Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Berita Tempo Plus

Bila lurah melego tanah negara

PN bekasi mengadili mohammad toha effendy, bekas lurah jakasampurna, bekasi, divonis 5 tahun penjara & denda Rp 10 juta. dituduh korupsi Rp 6,5 milyar dengan cara memanipulasikan tanah negara.

13 Mei 1989 | 00.00 WIB

Bila lurah melego tanah negara
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
SENIN siang pekan ini, Mohammad Toha Effendy, 52 tahun, bekas Lurah Jakasampurna, masih bisa guyon kendati divonis 5 tahun penjara plus denda Rp 10 juta. Toha -- yang dianggap memanipulasikan tanah negara untuk mengkorup uang ratusan juta rupiah, sempat ditahan selama 10 bulan -- memang masih bisa berlebaran di rumah, dan tak harus langsung masuk bui. "Sekarang saya masih bisa tenang di rumah. Wartawan ikut aja dari belakang," katanya tertawa sehingga perutnya yang besar terguncang-guncang. Toha memang unik. Lelaki yang hanya berpendidikan SD itu sempat 19 tahun menduduki kursi lurah di Jakasampurna, Bekasi. Prestasinya mengagumkan. Antara lain ia pernah mengantarkan desanya menjadi juara II lomba desa se-Jawa Barat. Ternyata di balik kecermerlangan itu, seperti kemudian terbukti di pengadilan, berulang kali ia memanipulasikan tanah negara. Sebidang tanah negara, seluas 13 hekter di Kampung Pulogede, Jakasampurna, misalnya, disulapnya seolah-olah tanah garapan dan dijualnya berkali-kali. Padahal tanah itu berstatus hak pengelolaan Perumnas Rawa Tembaga -- belakangan hak pengelolaan itu dicabut. Pada awal 1982 Toha menghubungi Haji Banjar, seorang calo tanah, untuk "memainkan" 13 hektar tanah negara di wilayahnya. Untuk bisa menjual tanah itu, tentu saja, diperlukan sertifikat. Ternyata soal itu tak sulit. Dua oknum Agraria Bekasi, A. Sidik dan Ali Suratman, bersedia membantunya melalui proses redistribusi landreform asalkan saja tanah, yang sebagian berawa itu, bisa "diciptakan" penggarapnya. Syarat itu ternyata sol gampang bagi Toha. Tak lama kemudian ia sudah mengajukan daftar 60 orang penggarap (sebagian besar fiktif). Ketika sertifikat itu lagi diurus, rupanya Toha tak sabar lagi. Sebagian tanah itu, seluas 8,5 hektar, telah dijualnya kepada Haji Mohtar dengan harga Rp 32 juta. Tapi transaksi itu terpaksa dibatalkan kembali karena sertifikat tanah tak kunjung rampung. Pasalnya, Banjar menyerah karena tanah tersebut sudah dimiliki Perumnas. Terpaksa Toha mengembalikan uang Mohtar Rp 18 juta sisanya dijanjikan belakangan. Gagal mengelabui Haji Mohtar, Toha menjual tanah itu kepada Muhamad Ali Durja seharga Rp 25 juta. Tak hanya itu "permainan"-nya. Ia juga menjual tanah negara itu seluas 2,5 hektar kepada Hasan (Rp 23,5 juta). Tapi tanpa setahu Hasan, diam-diam tanah itu dijualnya pula kepada Maria Sofyan seharga Rp 20 juta. Setelah berpindah-pindah tangan, akhirnya tanah itu menjadi milik PT Duta Indokar Agung. Belakangan ternyata bahwa permohonan sertifikat tanah yang diajukan Toha dikabulkan Agraria. Hanya saja, jumlah penggarap diciutkan jadi 36 orang. Haji Banjar -- ia diadili terpisah -- menjual sertifikat-sertifikat itu kepada orang lain seharga Rp 650 juta. Di persidangan, Jaksa I Made Tisna -- yang membawa perkara itu ke pengadilan menuduh Toha korupsi Rp 6,5 milyar. Angka Rp 6,5 milyar itu dihitung jaksa berdasarkan harga tanah sekarang -- setelah tanah itu siap bangun (tanah matang). Berdasarkan itu Made menuntut Toha 11 tahun penjara. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bekasi yang diketuai H. Dardiri -- yang juga Ketua PN Bekasi -- sependapat dengan Jaksa bahwa Toha terbukti korupsi. Hanya saja, Majelis tak sependapat dengan Jaksa mengenai jumlah uang yang dikorup Toha. Menurut perhitungan Majelis -- yang berpendoman pada SK Bupati bahwa harga tanah itu Rp 3.500 per meter -- jadi seluruhnya Rp 455 juta. Maka dalam putusan, hakim mengganjar lurah itu 5tahun penjara plus denda Rp 10 juta. Toha yang memakai baju, putih celana cokelat tua langsung banding. Ia merasa tak bersalah. "Pembebasan tanah itu kan ada panitianya, ada orang Agrarianya. Kalau permohonan itu salah, kan bisa ditolak," kata Toha kepada TEMPO. Uang hasil "melego" tanah negara itu, katanya, juga digunakannya untuk membangun balai desa Jakasampurna dengan biaya Rp 70 juta. "Jadi, bukan untuk memperkaya diri," tambah pengacara Toha, Jannes Hutapea. Selain banding, Toha yang beristri dua ini, juga minta grasi kepada Presiden. "Mintanya, sih, bebas dong. Kalau tetap aja dihukum segitu, ya, kami pasrah. Mau apa lagi," kata sang lurah.WY dan Ardian T. Gesuri (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum