasi. Lalu, masih menurut Firdaus, si penelepon mengancam, ?Bapak tahu akibatnya kalau tidak mengeluarkan mereka!?
Diduga, aksi penembakan merupakan pelaksanaan dari ancaman tersebut. Hanya, pengacara terdakwa Fajri dkk., Tajwin Ibrahim, menolak dugaan itu. Apalagi kliennya telah menang satu babak. ?Kalau itu dilakukan, namanya bunuh diri,? ujar Tajwin.
Kini Jaksa Ferry telah ?beristirahat? dari tugas beratnya menangani kasus terorisme dan juga narkoba. Giliran polisi yang mesti bekerja keras mengungkap motif di balik kematiannya.
Endri Kurniawati, Ecep S. Yasa, Darlis Muhammad (Palu)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini