Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KASUS perdagangan anak yang diungkap Kepolisian Sektor Jatiuwung, Tangerang, menambah daftar kasus serupa dari tahun ke tahun.
Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) mencatat, pada 2007 terjadi 235 kasus perdagangan anak. Setahun kemudian jumlah itu meningkat menjadi sekitar 500 kasus. ”Tahun 2009 bisa makin runyam. Dunia anak terancam,” ujar Sekretaris Jenderal Komnas Anak, Arist Merdeka Sirait.
Menurut Arist, meningkatnya kasus perdagangan anak disebabkan beberapa faktor. Antara lain, kemiskinan dan lemahnya penegakan hukum. Kasus perdagangan anak untuk pasar domestik dan internasional, ujar Arist, sama tingginya dari tahun ke tahun. ”Indonesia jadi penyuplai sekaligus tempat tujuan,” katanya.
Di dalam negeri, daerah yang merupakan tempat sekaligus tujuan perdagangan anak antara lain Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Jakarta, dan Jawa Barat. Adapun kota transit mereka sebelum disebarkan: Medan, Batam, Tanjung Pinang, Bandar Lampung, Jakarta, Pontianak, dan Makassar.
Berkali-kali aparat membekuk pelakunya, namun bisnis semacam ini terus tumbuh. Dua tahun lalu, misalnya, polisi Semarang membongkar jaringan perdagangan anak di Jawa Tengah yang sudah menjual sedikitnya 20 anak. Polisi membekuk pelakunya, Sri Uminingsih, 56 tahun, dukun bayi di Ambarawa, dan Dewi Supandari, bidan di Semarang. Menurut Sri, bayi itu didapatnya dari perempuan yang hamil di luar nikah. Dari penjualan seorang bayi, Sri mendapat Rp 1,5 juta hingga 2,5 juta.
Di Surabaya, Juni 2007, polisi meringkus Suryatin, 48 tahun. Ia diduga melakukan bisnis jual-beli anak dengan berkedok pekerja Yayasan Pembina Merawat Anak dan Pasien. Dalam aksinya, komplotan ini mengincar keluarga kurang mampu.
Mengacu pada usia anak, menurut undang-undang, yang masuk kategori anak adalah mereka yang berumur 18 tahun ke bawah. Karena itulah aparat juga membongkar sindikat yang mengeksploitasi anak-anak menjadi pelacur.
Lima bulan silam, misalnya, Kepolisian Resor Metro Jakarta Pusat menggerebek sebuah bangunan di kompleks Niaga Latumenten, Grogol, yang berisi puluhan wanita berumur belasan tahun. Perempuan yang sebagian besar berasal dari Jawa Barat itu dipaksa menjadi pemijat sekaligus pelacur. Mereka, menurut polisi, terjerat karena diiming-imingi akan dipekerjakan di salon dan bergaji besar. Kini enam tersangka yang menjual para gadis belia itu—termasuk pemilik hotel—sedang menunggu nasib mereka di meja hijau.
Martha W. Silaban
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo