Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bila Anak <font color=#CC0000>Cepat Gede</font>

Anak-anak makin mudah mengakses materi porno. Sudah berdampak menjadi kasus kekerasan seksual.

2 November 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAMBAIAN tangan Deni Wahyu melepas anaknya berangkat sekolah kerap dilambari perasaan waswas. Ayah berusia 41 tahun itu selalu merasa khawatir terhadap pergaulan anaknya yang masih berusia tujuh setengah tahun. Sudah cukup jamak, anak sekecil itu mudah berkenalan dengan pornografi dari teman-temannya. "Beberapa teman saya pernah cerita tentang kelakuan anak mereka," kata karyawan sebuah perusahaan negara di Jakarta itu.

Kecemasan Deni tak berlebihan. Anak-anak sekarang menjadi "dewasa" terlalu cepat. Materi porno melimpah di sekitar mereka, mulai komik, film, media, hingga yang paling gampang melalui telepon seluler. Ruang untuk menikmati pornografi itu pun selalu tersedia, meski pengawasan dari lembaga sekolah sudah ketat.

Para orang tua seperti Deni pun makin ngeri dengan banyaknya berita kasus pelecehan seksual atau bahkan pemerkosaan dengan pelaku anak-anak remaja kecil. Pertengahan September lalu di Tangerang, misalnya. Lima remaja laki-laki berusia rata-rata 15 tahun mencabuli remaja putri 13 tahun. Aksi itu dilakukan di sebuah empang di tepi sawah.

Sebelumnya, Maret lalu, empat siswa kelas enam sekolah dasar di Bekasi memperkosa seorang adik kelasnya di toilet sekolah pada jam sekolah. Di Pekanbaru, Riau, Mei lalu, terungkap pemerkosaan oleh tiga siswa sekolah menengah pertama terhadap anak berusia 7 tahun. Aksi dilakukan hingga tiga kali, pada saat korban ditinggalkan orang tuanya.

Sekretaris Jenderal Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait sangat sadar akan makin maraknya pencabulan anak dengan pelaku anak-anak pula. Apalagi kini usia pelakunya makin muda, di bawah 10 tahun. Dan setiap menerima pengaduan kasus kekerasan seksual oleh anak-anak itu, reaksinya selalu berulang. "Saya gemetar, kok bisa anak-anak sekecil itu," katanya.

Data kekerasan seksual dengan pelaku anak-anak memang membuat miris. Komnas Anak mencatat, dari 527 kasus kekerasan seksual terhadap anak sepanjang 2009, 103 kasus dengan pelaku anak-anak atau remaja berusia 6-17 tahun. Ada yang diproses hukum, ada yang diselesaikan secara kekeluargaan. Dari 1.167 kasus pidana dengan pelaku anak-anak, 135 kasus adalah pemerkosaan dan 14 kasus pelecehan seksual.

Kalau sudah demikian, beban Komisi dobel: menangani si pelaku ataupun yang dicabuli, karena kedua pihak adalah korban. Selain menjamin perlindungan anak selama proses hukum, pendamping dari Komisi mewawancarai secara mendalam untuk menggali motivasi pelaku. Macam-macam jawaban si pelaku, salah satunya adalah dorongan meniru materi porno yang diakses. "Terangsang sampai ubun-ubun, ada anak tetangga, jadilah," kata Arist.

Kecenderungan kekerasan seksual oleh anak itu muncul karena tidak seimbangnya informasi yang mendidik-soal kesehatan reproduksi-dengan yang porno. Informasi edukatif belum banyak tersedia, baik di rumah maupun di sekolah. Materi porno sangat mudah diakses, semudah membeli permen.

Ini sebuah contoh kasus. Di sekolah, Saefullah, 13 tahun, sudah biasa menonton film porno via ponsel milik siswa lain secara bergantian. Itu mereka lakukan setelah jam belajar usai, sembari menunggu jam kelas ekstrakurikuler. "Kalau sudah nonton bokep (film dewasa), pada menggila, ramai-ramai ketawa-ketawa," kata Saefullah, yang masih duduk di kelas dua sebuah SMP di Jakarta Pusat.

Bokep beredar antarteman secara gampang dan cepat. "Kirim-kiriman lewat Bluetooth," kata Saefullah. Beberapa siswa membawa ponsel dengan fasilitas Bluetooth sehingga memungkinkan saling berkirim gambar porno atau bahkan film dewasa. Pihak sekolah memang melarang siswa membawa ponsel. Tapi banyak cara untuk mengelabui, misal, dengan mengubur telepon di dekat gerbang sekolah, kemudian diambil setelah bubar sekolah. Materi porno juga bisa didapat di warung Internet.

Hal ini diperkuat hasil survei Komnas Anak mengenai perilaku seksual anak remaja pada 2007, yang menunjukkan kecenderungan ini sudah umum di kalangan anak. Survei melibatkan responden 4.726 siswa SMP dan sekolah menengah atas di 12 kota besar dengan kisaran usia 13-17 tahun. Hasilnya mencengangkan. Salah satunya: 97 persen responden mengaku pernah menonton film porno.

Yayasan Kita dan Buah Hati pernah mendapat kejutan dari anak-anak ketika menggelar pertemuan konselor remaja dengan 1.625 siswa kelas IV-VI SD wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, tahun lalu. Niat Yayasan memberi pengenalan mengenai pengetahuan seks yang benar menjelang pubertas. Materi pun disesuaikan dengan tahap kedewasaan anak.

Awalnya, peserta diminta menuliskan definisi "seks" sesuai dengan pemahaman masing-masing. Dari pertanyaan "apa itu seks?", banyak jawaban yang mengejutkan. "Ada yang menjawab detail proses hubungan intim," kata Nenden Esty Nurhayati, Wakil Ketua Divisi Rumah Parenting Yayasan Kita dan Buah Hati.

Penyelenggara langsung menggali pengetahuan dan pengalaman anak-anak itu soal seks. Ternyata, 66 persen dari responden mengaku telah menyaksikan materi pornografi. Medianya macam-macam, yakni komik (24 persen), game (18 persen), situs porno (16 persen), film (14 persen), dan sisanya melalui VCD dan DVD, ponsel, majalah, serta koran.

Apa pemicunya? Paling banyak berawal dari iseng (27 persen), diajak teman (10 persen), untuk gaul (4 persen). Sebagian besar menikmati pornografi di rumah atau kamar pribadi (36 persen), di rumah teman (12 persen), warnet (18 persen), dan di tempat penyewaan (3 persen).

Dorongan berporno ria itu awalnya muncul dari hasrat umum anak-anak yang selalu ingin tahu. Dalam pengertian seks secara luas, keingintahuan itu biasanya sudah ada pada anak di usia 3 tahun, ketika penasaran adanya perbedaan identitas seksual lelaki dan perempuan. Semakin bertambah usia, hormon anak-anak yang menjadi elemen dorongan seksual mulai aktif. Materi yang berbau porno pun menjadi menarik. Maka, begitu menemukan sedikit, ada kecenderungan si anak ingin terus memuaskan lagi rasa penasaran. "Selalu ingin lebih dan lebih," Nenden menjelaskan.

Celakanya, materi yang menarik itu melekat dalam ingatan, seiring dengan kemampuan otak anak yang masih segar. "Bagi anak balita, visual yang terlihat sepertiga puluh detik saja langsung terserap," kata Nenden. Pengetahuan itu menjadi tonggak memburu kepuasan yang lebih tinggi, hingga bisa ketagihan.

Muara dari penasaran itu adalah keinginan untuk mencobanya sendiri. Nah, di titik ini pengetahuan seks yang benar menjadi urgen. Soal seks harus dijelaskan terbuka kepada anak. "Tidak ada lagi tabu," ujar Nenden. "Ketika anak sudah bertanya yang aneh-aneh, justru itu golden opportunity untuk menjelaskan."

Pendidikan utama memang dari rumah. Akses pornografi di rumah dibatasi. Selain dengan tidak membawa majalah dewasa, misalnya, dengan pembatasan akses Internet dengan berbagai aplikasi yang ada. "Daftar situs larangan harus rajin diperbarui," kata Judith Monique Samantha Lubis,

Ketua Dewan Penasihat Asosiasi Warnet Indonesia. Ya, agar tidak kalah cepat dengan para "pencoleng" kecil itu.

Harun Mahbub, Ibnu Rusydi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus