Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Risiko Partai Lokal

Orang Batak Simalungun yang sudah pindah ke kota atau daerah perkebunan lebih suka memilih partai-partai nasional, seperti PNI, PKI, Masjumi, atau Parkindo (Partai Kristen Indonesia).

8 Agustus 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

R.William Liddle
  • Profesor ilmu politik, The Ohio State University, Columbus, Ohio, AS

    Seandainya GAM, Gerakan Aceh Merdeka, diperbolehkan menjadi partai politik lokal, apakah akan memperkuat gerakan proseparatis di Nanggroe Aceh Darussalam? Selanjutnya, di daerah-daerah lain, apakah dorongan dari bawah untuk mendirikan partai-partai lokal akan menjadi lebih intensif? Kalau jawaban kepada dua pertanyaan ini adalah ya, apakah Indonesia sedang menuju ke ambang pintu kehancuran sebagai negara dan bangsa?

    Pengalaman saya di Indonesia semenjak awal 1960-an membuat saya cenderung tidak takut pada partai lokal sebagai benih disintegrasi. Akan tetapi, pengamatan saya sejak awal zaman reformasi, 1998 ke depan, lebih memprihatinkan. Dalam kata lain, pada masa kini ada alasan bagi para politisi Indonesia untuk bersikap dan bertindak lebih hati-hati, eling lan waspada.

    Mengapa saya berpendapat demikian? Dari 1962 sampai 1964, saya tinggal di Pematangsiantar dan sempat mengamati dari dekat suatu partai lokal, Kebangunan Rakyat Simalungun Sumatera Timur (KRSST). Dalam Pemilu 1955, KRSST memenangi beberapa kursi di DPRD Tingkat II Kabupaten Simalungun. Di bawah Demokrasi Terpimpin Presiden Soekarno, semua partai lokal dibubarkan, tetapi saya masih sempat menemui tokoh-tokohnya. Poster pemilu KRSST, dengan lambang pohon kelapa sawit, masih terpajang di dinding kantor saya sebagai kenang-kenangan.

    Dari 1985 sampai 1987 saya tinggal di Banda Aceh. Ketika itu saya mengajar di salah satu program latihan penelitian ilmu-ilmu sosial, dan tidak melakukan penelitian sendiri. Namun, mahasiswa saya tersebar luas di seluruh Daerah Istimewa Aceh selama beberapa bulan. Dalam rangka tugas, saya berkali-kali mengunjungi mereka di lapangan, yang membantu saya memperoleh banyak informasi tentang kehidupan sosial dan politik di pedalaman Aceh.

    Dari dua pengalaman pribadi itu, saya cenderung menyimpulkan bahwa Indonesia sudah menyatu dan partai lokal tidak perlu ditakuti lagi. Di Simalungun, pada masa jayanya pun, KRSST sudah kedaluwarsa. Pemimpinnya adalah anggota keluarga bekas raja-raja. Dukungannya terbatas pada beberapa kecamatan rural yang masih tradisional, belum tersentuh modernisasi ekonomi. Orang Batak Simalungun yang sudah pindah ke kota atau daerah perkebunan lebih suka memilih partai-partai nasional, seperti PNI, PKI, Masjumi, atau Parkindo (Partai Kristen Indonesia).

    Di Aceh, saya menyaksikan sebuah pertempuran politik yang dahsyat antara dua partai nasional pada Pemilu 1987. Golkar, dipimpin oleh seorang gubernur yang dinamis dan mewakili ide pembangunan yang menjadi salah satu ciri khas Orde Baru, mengalahkan secara tipis PPP. PPP mewakili aspirasi Islam politik, tetapi lebih mencerminkan resistansi etnis orang Aceh kepada sentralisasi kekuasaan di Jakarta yang juga ciri khas Orde Baru. GAM, yang didirikan pada 1976, bergerak di bawah tanah, tetapi tidak mewakili golongan yang signifikan dalam masyarakat Aceh.

    Gejala apa yang membedakan masa lalu dengan masa kini? Menurut pendapat saya, desentralisasi kekuasaan secara menyeluruh pelaksanaannya masih berada pada tahap awal. Seandainya partai lokal diperbolehkan kembali di seluruh Indonesia, dampak desentralisasi terhadap sistem kepartaian sulit diprediksi. Banyak variabel akan memainkan peran, termasuk sentimen kedaerahan dan keterampilan para political entrepreneurs, wiraswastawan politik. Yang jelas adalah bahwa kekuasaan lokal telah menjadi sesuatu yang berharga dan pasti diperebutkan oleh kaum politisi, seperti kita mulai melihat pada musim pilkada kini.

    Dalam proses ini, Aceh merupakan salah satu kasus yang paling sensitif. Masyarakat Aceh mengalami represi yang luar biasa pada tahun 1990-an, lalu diberi perlakuan positif yang luar biasa pula ketika NAD didirikan. Dari dulu, setidak-tidaknya dari awal 1950-an, sudah ada orang Aceh yang ingin merdeka. Jumlah itu kiranya meningkat pesat selama dasawarsa 1990-an, dan mencapai puncaknya (sampai sekarang) dengan tuntutan hampir satu juta orang pada November 2000 supaya diadakan referendum kemerdekaan.

    Pemerintah Indonesia jelas mengambil risiko besar dengan keputusannya memperbolehkan GAM menjadi partai lokal. Skenario yang paling buruk adalah bahwa Partai GAM akan memenangi pemilu pertama secara mutlak. Lalu, kemenangan itu akan dimanfaatkan untuk memperkuat pengakuannya, termasuk kepada dunia internasional, bahwa masyarakat Aceh ingin merdeka. Apakah pemerintah sudah siap menghadapi kemungkinan ini? Atau, dalam kata lain, partai nasional mana yang bakal mampu menandingi GAM di medan laga elektoral?

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus