Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bu Hakim Sudah Terima Uang ?

Dalam sidang perkara pembunuhan di PN Cianjur, salah seorang tertuduh menyatakan bahwa atas saran dari pembelanya, ia memberikan uang kepada hakim lewat seseorang. (hk)

7 November 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MAJELIS Hakim Pengadilan Negeri Cianjur yang diketuai Rusdi Solichin baru saja menutup sidang perkara pembunuhan. Tiba-tiba salah seorang tertuduh, Kiki (60 tahun), berdiri dan mengangkat tangan. Dalam bahasa Sunda dan wajah polos Kiki menanyakan: "Apakah uang yang dikirimkan untuk ibu hakim sudah diterima?" Seketika ketiga majelis terkesima. Ketua berbisik-bisik sejenak dengan anggota Nyonya Suhaety Syamsuddin dan Sofinan Sumantri. Nyonya Suhaety, yang ditanyai Kiki, balik bertanya kepada siapa kiranya Kiki memberikan uang. Dan Kiki menjelaskan bahwa uang itu sudah diserahkan keluarganya kepada seseorang (disebutkan nama dan jabatan orang itu). Nyonya Suhaety terpaksa menerangkan kepada Kiki bahwa majelis tidak pernah menerima atau menyuruh orang meminta duit kepada Kiki maupun tersangka lainnya. Ketika itu pula majelis memerintahkan Jaksa memanggil orang yang disebut Kiki untuk dihadapkan di sidang berikutnya. Kiki masih penasaran ketika meninggalkan ruang sidang 21 Oktober lalu. Di luar ia masih mengomel. Katanya keluarganya bersedia memberikanuang, karena "seseorang" itu mengatakan bahwa pemberian uang untuk hakim itu atas saran pengacara yang membela Kiki dan kawan-kawannya. Muhamad Rachmat, pengacara LBH Cianjur yang dituding Kiki, membantah. "Kiki itu memang orang kurang beres. Saya sudah membelanya secara gratis, nama saya dijelekkan pula," kata Rachmat. Tapi, katanya pula, "mungkin saja orang yang disebut Kiki itu menjual nama saya untuk minta duit." Pengacara yang pernah kuliah di FHUI ini membela Kiki dan 6 orang tersangka pembunuhan lainnya tidak untuk mendapatkan honor. "Karena tersangka tidak mampu, saya hanya dijanjikan honor dari pengadilan Rp 90.000--tetapi belum satu sen pun saya terima," kata Rachmat. Rachmat tertarik membela para tertuduh, katanya karena perkara mereka itu cukup aneh. Seorang penduduk Desa Sukasari, Bo'i, dibunuh oleh keponakannya sendiri, Saptari, dan anehnya setelah itu mayat dicincang oleh sanak famili si korban -- termasuk ayah kandungnya sendiri, Kiki. (TEMPO, Kriminalitas, 18 April). Di persidangan, yang dimulai semenjak 23 Juli lalu, semua famili korban yang ikut mencincang mayat, mengaku berbuat karena terpengaruh ilmu sirep Saptari. Tertuduh utama, Saptari, membenarkan hal itu sehingga mereka berbuat tanpa kesadaran. Saptari berbuat seperti itu, katanya, karena dendam pada Bo'i yang beberapa tahun lalu pernah menendangnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus