BANYAK orang yang menyalami Sheik Ali Khalia Al-Sabah, Menteri
Perminyakan Kuwait yang ganteng itu, seusai sidang istimewa
OPEC yang brlangsung 29 Oktober di Hotel Intercontinental di
Jenewa. Sheik Ali, salah seorang konseptor dan senior OPEC yang
disegani, kabarnya telah berhasil menghimpun beda pendapat yang
cukup seru di antara para anggota OPEC, untuk akhirnya
menyetujui usul yang sejak lama disodorkan oleh Arab Saudi: agar
OPEC mau menurunkan harganya untuk menolong kemerosotan produksi
dan harga minyak akibat glut (kelebihan minyak) yang melanda
pasaran internasional sejak awal tahun ini.
Demikianlah, sidang istimewa yang kedua kalinya ini, sebagai
kelanjutan dari sidang istimewa yang gagal mencapai kesepakatan
harga pada Agustus lalu, bisa membuat banyak anggota OPEC
sedikit bernapas lega. Dipimpin Presiden OPEC Dr. Subroto,
Menteri Pertambangan dan Energi Indonesia, sidang telah
bersepakat untuk menetapkan satu harga patokan untuk jenis
Arabian Light Crude ALC) setinggi US$ 34 per barrel, berlaku
paling lambat 1 November 1981, dan tetap dipertahankan hingga
akhir tahun 1982.
Produksi Menurun
Dengan harga patokan baru yang US$ 34 per barrel itu, berarti
kenaikan sebanyak US$ 2 per barrel dilakukan oleh Arab Saudi,
negeri minyak yang mensuplai seperlima dari seluruh impor minyak
AS. Tadinya, sejak berakhirnya sidang reguler OPEC di Bali akhir
tahun 1980, juga setelah sidang tengah tahunan yang ke-60 di
Jenewa akhir Mei lalu, Arab Saudi tetap saja bertahan pada
harga deemed marker crude atau yang dianggap sebagai patokan
harga minyak dengan batas US$ 36 per barrel. Dan menetapkan
harga maksimum setinggi US$ 41 per barrel.
Tapi kehebatan harga minyak OPEC itu ternyata tak berlangsung
lama, akibat glut yang makin menjadijadi. OPEC yang tadinya
mampu menimba sebanyak 35 juta barrel sehari, menurut catatan
terakhir hanya memproduksikan sedikit di atas 20 juta barrel
sehari. Dengan kata lain, produksi OPEC sekarang kurang lebih
setingkat dengan produksi OPEC pada tahun 1960-an.
Akan halnya glut yang diperkirakan di atas 3 juta barrel sehari
itu, memang banyak penyebabnya. Selain gerakan penghematan dan
pertumbuhan yang lambat di beberapa negara industri besar,
produksi Arab Saudi yang mencuat sampai sekitar 10 juta barrel
sehari, juga dituding sebagai biang keladi banjirnya minyak di
pasaran.
Maukah Arab Saudi menekan produksinya sekarang? Sehari setelah
sidang istimewa yang memenangkan usul Arab Saudi itu, Sheik Zaki
Yamani mengatakan negerinya bersedia menekan produksi minyak
mereka kembali pada tingkat 8,5 juta barrel sehari di bulan
November ini. Selama bulan Oktober saja, produksi Arab Saudi
sebenarnya sudah turun sedikit, "kira-kira di atas 9 juta barrel
sehari," katanya. Sampai dengan Agustus lalu, produksi rata-rata
sehari minyak Arab Saudi malah mencapai di atas 10 juta barrel.
Kini yang menjadi pertanyaan: Berapa besar jumlah differentals
(pungutan ekstra yang antara lain disebabkan kualitas dan jarak
angkut) boleh dipasang di atas harga patokan resmi yang sekarang
US $ 34 per barrel? Sembari menunggu sidang reguler OPEC yang
ke61 di Abu Dhabi 10 Desember, masingmasing anggota untuk
sementara rupanya boleh mengajukan permintaan.
Belkacem Nabi dari Aljazair akan menetapkan harga ekspor
minyaknya dengan US$ 3 per barrel, sedang Nigeria yang sangat
terpukul dengan membanjirnya penawaran, kini merasa bisa menjual
dengan US$ 37 per barrel. Untuk harga kontrak yang sedang
berjalan, Nigeria hanya menjual US$ 34,50 per barrel. Sedang
Veneuela seperti dikatakan Menteri Perminyakan Hurnberto
Calderon Berti, akan menggunakan dua patokan: untuk kontrak
sebelum 1 November dikenakan US$ 2,50 di atas harga patokan yang
US$ 34 per barrel sekarang,dan US$ 3 per barrel di atas harga
patokan sekarang untuk kontrak-kontrak yang jatuh setelah 1
November.
Seberapa jauh penyesuaian hargaharga minyak yang baru itu,
berikut masing-masing differentials akan mampu ditelan oleh
pasaran, masih harus dilihat lagi. Seperti kau Menteri Subroto,
itu tak terlepas dari sikap negara-negara industri. "Kalau
mereka melepaskan cadangan minyaknya masing-masing, maka minyak
OPEC tak akan bertambah permintaannya," katanya.
Bagi Indonesia, yang sejak sidang di Bali telah menetapkan harga
rata-rata berikut differentials setinggi US$ 35 per barrel,
seperti dikatakan Menko Ekuin Prof. Widjojo Nitisastro memang
tak akan mengalami perubahan. Tapi yang pasti pengeluaran
pemerintah akan bertambah banyak. Untuk mengimpor 100. 000
barrel minyak jenis ALC sehari, Indonesia menurut Subroto harus
menambah beban biaya sebanyak US$ 200.000.
Indonesia dari dulu mengimpor minyak dari Arab Saudi dan juga
Kuwait untuk diolah terutama menjadi minyak tanah. Maksudnya
agar bisa mengekspor minyaknya yang berkualitas tinggi lebih
banyak. Kini, dengan semakin meningkatnya konsumsi bahan bakar
di dalam negeri dan mungkin juga faktor lemahnya pasaran di luar
negeri, produksi Indonesia sedikit menurun.
Di bulan Mei atau Juni 1981, produksi minyak Indonesia masih
tercatat 1,64 juta barrel sehari. Sebanyak 1,1 juta barrel
disisihkan untuk diekspor. Kini produksi kabarnya menurun
menjadi di bawah 1,6 juta barrel sehari. Bahkan menurut seorang
yang mengetahui, mencapai 1,58 juta barrel sehari.
Semua itu sedikit banyak akan berpengaruh pada APBN 1981/1982,
yang memproyeksikan Pajak Perseroan Minyak akan mencapai Rp 8,5
trilyun lebih. Namun yang nampaknya memprihatinkan adalah wajah
RAPBN Indonesia pada 1982/1983. Dalam buku tebal yang biasanya
dibagikan kepada para pejabat tinggi sehari sebelum pidato APBN
Presiden di awal setiap Januari, bisa diduga tak akan nampak
angkaangka spektakuler yang masuk dari uang minyak. Setidaknya,
selama tahun anggaran yang baru nanti, Indonesia harus hidup
dalam harga-harga minyak yang beku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini