KONTRAK bagi hasil antara Pertamina dan perusahaan minyak asing serta soal penambangan minyak dan gas bumi menjadi perhatian para ahli, baik dari kalangan swasta maupun pemerintah, seperti beberapa ahli dari Departemen Pertambangan dan Energi, Departemen Perhubungan, dan para konsultan hukum perusahaan minyak asing. Jumat pekan lalu, di Hotel Wisata, Jakarta, berlangsung Diskusi Panel Hukum Energi, yang diprakarsai Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia (Persahi) dan Law Asia - dua hari sebelumnya berlangsung peresmian perluasan train gas alam cair di Arum. Dalam diskusi itu, paling tidak timbul beberapa suara yang mengusulkan peraturan baru mengenai hukum kontrak bagi hasil dan penambangan oleh pihak swasta nasional. Pokok permasalahan yang diajukan itu mencakup pengaturan tentang pengembangan, pengelolaan, penyediaan, dan pemanfaatan energi mimyak bumi, batu bara, air, panas bumi, nuklir, matahari, biomas, biogas, dan gambut. Diskusi ini menarik karena bukan saja melulu membahas masalah hukum, tapi juga aspek alih teknologi, tenaga ahli, dan ekonomi. Maklum, selama ini penambangan lebih banyak melibatkan pihak asing yang terikat dalam kontrak. "Sedangkan, idealnya, energi sebagai kekayaan alam harus bisa dinikmati rakyat, sehingga perlu pengaturan dan bahkan kepastian hukum bagi penduduk Indonesia itu sendiri," kata E.Y. Kanter, ketua Persahi. Dari diskusi itu, Delmayuzar, oil lawyer melontarkan sebuah masalah yang banyak berkaitan dengan perjanjian kontrak. "Selama ini, terdapat perbedaan dalam kontrak bagi hasil minyak, kontrak bagi hasil panas bumi, dan pertambangan umum," tuturnya. "Kita tidak protes karena kita hidup dari sana. Tapi justru pengaturan kontrak ini harus mempunyai kepastian hukum bagi pihak klien." Ahli hukum pertambangan ini juga melihat adanya "kabut" yang masih harus dikuak mengenai pembayaran pajak bagi perjanjian kontrak bagi hasil, sehingga peraturan perpajakan yang baru serta peraturan pertambangan minyak dan gas bumi bisa bertaut. "Dengan negosiasi yang jelas, pihak calon investor akan mempunyai kepastian hukum," katanya pula. Hal lain yang juga masih dianggap belum mempunyai kepastian hukum - karena hanya diatur dalam keputusan presiden - yaitu soal kontrak bagi hasil panas bumi. Selama ini, pengaturan soal panas bumi dimasukkan dalam UU no. 44 tahun 1960, yang mengatur pertambangan minyak bumi dan gas alam. Padahal, panas bumi bukanlah barang tambang. "Karena itu, diperlukan undang-undang tersendiri bagi keperluan panas bumi di masa datang," tutur Delmayuzar lebih lanjut. Dari semua pembicaraan tersimpul, masih banyak peraturan yang perlu disusun untuk pengembangan hukum energi itu di luar undang-undang mengenai pertambangan minyak bumi dan gas aiam, seperti peraturan tentang gambut, biogas, biomas, dan sumber energi matahari. Di samping itu, seperti diakui Ann Soekatrie, ahlihukum dari Departemen Pertambangan dan Energi, selama ini sering kali terdapat tumpang tindih antardepartemen. Terutama, menurut Ann Soekatrie, bila eksplorasi itu dilakukan di atas tanah penduduk atau di suatu daerah suaka alam. "Di sini ada konflik kepentingan antara negara dan masyarakat," katanya. Dalam diskusi yang berlangsung hampir delapan jam itu, Delmayuzar lebih banyak menekankan soal pembentukan peraturan yang baru dan khusus mengenai energi, yaitu hukum energi. "Karena sudah 24 tahun, mungkin sudah waktunya ada hukum energi yang baru," ujarnya mengingatkan. Beberapa peserta diskusi pun cenderung setuju. Paling tidak, agar masyarakat bisa mengetahui hak dan kewajibannya dalam penguasaan kekayaan alam itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini