Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Bersalahkah Nur Usman?

Nur Usman yang diduga terlibat dalam pembunuhan anak tirinya Irwan Bharya ditahan. Berkas polisi cukup kuat. Teror dari penelepon gelap kepada Bob Nasution. Wawancara dengan Nur Usman. (krim)

10 Agustus 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENJELANG pukul 11.00, Selasa pekan ini, sebuah mobil Honda Accord memasuki halaman gedung Kantor Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Seorang pria setengah baya yang berpakaian rapi - berbaju garis-garis merah hijau, dasi merah, dan celana hitam - melangkah turun. Didampingi Pengacara Hotma Sitompul, ia langsung menghadap Djoko Budihardjo, kepala Seksi Tindak Pidana Umum. Pria tadi tak lain Drs. Nur Usman, 55, tersangka baru dalam kasus pembunuhan Roy Bharya - anak tirinya. Sampai berita ini diturunkan, pukul 12.30, Nur Usman masih diperiksa. Tapi, sementara itu, kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, Bob Nasution, menyatakan kepada Bunga Surawijaya dari TEMPO bahwa ia telah menandatangani surat perintah penahanan untuk Nur Usman. Hari itu juga Nur Usman ditahan dan dibawa ke Rutan Salemba. Ia ditempatkan di Blok L nomor 3. Pagi-pagi Nur Usman sudah tahu gelagat. "Yah, apa boleh buat. Saya serahkan semuanya kepada Tuhan. Dialah Yang Maha tahu. Saya tidak akan dendam kepada siapa pun," ujarnya kepada Bunga, dalam perjalanan menuju Kantor Kejari Jakarta Pusat. Kepala Kejaksaan Tinggi Jakarta, Soetanto, S.H., membenarkan adanya perintah penahanan yang didasarkan pada pasal 20 dan 21 hukum acara (KUHAP). "Dasarnya, tidak hanya kekhawatiran tersangka akan melarikan diri, tetapi kekhawatiran tersangka akan menghilangkan barang bukti, mempersulit persidangan, dan sebagainya," kata Soetanto kepada TEMPO. Berkas perkara Nur Usman telah diterima Bob dua pekan lalu. Dan Selasa pekan ini, seperti disyaratkan KUHAP, kepala Polres Jakarta Pusat, Letkol S. Tarigan, menyerahkan tanggungjawab atas diri tersangka kepada Bob. Dalam berkas yang diserahkan polisi, pasal-pasal hukum pidana (KUHP) yang dibidikkan ke alamat Nur memang tidak tanggung-tanggung: 340, 338, 355, 170, 328, dan 311. Artinya, Nur Usman disangka telah melakukan pembunuhan berencana, yang ancaman hukumannya maksimal adalah mati. Bila ini nanti sulit dibuktikan, masih ada tuduhan lain yang tak kurang serunya: melakukan pembunuhan biasa, penganiayaan berat, melakukan, tindak kekerasan, atau penculikan. Barulah, pada tuduhan terakhir, tersangka disebut "hanya" melakukan penghinaan terhadap Nyonya Thea Kirana, 39, ibu kandung Roy. Dan untuk tuduhan yang terakhir ini ancaman hukumannya ringan saja: hanya beberapa bulan. Bob tampaknya merasa puas dengan berkas yang baru diterimanya itu. Sebab, sebelumnya, berkas itu pernah bolak-balik sampai tiga kali. "Saya merasa, pemeriksaan polisi yang terakhir ini cukup kuat. Kalaupun ada yang kurang, bisa dilengkapi dalam persidangan," katanya. Kalau tak ada lagi aral melintang, Bob merencanakan menyerahkan berkas Nur Usman ke pengadilan pekan ini. Untuk maju ke persidangan, ia telah menunjuk Jaksa Timbul Simanjuntak sebagai penuntut umum. Jaksa inilah yang tempo hari membawa Jhoni ke sidang. Dengan diterimanya berkas polisi oleh Bob, yang berarti bahwa dia yakin bukti dan petunjuk yang didapat polisi cukup kuat, berakhirlah spekulasi tentang bisa tidaknya Nur Usman diadili. Ia kini jelas-jelas disebut terlibat dalam terbunuhnya Roy Bharya setahun lalu, tepatnya pada 10 Agustus 1984. Hari itu, Roy,22, yang nama lengkapnya Jeremia Irwan Bharya, diculik dari halaman rumah sakit Jiwa dan saraf Dharma Sakti Jakarta Pusat, saat hendak menemui ayah kandungnya, Dokter Mikail Bharya, direktur di rumah sakit tersebut. Begitu terpegang, Roy dianiaya enam orang pemuda yang dipimpin Jhoni Ayal, 35, dan dinaikkan ke dalam sebuah jip. Bharya mencoba menyelamatkan putranya. Tapi sia-sia saja karena ia, yang sempat menggelantung di pintu jip, ditendang hingga terjerembab ke jalan. Sekitar satu jam kemudian, Roy diantar para penculiknya ke rumah sakit Sumber Waras, Jakarta Barat, dalam keadaan luka parah dan jantungnya tertembus senjata tajam. Mahasiswa tingkat dua jurusan administrasi bisnis University of Southern California, AS, yang sedang berlibur ke Indonesia itu telah tewas. Mei lalu, Jhoni divonis 17 tahun penjara. Rekannya, Doosye Mailauhu, Raymond Picauli, dan Adrianus Cornelius Samena, masing-masing kena 16 tahun, sedangkan Umar Suhandi divonis 6 tahun 6 bulan. Yang belum kena hukum adalah Edy S., yang sampai kini masih buron. Padahal, menurut penuturan rekan-rekannya, Edy itulah yang melakukan penusukan yang menyebabkan kematian Roy. Tentu, saat ini masih terlalu pagi untuk menyatakan tersangka Nur Usman benar-benar bersalah. Hanya, bisanya perkara semacam itu dalam waktu dekat ini bakal diadili karena polisi berhasil menemukan sebuah "kartu truf". Dalam kasus ini kartu itu berupa sepucuk surat, yang memberi petunjuk tentang keterlibatan Nur Usman. Surat tersebut ditulis oleh Jhoni Ayal ditujukan kepada dua orang rekannya, Eddy dan Bambang, keduanya mahasiswa sebuah perguruan tinggi swasta. Tanggalnya 7 September 1984, atau kira-kira tiga pekan setelah Jhoni menyerahkan diri. Dalam surat dengan tulisan tangan itu Jhoni antara lain menulis, "Mengenai proses beta, semua sudah dirobah dengan rapi atas bantuan gajah yang ale dorang maksudkan.... Beta juga kaget waktu diproses kembali, ternyata yang mengatur hal ini adalah gajah yang ale dorang selama ini khawatir dia tetap konsekuen.... Beta sempat bertemu dengan gajah dan beta minta maaf dan dia bilang tenang saja ...." Pada bagian lain disebutkan bahwa Jhoni hanya bisa melakukan komunikasi dengan gajah lewat surat karena belum memungkinkan baginya untuk mengirimkan utusan. Tak lupa, ia mengucapkan terima kasih atas bantuan yang diberikan rekan-rekannya selama itu. "Semoga Tuhan dapat membalas budi baik anda-anda semua," begitu tulis Jhoni dalam menutup suratnya - sebanyak empat lembar buku tulis. Tak kelewat sulit untuk menebak bahwa yang dimaksud dengan "gajah" adalah Nur Usman. Eddy dan Bambang, si penerima surat, menurut sumber TEMPO telah mengakui hal itu. Juga Jhoni membenarkan bahwa yang disebut dalam suratnya sebagai "gajah" tak lain Nur Usman. Yang menjadi tanda tanya: Mengapa pula Jhoni menyebut bahwa Nur Usman yang dikhawatirkan itu ternyata tetap konsekuen? Sumber TEMPO yang lain menyebutkan bahwa hal itu ada hubungannya dengan peristiwa yang dialami Jhoni. Seperti disinggung Jhoni dalam suratnya, ternyata, memang betul bahwa hasil pemeriksaan terhadapnya mengalami perubahan. Dalam Berita Acara Pendahuluan (BAP) yang pertama-tama dibuat, Jhoni jelas menyebut-nyebut nama Nur Usman sebagai orang yang menyuruh dan merestui penculikan terhadap Roy. Tapi dalam BAP yang dibuat kemudian "kalimat-kalimat berharga" itu telah hilang. Kejanggalan ditemukan setelah jabatan kepala Polres Jakarta Pusat diserahterimakan dari Letkol Riyanto kepada Letkol Muharsipin (Riyanto kini menjabat Wakapuslog di Polda Jakarta, sedangkan Muharsipin menjadi Kapoltabes Medan). Disunatnya beberapa kalimat penting itu tentu tidak begitu saja terjadi. Jhoni, yang bersedia mengorbankan diri dengan menjadi penanggung jawab penuh atas tewasnya Roy, diduga telah mendapat semacam imbalan. "Sedang kami selidiki dia agaknya menerima sebuah rumah seharga Rp 200 juta di Jalan Kelapa Kopyor, Jakarta Timur," ujar sebuah sumber. Lima pejabat polisi, termasuk bekas kepala Polres Riyanto, kata sumber itu, telah pula dikirimi amplop tebal berisi uang yang jumlahnya konon Rp 10 juta. Kapolda Jakarta Mayjen Soedarmadji, yang ketika itu baru saja dilantik menggantikan Mayjen Soedjoko, merasa penasaran mendengar berita itu. Kelima perwira polisi dari Polres Jakarta Pusat itu dipanggil. "Mereka mengaku telah coba disuap, tetapi uangnya malam itu juga dikembalikan lagi kepada yang memberikan," kata Soedarmadji. Pengakuan mereka itulah yang memperkuat keinginan SoedarmadJi untuk mengungkapkan kasusnya secara jelas. Antara lain yang terbersit di hatinya: bila Nur Usman tak bersalah, mengapa pula dia mencoba menyogok polisi. Tambahan lagi, ketika Jhoni diperiksa ulang, ia setidaknya dua kali ditelepon Minang Warman, pengacara Nur Usman, menanyakan apa betul Jhoni di setrum listrik. Padahal, katanya, pertanyaan itu tak seharusnya dilontarkan karena Minang 'kan bukan pengacara Jhoni. Soedarmadji, ketika itu, segera membentuk tim yang terdiri dari dua perwira dari Mabes Polri: satu dari Polda Jakarta, dan dua lainnya dari Polres Jakarta Pusat. Kemudian juga membentuk tim lain yang bertugas mem-back up tim yang sudah ada. Untuk memberi spirit, Soedarmadji mengatakan pada mereka, "Buktikan bahwa kalian bukan ayam sayur, tetapi ayam jantan. " Hasilnya memang ada. Antara lain dengan ditemukannya "surat tentang gajah" yang dibuat Jhoni Ayal. Penemuan surat itu punya kisah tersendiri: Dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 6 April lalu, seorang perwira polisi sempat mencatat dialog antara jaksa dan Jhoni. Dari situ tersimpul adanya sepucuk surat yang dibantah keras oleh Jhoni - yang dikirim Jhoni untuk rekannya. Meski tak tahu bagaimana bunyi surat tadi, si perwira yang menjadi penasaran itu segera melakukan penyelidikan. la mencari tahu, siapa saja teman dan relasi Jhoni, lalu menyusup ke dalamnya. Setelah melacak sampai ke Jawa Barat dan Jawa Tengah, ia berhasil mendapatkan surat dimaksud dari tangan Bambang, sekitar awal Juli lalu. Sungguh ajaib bahwa surat itu, yang sudah berumur sekitar 10 bulan sejak dibuat, masih utuh tersimpan. Tentang ini perwira itu mempunyai analisa: si pemegang surat kemungkinan berniat menunjukkannya kepada Nur Usman, dengan harapan akan mendapat semacam incentive. Setelah surat itu di tangan, perwira tadi berusaha mendapatkan contoh beberapa tulisan tangan Jhoni. Berikut surat yang didapat, contoh tulisan itu lalu diperiksakan ke Laboratorium Kriminil (Labkrim) Mabes Polri. Ternyata, tulisan surat itu identik dengan tulisan Jhoni. Setelah perwira itu mendapat kepastian, barulah Jhoni ditanya. Karena bukti tak bisa disangkal lagi, Jhoni tak bisa mungkir: ia mengaku bahwa dialah si pembuat surat. Dia juga mengaku bahwa "gajah" yang dimaksud adalah Nur Usman. Hanya saja, Jhoni tetap menyanggah seolah Nur terlibat dalam kasus pembunuhan terhadap Roy. "Dia tidak tahu apa-apa dalam soal ini," begitu katanya selalu. Benar bahwa ia pernah menerima uang US$ 200 dari Nur Usman. Tetapi, katanya, pemberian itu untuk informasi yang diberikan kepada Nur tentang penyelewengan yang dilakukan Thea, istrinya. Ketika itu, 3 Agustus 1984, atau seminggu sebelum Roy terbunuh, Nur Usman dan Jhoni menemui Nyonya Thea di Bank of America (BOA). Nur segera memberondongkan sejumlah kata-kata kotor kepada Thea. Agaknya karena la telah mendapat pengaduan dari Jhoni tentang perbuatan serong yang dilakukan bekas peragawati itu. Jhoni lantas ikut-ikutan menuding dan kemudian terlibat pertengkaran dengan Roy, yang hari itu menyertai ibunya. Keributan berbuntut panjang. Nur-Thea kian tak akur. Sementara itu, Jhoni, yang merasa terhina karena diejek agar makan nasi banyak-banyak, terus-menerus mencari Roy. Anak muda itu dihubungi lewat telepon, baik ke rumah ibunya maupun ke rumah ayahnya, Dokter Bharya. Adanya ancaman itu memaksa Thea dan Bharya melapor ke polisi. Sayang.. Sebelum polisi bertindak, Roy, pada 10 Agustus 1984, telah keburu diculik dan dihabisi. Ketika mula-mula diperiksa, Jhoni mengaku bahwa Nur Usman berdiri di belakang penculikan dan pembunuhan itu. Jhoni, seperti sudah disinggung di muka, menyatakan bahwa Nur Usmanlah yang menyuruhnya "memberi pelajaran" kepada Roy. Pengakuan itu dicabut dalam BAP berikutnya. Juga, selama persidangan berlangsung, Jhoni menyangkal dengan keras seolah ada campur tangan Nur Usman dalam kasus terbunuhnya Roy Bharya. Penyangkalan itu sedikit banyak membuat pengajuan perkara Nur Usman tersendat-sendat. Dalam berkas pertama yang diserahkan polisi ke kejaksaan, Nur Usman hanya dituduh menghina Thea. Pada berkas kedua, sudah ada kemajuan: Nur dikaitkan dengan peristiwa pembunuhan terhadap Roy. Celakanya, pada berkas ketiga tuduhan tetap sama, tetapi petunjuk atau bukti yang dijadikan dasar tuduhan justru bertambah lemah dan kabur. Akibatnya, oleh pihak kejaksaan, berkas-berkas itu dikembalikan lagi. Pengembalian berkas itu mendorong Soedarmadji bekerja keras. Maka, berkas keempat pun bisa dibuat. Dan kali ini Bob Nasution, yang sejak semula gregetan ingin bisa mengajukan Nur Usman ke pengadilan, tertawa lebar. "Saya ngotot ingin mengajukan perkara ini bukan karena apa-apa, tetapi semata hanya ingin melihat keadilan dan kebenaran ditegakkan," ujarnya. Mayjen Soedarmadji mengakui bahwa penanganan masalah yang satu ini terasa agak alot karena lima perwira di Polres Jakarta Pusat - pada saat awal pengusutan - kemungkinan telah dipengaruhi pihak luar. Salah seorang dari kelima perwira yang dituding menerima suap itu mengaku kepada TEMPO bahwa benar, awal September 1984, Nur Usman datang ke Polres Jakarta Pusat membawa beberapa buah bingkisan. Informasi tentang itu didengarnya ketika ia berada di Polda Jakarta. Kembali ke kantor - Polres Jakarta Pusat - ia menanyakan seberapa jauh kebenaran informasi yang diterimanya: Ternyata, benar. Seketika itu juga, katanya, ia langsung memerintahkan agar semua bingkisan - yang berjumlah lima buah dan sudah berada di tangan empat orang perwira serta satu lagi di atas mejanya dikumpulkan. Dia lantas mengontak Nur Usman. Dan pada sekitar pukul 21.00 Nur datang. "Saya langsung menuding dia dan berkata: Kamu mau mencoba-coba menyuap polisi, ya?" katanya. Dan malam itu juga, disaksikan beberapa anggota reserse, kelima buah bingkisan yang telah disegel diserahkan kembali kepada Nur Usman. Belakangan, kata sumber itu, ia menyesal karena tak langsung saja menangkap Nur Usman malam itu. Tambahan lagi, penyerahan bingkisan yang belum sempat dibuka dan diketahui apa isinya itu tidak disertai tanda terima. Tapi, katanya, esok harinya ia segera melaporkan hal tersebut kepada Kapolda (waktu itu) Mayjen Soedjoko. "Pak Djoko membenarkan tindakan saya. Beliau malah berkata bahwa kalau mau mengirim bingkisan kepada polisi, seperti roti atau kue, boleh saja - tapi nanti, pada waktu Lebaran, supaya bisa dibagi ramai-ramai," begitu ceritanya. Betulkah setelah percobaan penyuapan itu hasil pemeriksaan terhadap Jhoni Ayal yang dituangkan dalam BAP berubah? Bisa saja. Namun, kata perwira itu, yang begitu itu karena sistem pemeriksaan yang dilakukan. "Pada waktu pemeriksaan pertama, mungkin saja terjadi kekerasan sehingga tersangka mengaku begini atau begitu. Sedangkan pada pemeriksaan berikut ia mulai tenang, dan tidak merasa ditekan, sehingga pengakuannya berbeda," katanya. Apa pun yang mempengaruhi hasil BAP yang dibuat kemudian, sumber itu kini merasa disisihkan. Terutama karena ia dialihtugaskan dari Polres Jakarta Pusat ke Polda Jakarta. "Kalau saya salah, periksalah, dan kemudian diadili. Jangan saya 'digantung' begini, katanya. Harapannya mungkin terkabul. Sebab, hari-hari ini, Kapolda Soedarmadji berniat melakukan pemeriksaan secara intensif untuk menjernihkan persoalan tersebut. Ketika dimintai konfirmasi, Mayjen Soedjoko membenarkan bahwa ketika itu seorang perwira dari Polres Jakarta Pusat telah melaporkan terjadinya percobaan penyuapan. Hanya, katanya, "Ketika itu keadaannya masih twilight alias samar-samar." Belum bisa disimpulkan apakah penyuapan itu berhasil atau tidak. Meski tak ada penyuapan, menurut O.C. Kaligis, pengacara Nyonya Thea Kirana, sejak Jhoni disidangkan sebenarnya sudah diperoleh petunjuk tentang keterlibatan Nur Usman. Surat Jhoni yang ditemukan polisi memperkuat dugaan itu. "Benar bahwa surat itu tidak ditujukan kepada Nur Usman. Namun, dari nadanya jelas bahwa Jhoni ternyata masih terus berhubungan dengan Nur Usman," kata Kaligis. Nyonya Thea bahkan tak hanya yakin bahwa Jhoni dan Nur Usman terus berhubungan. "Saya yakin sampai ke tulang sumsum, Nur Usman terlibat dalam kasus pembunuhan Roy," ujarnya dengan nada pasti. Karena keyakinannya itulah, dengan segala daya ia berusaha agar bekas suaminya itu bisa diadili. Pokoknya, kata Okky, adik Thea, "Sampai kapan pun, sebelum kasus ini tuntas, panji bharata judha tetap akan kami pancangkan." Tentu saja, peperangan lewat jalur hukum. Menghadapi "gempuran" bertubi-tubi, Nur Usman terus terang merasa dipojokkan. "Selama setahun ini, saya telah dituduh secara sewenang-wenang," ujarnya, Kamis pekan lalu, kepada TEMPO. Ia menyatakan tak tahu-menahu tentang surat Jhoni Ayal karena tidak ditujukan kepadanya. Juga, karena ia merasa tak mengenal rekan Jhoni yang bernama Eddy dan Bambang. Ia juga menyatakan tidak tahu tentang percobaan penyuapan terhadap kelima perwira di Polres Jakarta Pusat dan rumah seharga Rp 200 juta buat Jhoni. Menurut Nur, ia tak pernah menyerahkan bingkisan uang, dan tentunya juga tak pernah mengambilnya tatkala sogokannya ditolak. Ia menduga, ada orang lain berbuat yang mengatasnamakan dirinya. "Saya telah difitnah," ujarnya dengan tandas. Pengacaranya, Minang Warman, juga membantah tuduhan seolah pihaknya pernah meminta kepada pembela Jhoni Ayal, Rusli Pandika, agar tidak mengait-ngaitkan nama Nur Usman dalam pembelaannya. Namun, ketika ditanya apa pihaknya pernah mengontak Kapolda Soedarmadji dan bertanya tentang pemeriksaan ulang terhadap Jhoni Ayal, Minang agak terkejut. "Coba saya pikir-pikir dulu. Kok, kayaknya saya lupa," katanya, kemudian tertawa. Dan sehubungan dengan rencana penyerahan berkas perkara kliennya dari Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Minang Warman sempat melayangkan surat protes kepada Bob Nasution. Menurut Minang, materi pokok dalam berkas perkara kali ini tak beda dengan yang terdahulu, sehingga keadaannya pun tetap sama: tidak terdapat petunjuk dan bukti kuat mengenai keterlibatan Nur Usman. Karena itu, Minang berpendapat, pengajuan perkara ini ke pengadilan tidak dilandasi hukum, melainkan hanya didasarkan kepada anggapan bahwa kasus ini "sudah terlalu banyak mendapat perhatian masyarakat". (Kesimpulan Minang itu, tampaknya, berdasarkan surat laporan rahasia kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat kepada Kejaksaan Agung yang entah bagaimana bisa ditunjukkan oleh Minang dan Nur Usman kepada TEMPO). Untuk itu, Minang Warman meminta agar berkas perkara Nur Usman tidak diajukan kepengadilan, penuntutan dihentikan. Surat senada oleh Minang Warman disampaikan ke alamat Jaksa Agung RI. Menghadapi protes itu, Bob Nasution tenang-tenang saja. "Sekarang tak usah ribut-ribut. Benar salahnya seseorang 'kan pengadilan nanti yang menentukan," katanya. Memang. Surasono Laporan Didi Prambadi dan Bunga Surawijaya (Jakata)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus