Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
USIA yang dimiliki Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) tinggal dalam hitungan pekan. Wewenangnya akan diambil alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, yang direncanakan terbentuk akhir tahun ini. Toh, lembaga ini masih menunjukkan taringnya. Selasa pekan lalu, KPKPN memanggil tiga pejabat hukum: Maruli Panjaitan (Direktur Pidana Militer Mahkamah Agung), Lalu Mariyun (hakim tinggi Pengadilan Tinggi Jawa Timur), dan Ridwantoro (hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan).
Urusannya? Apalagi kalau bukan tentang laporan kekayaan mereka yang ditengarai tak beres. Pemeriksaan dilakukan oleh sebuah tim di Sub-Komisi Yudikatif KPKPN. Ketiga pejabat itu sudah memasuki tahap pemeriksaan khusus. Artinya, selangkah lagi, jika kekayaan mereka tetap mencurigakan, bisa dilaporkan ke polisi.
Maruli Panjaitan dipanggil karena mantan Kepala Pengadilan Tinggi Militer DKI ini hanya melaporkan hartanya senilai Rp 579 juta. Kekayaan ini antara lain meliputi tanah dan dua bangunan seluas 160 meter persegi di Jakarta Pusat dan 188 meter persegi di Tangerang, Banten.
Padahal, menurut pemeriksa Soekotjo Soeparto, salah seorang pemeriksa, Maruli diduga memiliki sejumlah dokumen kepemilikan tanah seluas 12,5 hektare dan Villa de Ganza di Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat. Ia diduga juga mempunyai tanah 3,5 hektare di Desa Cicurug, tak jauh dari Cidahu. Kalau ditaksir dengan harga tanah Rp 20 ribu per meter, nilainya mencapai Rp 2,5 miliar. Selain itu, Maruli dituding pula mempunyai tanah dan bangunan di Kompleks Taman Kebon Jeruk (Intercon), Jakarta Barat.
Direktur Pidana Militer tersebut membantah semua kecurigaan itu. Katanya, namanya hanya dipinjam Gunawan Santosa, tersangka pembunuh bos PT Asaba, Budyharto Angsono. Ia juga mengaku tak diberi imbalan sesen pun atas jasa ini. "Buat apa saya mencantumkan sesuatu yang bukan milik saya?" ujarnya.
Sejauh ini tim KPKPN kurang mempercayainya. "Mana mungkin hanya dipinjam nama begitu saja," ujar Petrus Selestinus, salah seorang pemeriksa. Ia berencana mengecek keterangan tersebut kepada Gunawan, yang kini ditahan polisi.
Kecurigaan yang sama ditumpahkan pada Lalu Mariyun. Kekayaan yang dilaporkannya sebesar Rp 250 juta. Namun, dia diduga tidak mencatatkan sebuah mobil KIA Carens yang dibelinya dari Rizal Situru—anak J.A. Situru, bekas Panitera Kepala PN Jakarta Selatan. Mobil itu dibeli pada 2002 seharga Rp 110 juta secara mengangsur dan dipakai oleh anaknya, Baiq Dewi Yustisia, ketika masih kuliah di Solo.
Lalu Mariyun beralasan, mobil itu tidak dicantumkan dalam laporannya karena angsurannya belum lunas. Belakangan, pada 30 April lalu, ia mengembalikan mobil itu karena sering ngadat. Jadi, "Mobil itu belum menjadi hak milik kami," ujar Mariyun kepada Sunudyantoro dari TEMPO.
Namun pemeriksa kurang bisa menerima alasan itu. Soekotjo dan kawan-kawannya menduga mobil itu dikembalikan setelah pihaknya memeriksa mobil dua saksi di tempat kos Dewi di Solo. Menurut tim pemeriksa, sekalipun mobil itu dibeli dengan cara mengangsur, seharusnya tetap dicantumkan dalam laporan kekayaan.
Ridwantoro? Kasusnya serupa pula. Ia melaporkan hartanya sebesar 202 juta lebih pada Februari 2003. Dalam laporannya tidak dicantumkan tanah seluas 392 meter persegi di Kalibata Utara II, Jakarta Selatan, senilai Rp 225 juta. Alasannya, ia membeli tanah ini dengan cara mengangsur. Hanya, tim pemeriksa kurang yakin karena hakim di Pengadilan Jakarta Selatan ini tidak bisa menunjukkan bukti angsurannya. Dalam pemeriksaan, Ridwantoro mengatakan bahwa bukti angsuran itu hilang saat dia pindah rumah.
Ketika ditemui TEMPO, Ridwantoro enggan berkomentar. Ia hanya memberikan isyarat dengan telunjuk agar bertanya kepada tim pemeriksa.
Tim pemeriksa masih akan memanggil lagi ketiga pejabat itu. Menurut Petrus, bukan tidak mungkin kasus mereka akan dilempar ke polisi. Soalnya, para pemeriksa menemukan banyak hal yang memberatkan.
Endri Kurniawati, Juli Hantoro, Sunudyantoro (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo