MAJELIS Hakim Pengadilan Negeri Cianjur yang diketuai Rusdi
Solichin baru saja menutup sidang perkara pembunuhan. Tiba-tiba
salah seorang tertuduh, Kiki (60 tahun), berdiri dan mengangkat
tangan. Dalam bahasa Sunda dan wajah polos Kiki menanyakan:
"Apakah uang yang dikirimkan untuk ibu hakim sudah diterima?"
Seketika ketiga majelis terkesima. Ketua berbisik-bisik sejenak
dengan anggota Nyonya Suhaety Syamsuddin dan Sofinan Sumantri.
Nyonya Suhaety, yang ditanyai Kiki, balik bertanya kepada siapa
kiranya Kiki memberikan uang. Dan Kiki menjelaskan bahwa uang
itu sudah diserahkan keluarganya kepada seseorang (disebutkan
nama dan jabatan orang itu).
Nyonya Suhaety terpaksa menerangkan kepada Kiki bahwa majelis
tidak pernah menerima atau menyuruh orang meminta duit kepada
Kiki maupun tersangka lainnya. Ketika itu pula majelis
memerintahkan Jaksa memanggil orang yang disebut Kiki untuk
dihadapkan di sidang berikutnya.
Kiki masih penasaran ketika meninggalkan ruang sidang 21 Oktober
lalu. Di luar ia masih mengomel. Katanya keluarganya bersedia
memberikanuang, karena "seseorang" itu mengatakan bahwa
pemberian uang untuk hakim itu atas saran pengacara yang membela
Kiki dan kawan-kawannya.
Muhamad Rachmat, pengacara LBH Cianjur yang dituding Kiki,
membantah. "Kiki itu memang orang kurang beres. Saya sudah
membelanya secara gratis, nama saya dijelekkan pula," kata
Rachmat. Tapi, katanya pula, "mungkin saja orang yang disebut
Kiki itu menjual nama saya untuk minta duit."
Pengacara yang pernah kuliah di FHUI ini membela Kiki dan 6
orang tersangka pembunuhan lainnya tidak untuk mendapatkan
honor. "Karena tersangka tidak mampu, saya hanya dijanjikan
honor dari pengadilan Rp 90.000--tetapi belum satu sen pun saya
terima," kata Rachmat.
Rachmat tertarik membela para tertuduh, katanya karena perkara
mereka itu cukup aneh. Seorang penduduk Desa Sukasari, Bo'i,
dibunuh oleh keponakannya sendiri, Saptari, dan anehnya setelah
itu mayat dicincang oleh sanak famili si korban -- termasuk ayah
kandungnya sendiri, Kiki. (TEMPO, Kriminalitas, 18 April).
Di persidangan, yang dimulai semenjak 23 Juli lalu, semua famili
korban yang ikut mencincang mayat, mengaku berbuat karena
terpengaruh ilmu sirep Saptari. Tertuduh utama, Saptari,
membenarkan hal itu sehingga mereka berbuat tanpa kesadaran.
Saptari berbuat seperti itu, katanya, karena dendam pada Bo'i
yang beberapa tahun lalu pernah menendangnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini