Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Dibidik Lewat Transaksi Fiktif

Kejaksaan Agung menyeret nama Hary Tanoesoedibjo dalam kasus dugaan korupsi restitusi pajak Mobile-8. Unsur kerugian negara masih diperdebatkan.

8 Februari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RANGKAIAN pesan WhatsApp masuk ke iPhone 6 milik Yulianto pada pekan pertama Januari lalu. Kepala Subdirektorat Penyidikan Pidana Korupsi Kejaksaan Agung itu menganggap sebagian pesan bernada ancaman. Tak ada identitas pengirim pada ekor pesan. Hanya ada foto profil berupa logo Partai Persatuan Indonesia (Perindo).

Semula Yulianto hanya menebak-nebak siapa pengirim pesan itu. Sampailah pada Sabtu, 9 Januari 2016, ketika dia menerima pesan ketiga dari nomor yang sama. Kali ini pengirim pesan menyebutkan bahwa dia tak berurusan dengan kasus Mobile-8 yang diusut tim Yulianto, karena hal itu menjadi tanggung jawab direksi. Sejak itu Yulianto meyakini pengirim pesan adalah Ketua Umum Perindo Hary Tanoesoedibjo. "Petunjuknya jelas, dia mengaku di atas direksi," kata Yulianto, Selasa pekan lalu.

Kejaksaan Agung sejak awal tahun lalu memang mengusut dugaan korupsi pengembalian kelebihan pembayaran (restitusi) pajak PT Mobile-8 Telecom Tbk yang terjadi pada 2007-2008. Kala itu Hary Tanoe menjadi komisaris sekaligus pemegang saham PT Mobile-8.

Setelah menerima pesan ketiga, Yulianto melaporkan "ancaman" tersebut kepada Direktur Penyidikan Fadil Jumhana. Laporan diteruskan ke Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Arminsyah. Sesuai dengan prosedur, akhirnya laporan tentang pesan "teror" sampai ke meja Jaksa Agung Muhammad Prasetyo. Tak hanya membahasnya di lingkup internal Kejaksaan, Prasetyo membeberkan ancaman tersebut dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat pada pertengahan bulan lalu. Bekas politikus Partai NasDem itu bahkan membacakan isi pesan di hadapan puluhan anggota legislatif.

Mendapat angin dari pemimpin tertinggi Korps Adhyaksa, Yulianto melaporkan Hary Tanoe ke Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI pada Kamis dua pekan lalu. Meski begitu, Yulianto melapor atas nama pribadi, bukan atas nama lembaga atau atas instruksi pejabat tinggi Kejaksaan.

Yulianto memakai Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai dasar laporannya. Menurut pasal ini, penebar ancaman bisa dihukum maksimal 12 tahun penjara.

Hary Tanoe menolak berkomentar tentang manuver Yulianto. Ia menunjuk Hotman Paris Hutapea sebagai pengacara sekaligus juru bicara. Hotman membenarkan kliennya yang mengirim tiga pesan kepada Yulianto. Menurut dia, Hary Tanoe marah karena Kejaksaan kerap mengaitkan dirinya dengan kasus Mobile-8. "Karena itu HT (Hary Tanoesoedibjo) bikin respons yang idealis, bukan ancaman," ucap Hotman.

Jumat pekan lalu, Hary Tanoe mendatangi Bareskrim Polri bersama Hotman. Ia melaporkan balik Yulianto dan Prasetyo sebagai pribadi, bukan sebagai pejabat negara. Hary menuduh Yulianto dan Prasetyo mencemarkan nama dia.

* * * *

KEJAKSAAN Agung mulai menyelidiki kasus dugaan kelebihan bayar pajak PT Mobile 8 pada 20 Januari 2015 setelah menerima pengaduan dari masyarakat. Tim penyelidik lantas mengusulkan peningkatan status kasus ke tahap penyidikan pada 11 Juni 2015, setelah mereka menemukan indikasi pidana korupsi. Kepala Subdirektorat Penyidikan Pidana Khusus kala itu dijabat Sarjono Turin. Yulianto baru menggantikan Sarjono pada 9 September 2015.

Selaku pejabat baru, Yulianto memanggil tim yang menangani kasus restitusi Mobile-8. Ia mempertanyakan mengapa pengusutan kasus ini mandek padahal sudah diusulkan naik ke penyidikan. Yulianto pun memerintahkan tim satuan tugas melakukan gelar perkara. Semua anggota tim akhirnya sepakat melanjutkan pengusutan. Pada 21 Oktober 2015, terbit surat perintah penyidikan. "Sejak itu pengendalian perkara ada di tangan saya," kata Yulianto.

Yulianto bercerita, tim jaksa penyidik sempat mengalami sejumlah kendala, antara lain menyangkut izin pemeriksaan. Kejaksaan, misalnya, harus mendapat lampu hijau dari Menteri Keuangan untuk mendapatkan faktur, invoice, dan dokumen lain yang terkait dengan pajak Mobile-8. Penyidik baru mengantongi surat izin dari Menteri Keuangan pada Desember 2015.

Kendala lain, menurut Yulianto, Mobile 8 tak lagi berada di bawah naungan kelompok usaha milik Hary Tanoe. Perusahaan tersebut dibeli Sinarmas Group pada 2012 dan berubah nama menjadi PT Smartfren Telecom Tbk. "Ini persoalan lagi, seluruh dokumen beralih ke pihak lain," ujar Yulianto.

Setelah mendapatkan seluruh dokumen transaksi Mobile 8 sepanjang 2006-2008, Kejaksaan menguji silang dokumen itu dengan dokumen yang dimiliki Kantor Pelayanan Pajak Perusahaan Masuk Bursa di Direktorat Jenderal Pajak. Hasilnya, jaksa menemukan jejak transaksi fiktif senilai Rp 260 miliar. Transaksi itu dijadikan dasar Mobile-8 ketika mengklaim restitusi. Akibatnya, Kejaksaan memperkirakan telah terjadi kerugian negara sekitar Rp 10,7 miliar.

Menurut Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Arminsyah, tim satuan tugas sudah mengantongi empat alat bukti. Tiga di antaranya berupa data transaksi, surat pernyataan faktur fiktif, dan keterangan saksi ahli. "Satu bukti lain masih rahasia," kata Arminsyah, Rabu pekan lalu.

Surat pernyataan faktur fiktif, menurut Arminsyah, dibuat Direktur PT Djaja Nusantara Komunikasi Ellyana Djaja. Kejaksaan menduga PT Mobile-8 meminta pengembalian kelebihan pajak dengan memakai faktur fiktif itu. "Uang negara dicolong, seolah-olah mereka punya dasar transaksi," ujar Arminsyah.

Transaksi bodong ini terungkap setelah tim Direktorat Jenderal Pajak memeriksa laporan pajak PT Djaja di Kantor Pelayanan Pajak Wonocolo, Surabaya. Kepala KPP Pratama Wonocolo Heru Pamungkas membenarkan lembaganya telah memeriksa PT Djaja sejak 2012 hingga 2013. Hasilnya, memang transaksi itu tidak ada. "Penjelasan di kejaksaan juga seperti itu," kata Heru.

Arminsyah menduga PT Djaja sengaja didirikan untuk melakukan berbagai transaksi fiktif. Indikasinya, PT Djaja yang baru didirikan pada Juni 2007 langsung mencatat transaksi pembelian voucher pulsa dan alat telekomunikasi Rp 80 miliar. Padahal kemampuan transaksi PT Djaja yang tercatat pada akta pendirian maksimal hanya Rp 2 miliar.

Lebih jauh Arminsyah merinci modus restitusi sonder transaksi itu. Mobile-8 mengajukan perhitungan dua jenis pajak, yakni pajak keluaran dan pajak masukan. Pajak keluaran Rp 26 miliar dihitung dari 10 persen total transaksi penjualan, sekitar Rp 260 miliar, pada 2007-2008. Sedangkan pajak masukan Rp 36 miliar dihitung dari 10 persen total transaksi pembelian, sekitar Rp 360 miliar, pada kurun yang sama. Adapun restitusi dihitung berdasarkan selisih pajak keluaran dan pajak masukan.

Kejaksaan mengincar pegawai pajak yang membantu PT Mobile-8 mendapat restitusi senilai Rp 10,7 miliar pada 2009. Pegawai itu diduga menyetujui pemberian restitusi tanpa verifikasi. "Kalau dia cek, pasti tahu ini bohong," ujar Arminsyah.

Selain mengincar pegawai pajak, Kejaksaan membidik petinggi PT Mobile-8. Menurut Arminsyah, patgulipat ini kemungkinan besar diketahui komisaris sekaligus pemilik saham mayoritas PT Mobile-8. "Bahkan bisa jadi dia yang mengatur," ucap Arminsyah.

Berdasarkan akta perusahaan, saham mayoritas Mobile-8, sekitar 60 persen, dimiliki PT Bhakti Investama Tbk, yang telah berubah nama menjadi PT MNC Investama Tbk. PT Bhakti didirikan konglomerat Hary Tanoesoedibjo. Sebelum Mobile-8 dijual ke kelompok Sinarmas, Hary duduk di jajaran komisaris. "Dia komisaris yang punya power," kata Arminsyah.

Untuk menjerat semua yang terlibat, tim penyidik Kejaksaan memakai Pasal 2, 3, dan 9 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Pasal 2 dan 3 menyangkut perbuatan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi. Sedangkan Pasal 9 mengenai pemalsuan buku atau daftar khusus untuk pemeriksaan administrasi. Hukuman maksimalnya 20 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.

Sejauh ini Kejaksaan belum menetapkan tersangka. Namun mereka sudah memeriksa 35 saksi dari PT Mobile-8, PT Djaja Nusantara, dan pegawai pajak. Penyidik juga sudah meminta keterangan dua saksi ahli keuangan negara. Berdasarkan keterangan ahli inilah, menurut Arminsyah, penyidik meyakini bahwa perkara yang mereka usut bukan pelanggaran pajak, melainkan pidana korupsi.

Penyidik juga mempertimbangkan kemungkinan memperluas lingkup pengusutan, tidak sebatas melacak transaksi PT Mobile-8 dengan PT Djaja. Soalnya, selama 2007-2008 saja, penyidik menemukan 334 transaksi bodong. "Belum kami urai satu per satu karena perlu validasi dan klarifikasi," ujar Arminsyah.

Ketika Kejaksaan gencar mengusut restitusi Mobile-8, Direktorat Jenderal Pajak pun membuat telaah khusus atas kasus ini. Dalam dokumen telaah yang sudah dikirim ke Kejaksaan Agung itu, Direktorat Jenderal Pajak menyimpulkan transaksi fiktif yang dicatatkan Mobile-8 tidak merugikan keuangan negara. Alasannya, restitusi pada dasarnya merupakan pengembalian kelebihan pajak yang dibayarkan di muka. Bila transaksi penjualan Mobile-8 kepada PT Djaja Nusantara dianggap fiktif, Mobile-8 bahkan bisa mengklaim restitusi sebesar pajak masukan yang telah mereka setorkan di muka, yakni Rp 36 miliar.

Transaksi fiktif Rp 260 miliar pada 2007-2008, menurut dokumen tersebut, lebih tepat dikategorikan sebagai praktek window dressing. Manuver untuk mempercantik laporan keuangan itu biasanya dilakukan dengan motif menarik dana sebanyak-banyaknya dari masyarakat, misalnya lewat penjualan saham di bursa. Tren penjualan saham Mobile-8 pun cenderung positif selama 2007-2009. Pada kurun itu, Mobile-8 meraup dana masyarakat sekitar Rp 1,38 triliun.

Dokumen telaah Direktorat Jenderal Pajak juga menyimpulkan kasus Mobile-8 lebih pas dikategorikan sebagai dugaan kejahatan pasar modal, yang semestinya ditangani Badan Pengawas Pasar Modal. Sedangkan transaksi fiktif yang justru menguntungkan negara dari sisi perpajakan lebih tepat diusut dengan menggunakan Pasal 39A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pasal tersebut mengatur pembuatan faktur yang tidak didasarkan pada transaksi yang sebenarnya.

Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Pajak Mekar Satria Utama menolak berkomentar tentang kasus Mobile-8. Alasannya, Mekar khawatir menimbulkan polemik dan mengganggu proses hukum yang sedang berjalan. "Kasusnya sedang ditangani penegak hukum," ujar pria yang biasa disapa Toto itu. "Pada saatnya, bila diperlukan, kami akan memberi penjelasan."

Adapun Hary Tanoe memilih irit bicara. "Saya tidak terlibat," katanya. Hotman Paris Hutapea berkukuh menyatakan Mobile 8 berhak mengajukan restitusi. Menurut Hotman, Mobile-8 pun tidak pernah merancang transaksi fiktif dengan PT Djaja Nusantara.

Tanpa menjelaskan relevansinya dengan kasus yang diusut jaksa, Hotman panjang lebar menjelaskan bahwa, sepanjang 2002-2005, Mobile-8 merugi sampai Rp 693 miliar. Namun, pada kurun tersebut, PT Mobile-8 menyetor pajak impor dan pajak fiskal yang dibayar di muka. "Karena pernah bayar, klien kami berhak meminta kembalian," ujar Hotman.

Linda Trianita, Anton Aprianto, Mohammad Syarrafah (Surabaya)


Pesan 'Intervensi' Hary

PENGUSUTAN kasus dugaan korupsi restitusi pajak pertambahan nilai (PPn) PT Mobile-8 Telecom di Kejaksaan Agung menyeret nama pengusaha Hary Tanoesoedibjo. Selain menjadi "sasaran tembak", Ketua Umum Partai Persatuan Indonesia (Perindo) itu dituding mengintervensi proses hukum lantaran mengirim pesan pendek ke nomor telepon seluler atasan jaksa penyidik kasus Mobile-8.

2015

20 Januari.
Penyelidikan kasus restitusi pajak Mobile-8 sebesar Rp 10 miliar dimulai. Tim penyidik dipimpin Ali Nururdin. Ketika itu Kepala Subdirektorat Pidana Korupsi adalah Sarjono Turin.

11 Juni.
Kasus diusulkan ke penyidikan karena sepanjang 2007-2008 ditemukan transaksi Rp 260 miliar yang diduga fiktif dari Mobile-8 ke PT Djaja Nusantara Komunikasi. Transaksi itu untuk pembelian voucher pulsa provider. Saat itu perusahaan ini dikendalikan Bhakti Investama milik Hary Tanoe.

9 September.
Yulianto menggantikan Sarjono Turin. Ia meminta menindaklanjuti kasus itu.

21 Oktober.
Perkara masuk tahap penyidikan, tapi belum ada tersangka.

2016

5 Januari.
Yulianto menerima pesan WhatsApp dari nomor yang tidak tercatat di direktori telepon selulernya. Isinya antara lain berbunyi, "Mas Yulianto, kita buktikan siapa yang salah dan siapa yang benar. Siapa yang profesional dan siapa yang preman. Saya pasti jadi pemimpin negeri ini."

7 Januari.
Yulianto menerima pesan yang mirip dari nomor yang sama.

9 Januari.
Yulianto kembali menerima pesan WhatsApp dari nomor itu. Isinya antara lain "Saya sebenarnya tidak ada urusan dengan Mobile-8 karena ini urusan operasional yang merupakan tanggung jawab direksi." Dari penelusuran Yulianto, termasuk mengecek foto profil pengirim, ia mengetahui pemilik nomor itu adalah Hary Tanoe. Pengacara Hary, Hotman Paris Hutapea, membenarkan pengirim pesan itu adalah kliennya.

20 Januari.
Dalam rapat dengan Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Jaksa Agung M. Prasetyo membeberkan dugaan intervensi Hary Tanoe kepada anak buahnya.

Tersandung Restitusi

Restitusi pajak kerap berujung ke ranah pidana karena rawan dipermainkan. Menurut Undang-Undang Perpajakan, restitusi merupakan pengembalian kelebihan pembayaran pajak. Ini perhitungan restitusi Mobile-8 pada 2007-2008 yang dibayar negara pada 2009.

Hubungan segitiga:
Vendor ---> Mobile 8 ---> PT Djaja Nusantara

Dirjen Pajak

Keterangan:

@2006-2008
Mobile-8 membeli barang modal ke sejumlah vendor senilai Rp 360 miliar (terkena pajak masukan) ' Ini transaksi riil.

@2007-2008
Mobile-8 menjual voucher ke PT Djaja Nusantara senilai Rp 260 miliar (terkena pajak keluaran) ' Transaksi fiktif.

@2009
Mobile-8 meminta pengembalian kelebihan membayar pajak (restitusi) kepada Direktorat Jenderal Pajak. Dibayarkan Rp 10 miliar.
Pajak masukan = PPn 10% x semua transaksi pembelian tahun pajak
Pajak keluaran = PPn 10% x semua transaksi penjualan tahun pajak

Perhitungan dengan Transaksi Fiktif

Pajak dipungut negara = Pajak keluaran-pajak masukan
= (10% x Rp 260 miliar)-(10% x Rp 360 miliar)
= Minus Rp 10 miliar

Restitusi pajaknya Rp 10 miliar (sudah dibayar negara)

Perhitungan tanpa Transaksi Fiktif
Pajak dipungut negara = Pajak keluaran-pajak masukan
= (10% x 0)-(10% x Rp 360 miliar)
= Minus Rp 36 miliar
Restitusi pajaknya Rp 36 miliar

Naskah: Anton A. Wawancara, Pdat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus