Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Berita Tempo Plus

Gara-gara Pistol Dilucuti

Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi mulai diuji. Pihak KPKPN merasa dilucuti senjatanya.

16 November 2003 | 00.00 WIB

Gara-gara Pistol Dilucuti
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

BERJUBAH merah, bertoga merah, Jimly Asshiddiqie tampak gagah. Pun sejumlah hakim yang mendampinginya. Tapi wajah Ketua Mahkamah Konstitusi itu langsung berkerut setelah mendengar pertanyaan seorang pengacara. Sang pengacara menanyakan, "Bagian mana dari konstitusi yang dapat dipertentangkan dengan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi?"

Jimly tertegun. Maklum, pertanyaan itu muncul dalam sidang resmi Mahkamah Konstitusi. Datangnya pun langsung dari pengacara Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) yang mempersoalkan keberadaan undang-undang tersebut. Sebab, dengan adanya Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, KPKPN mesti dibubarkan.

Dengan senyum mengembang, sang Ketua meminta para advokat belajar dan berpikir keras, apa hak konstitusional klien mereka yang dirugikan akibat berlakunya UU Komisi Pemberantasan Korupsi. "Majelis tidak bisa memberitahukan masalah itu sekaligus memutusnya," ujar Jimly. Tugas pengacaralah, katanya lagi, untuk secara jeli meneliti bagian mana saja dari UUD 1945 yang dapat digunakan untuk menentang adanya undang-undang tersebut.

Begitulah hari-hari pertama sidang Mahkamah Konstitusi—yang masih tampak kaku dan terkadang lucu. Sidang digelar di Ruang Nusantara IV Gedung MPR/DPR sejak Selasa, 4 November lalu. Jimly didampingi delapan hakim lainnya yang juga bertoga merah. Mereka duduk di belakang meja yang berwarna merah pula.

Semua perkara yang disidangkan pekan lalu baru memasuki tahap pemeriksaan berkas. Para pemohon diminta membacakan pengajuan uji undang-undang yang telah mereka kirim. Majelis hakim lalu memberikan nasihat jika ada kekeliruan dalam berkas mereka. "Karena persidangan Mahkamah Konstitusi ini baru, tentu banyak hal yang perlu diperbaiki oleh para pemohon," ujar Jimly. Banyak kesalahan terjadi karena Mahkamah Konstitusi menampung perkara-perkara yang dulu diajukan lewat jalur judicial Mahkamah Agung. Nah, setelah Mahkamah Konstitusi terbentuk, ada hal-hal yang perlu diperbaiki karena lembaga ini memiliki hukum acara sendiri.

Dari sejumlah perkara yang disidangkan, pengajuan uji undang-undang yang disodorkan oleh KPKPN termasuk yang menarik. Perkara yang disidangkan pada Rabu pekan lalu ini mempersoalkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan adanya undang-undang ini, keberadaan KPKPN pun terancam.

Dalam pasal 69 undang-undang tersebut dinyatakan dengan jelas bahwa KPKPN akan menjadi bagian bidang pencegahan pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Komisi pemeriksa kekayaan tersebut tak akan berwenang lagi mendata dan memeriksa harta pejabat karena fungsinya bakal diambil alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, yang akan dibentuk akhir tahun ini. Artinya, KPKPN mesti dibubarkan.

Ketua KPKPN Jusuf Syakir menggambarkan lembaga yang sudah bekerja selama dua tahun ini bakal dibabat habis. Ibarat tentara, senjatanya akan dilucuti. "Jangankan bedil, pistolnya saja juga dilucuti," ujarnya. Dalam sidang, KPKPN diwakili sejumlah pengacara, antara lain Trimoelja Soerjadi, Amir Syamsuddin, Nurhasyim Ilyas, dan Denny Kailimang.

Dalam berkas permohonannya, KPKPN menilai Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi bertentangan dengan Pasal 2 dan 3 UUD 1945 tentang MPR. Terutama pasal dalam undang-undang tersebut yang menghapuskan tugas lembaga ini setelah Komisi Pemberantasan Korupsi terbentuk. Alasannya, selain dibentuk berdasarkan undang-undang, yakni UU No. 28/1999, KPKPN didirikan beralaskan Ketetapan MPR No. XI/1998. "Ketetapan MPR itu kan aktualisasi dari pembukaan dan batang tubuh UUD 1945," kata Amir Syamsuddin kepada TEMPO.

Hanya, anggota KPKPN yang memperjuangkan keberadaan lembaganya sedikit tersudut gara-gara tingkah mereka sendiri. Belum lama ini, delapan anggota lembaga tersebut mendaftar sebagai calon anggota Komisi Pemberantasan Korupsi. Jadi, secara tidak langsung mereka mengakui keabsahan undang-undang pembentukan komisi tersebut.

Hal itu sempat disentil oleh Jimly Asshiddiqie. Secara moral, hal itu bisa memperlemah posisi KPKPN sebagai pemohon. "Tapi, secara hukum, hal itu tak menjadi persoalan," ujarnya.

Reaksi Jusuf Syakir? Di luar sidang, ia menyatakan bahwa para anggota KPKPN tetap kompak mengajukan pengujian undang-undang. Lagi pula proses seleksi calon Komisi Pemberantasan Korupsi belum rampung. Kata Jusuf, "Tak ada salahnya kalau mereka tetap ikut mengajukan pengujian tersebut."

Seperti perkara lainnya, pengujian yang diajukan oleh KPKPN masih perlu diperbaiki. Soalnya, mereka masih mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung No. 2/2002. Di sana digunakan istilah uji material. Padahal, sesuai dengan UU No. 34/2003 tentang Mahkamah Konstitusi, istilah yang dipakai adalah pengujian undang-undang terhadap UUD 1945.

Peluang KPKPN untuk menang dalam perkara tersebut amat tipis. Sri Soemantri, pakar hukum tata negara dari Universitas Padjadjaran, malah mempertanyakan argumen hukum yang mereka sodorkan. Yang penting, katanya, apakah pertentangan dengan UUD 1945 itu kasatmata atau tidak.

Sejauh ini, memang tidak ada tabrakan yang serius antara UU Komisi Pemberantasan Korupsi dan UUD 1945.

Diakui oleh Satya Arinanto, ahli tata negara dari Universitas Indonesia, ketetapan MPR yang menjadi dasar pembentukan KPKPN memang bisa dijadikan dasar untuk menggugat. Soalnya, tampak UU Komisi Pemberantasan Korupsi—yang menghilangkan fungsi KPKPN—menubruk ketetapan MPR, lembaga yang dijamin keberadaan dan wewenangnya oleh konstitusi. Hanya, Satya juga mengakui adanya aturan dasar dalam dunia hukum: undang-undang yang baru bisa meniadakan undang-undang yang lama.

Sikap anggota KPKPN dipersoalkan pula oleh Satya. "Jika mereka menggugat keberadaan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, anggota KPKPN tidak perlu ikut mendaftar sebagai calon anggota lembaga itu," ujarnya.

Kendati begitu, Jimly berjanji akan bersikap adil dan independen dalam menjatuhkan putusan. Apalagi vonis yang diberikan Mahkamah Konstitusi bersifat final. Tidak ada banding, tidak ada kasasi. Tak ada pengadilan lain di negeri ini yang bisa meralat putusan Mahkamah Konstitusi.

Juli Hantoro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus