Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Belok Kiri Boleh Langsung

2 November 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Qaris Tajudin
*) Wartawan

MINGGU-MINGGU ini—selain membincangkan kabinet baru dan rekaman penjebakan Komisi Pemberantasan Korupsi—orang ramai membicarakan peraturan lalu lintas yang baru: dilarang langsung belok kiri di persimpangan yang ada lampu lalu lintasnya. Kendaraan harus menunggu lampu hijau menyala untuk dapat berbelok ke kiri. Yang melanggar akan didenda Rp 250 ribu.

Meski aturan ini baru akan ditetapkan tahun depan, perbincangan soal ini sudah mulai meramaikan warung kopi tempat sopir taksi mangkal hingga jaringan sosial di Internet seperti Twitter. Bukan soal denda yang memang besar itu yang jadi keberatan mereka, tapi aturan baru ini bisa dipastikan akan menambah panjang barisan mobil di persimpangan. Di kota dengan kemacetan luar biasa seperti Jakarta, aturan ini bisa dipastikan akan menambah rasa frustrasi di pagi hari.

Selama ini—berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993 tentang Lalu Lintas—kendaraan boleh langsung belok kiri meski lampu merah masih menyala, kecuali jika ada rambu atau lampu lalu lintas khusus yang melarang. Logika ini dibalik dalam aturan baru yang diributkan itu, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dalam pasal 112 ayat 3, kendaraan tidak boleh langsung belok kiri saat lampu merah menyala, kecuali jika ada rambu atau isyarat yang membolehkannya.

Lalu, di mana masalahnya? Lebih tepatnya, apa masalah bahasa dalam hal ini? Sebenarnya tak ada masalah pada aturan itu. Masalah muncul saat para pejabat publik mencoba menerapkan aturan ini. Tampaknya, ada kesalahan pemahaman yang membuat penerapan peraturan ini jauh lebih pelik dari yang semestinya. Dan kesalahan pemahaman ini muncul karena ketidakpahaman mereka akan kelengkapan bahasa.

Mari kita tengok teks aturan itu. Ayat 3 berbunyi demikian: ”Pada persimpangan Jalan yang dilengkapi Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Pengemudi Kendaraan dilarang langsung berbelok kiri, kecuali ditentukan lain oleh Rambu Lalu Lintas atau Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas.”

Di luar pemakaian huruf kapital yang acak adul, teks tersebut sebenarnya jelas sekali. Kita tidak boleh langsung belok kiri di persimpangan yang dilengkapi lampu merah, kecuali jika ada rambu yang membolehkan. Artinya, selama ada rambu yang membolehkan langsung belok kiri, kita tetap boleh belok kiri meski lampu berwarna merah.

Masalahnya, yang dipahami oleh pejabat pemerintah berbeda. Mereka tampaknya menganggap semua kendaraan tidak boleh langsung belok kiri, tanpa terkecuali. Pengecualian harus dihindari dan, karenanya, rambu-rambu yang membolehkan kendaraan belok kiri harus dicabut. Menurut Wakil Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Riza Hashim, pihaknya akan memerintahkan pencopotan rambu yang membolehkan langsung belok kiri di sekitar 500 persimpangan di Jakarta. Termasuk mematikan tanda belok kiri langsung yang biasa terpasang di setiap lampu merah. ”Jadi, setiap kendaraan diminta otomatis berhenti bila lampu merah menyala,” kata Riza.

Hal ini agak membingungkan. Pemerintah daerah tampaknya tidak paham bahwa pada ayat 3 itu ada anak kalimat setelah koma yang merupakan pengecualian. Yang lebih gawat lagi, rambu yang membolehkan langsung belok kiri (yang seharusnya menjadi pengecualian) dianggap sebagai rambu yang melanggar peraturan. ”Yang penting, kalau ada tanda yang melanggar peraturan, mesti ditertibkan,” kata Gubernur Jakarta Fauzi Bowo.

Ini adalah pemahaman bahasa yang aneh. Mereka tampaknya tak mengerti bahwa dalam bahasa mana pun, pengecualian setelah penafian berarti pembolehan bersyarat. Seperti kalimat: tidak boleh mengendarai sepeda motor, kecuali dengan mengenakan helm. Kalimat ini bukan ingin melarang Anda naik sepeda motor. Kalimat ini ingin mengatakan: Anda hanya boleh naik sepeda motor jika memakai helm. Dengan demikian, ayat 3 itu seharusnya dipahami: langsung belok kiri hanya boleh jika ada rambu yang mengizinkannya.

Kerancuan pemahaman ini harus dibayar mahal. Pemerintah daerah harus repot-repot mencopot rambu yang sebenarnya tak perlu dicopot. ”Pencopotannya tak mudah seperti membalikkan telapak tangan,” kata Wakil Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Riza Hashim.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus