Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERBEDA dari biasanya, rapat Komisi Pemerintahan (Komisi II) Dewan Perwakilan Rakyat dengan Panitia Seleksi Anggota Ombudsman Republik Indonesia pada Kamis dua pekan lalu lebih "meriah". Ketua Panitia Seleksi Agus Dwiyanto menghitung setidaknya 30-an dari 44 anggota Komisi hadir pada pertemuan terakhir itu. "Mereka tampak lebih bersemangat dan kritis," kata Agus, Kamis pekan lalu.
Hari itu sejumlah anggota Komisi II mencecar Panitia Seleksi dengan pertanyaan bernada tuduhan. Mereka menuding dua anggota Panitia Seleksi, Zumrotin K. Susilo dan Anis Hidayah, melanggar kode etik. Politikus Senayan menuduh kedua orang ini bersekutu memuluskan calon dari kalangan pegiat lembaga swadaya masyarakat.
Menurut Ketua Komisi IIRambe Kamarul Zaman, Zumrotin dan Anis aktif berkomunikasi dan menggalang dukungan dari kalangan pegiat LSM untuk meloloskan calon mereka. "Kami mendapat laporan dari masyarakat soal konspirasi tersebut," ujar Rambe, Rabu pekan lalu.
Buntut rapat itu, Komisi Pemerintahan DPR mengundang Menteri Sekretaris Negara Pratikno untuk rapat tertutup, Senin malam pekan lalu. Akhirnya DPR memutuskan mengembalikan 18 nama calon anggota Ombudsman RI periode 2016-2021 pilihan Panitia Seleksi ke Presiden Joko Widodo.
Keesokan harinya, Komisi II DPR mengirimkan surat resmi ke Istana. Padahal hari itu DPR seharusnya mulai menggelar uji kelayakan untuk memilih sembilan nama. Masa jabatan anggota Ombudsman saat ini akan habis pada 17 Februari 2016. "Kami kecewa terhadap tim Panitia Seleksi yang bisa diintervensi," kata Rambe.
PEMBERITAHUAN yang diterima Anung Didik Budi Karyadi pada Jumat pekan lalu tak menjelaskan alasan pembatalan uji kelayakan oleh Komisi II DPR. Calon anggota Ombudsman yang masuk 18 besar ini hanya diberi tahu tes ditunda karena "satu dan lain hal". Belakangan, Anung tahu bahwa dia dituding tak memenuhi syarat pencalonan. "Saya baru tahu lewat berita," ujar Anung, Kamis pekan lalu.
Tudingan itu semula datang dari Aliansi Pemerhati Parlemen Indonesia (APPI). Adianto, ketua organisasi tersebut, mengatakan merekalah yang mengadukan dugaan pelanggaran kode etik oleh Panitia Seleksi Ombudsman ke Komisi II pada medio Desember tahun lalu.
Adianto menuturkan, APPI memantau proses pemilihan anggota Ombudsman periode 2016-2021 sejak November tahun lalu. Kala itu Panitia Seleksi telah mengumumkan 18 nama calon yang diajukan ke Presiden Jokowi. "Satu per satu kami pelajari rekam jejaknya," kata Adianto, Kamis pekan lalu.
Di tengah penelusuran, menurut Adianto, APPI menerima dokumen berisi transkrip pembicaraan grup WhatsApp--aplikasi layanan pesan instan--bernama "Kawal Seleksi ORI". Mayoritas anggota grup percakapan ini berasal dari kalangan pegiat lembaga nonpemerintah. Zumrotin K. Susilo, yang merupakan aktivis Yayasan Kesehatan Perempuan, dan Anis Hidayah, yang juga pegiat perlindungan buruh dari Migrant Care, terdaftar sebagai anggota grup.
Adianto mengaku tak tahu siapa pengirim transkrip setebal 25 halaman itu. Menurut dia, salinan obrolan tersebut merekam jelas bagaimana beberapa aktivis LSM berkoordinasi meloloskan calon dari kalangan mereka. "Setelah dicek, ternyata ada dua anggota Pansel dalam grup tersebut," ucap Adianto.
Adianto menuduh Zumrotin dan Anis aktif menggalang dukungan. Dasarnya adalah kutipan transkrip percakapan pada 27 Agustus 2015. Kala itu Zumrotin memberi tahu anggota grup tersebut bahwa waktu pendaftaran calon anggota Ombudsman akan diperpanjang. Masa pendaftaran akhirnya memang diperpanjang dari 27 Agustus menjadi 3 September 2015. Adianto menganggap pengunduran waktu ini sebagai upaya agar lebih banyak aktivis LSM yang mendaftar.
Zumrotin tidak membantah masuk grup percakapan "Kawal Seleksi ORI". "Saya diundang masuk," katanya Rabu pekan lalu. Menurut dia, grup tersebut banyak memberi informasi tentang sepak terjang calon anggota Ombudsman. "Itu jadi bahan masukan bagi Panitia Seleksi juga," ujar Zumrotin.
Masalahnya, menurut Zumrotin, ada yang memelintir substansi percakapan dalam grup tersebut. Perpanjangan waktu pendaftaran, misalnya, itu karena jumlah pelamar yang masih sedikit: 163 orang. Persebaran daerah asal pendaftar pun tidak merata. "Padahal kami ingin menjaring banyak calon yang mumpuni," katanya.
Obrolan Zumrotin di grup percakapan itu pun tak selamanya sejalan dengan anggota lain. Dalam satu perbincangan pada 16 September 2015, misalnya, Zumrotin menampik tudingan anggota grup lain yang menganggap Panitia Seleksi tak cermat meluluskan calon. Waktu itu Panitia Seleksi baru menyelesaikan penjaringan tahap kedua, yaitu uji makalah para calon. Pada tahap itu, hanya 73 nama--dari 237 pendaftar--yang lolos ke tahap uji rekam jejak.
Dalam obrolan hari itu, beberapa anggota grup mempertanyakan mengapa Panitia Seleksi meloloskan calon bermasalah. Zumrotin, seperti tercatat dalam transkrip, menampik anggapan tersebut. "Hasil tes makalah mereka memang bagus, sehingga lolos ke tahap berikutnya," ujar Zumrotin.
Senada dengan Zumrotin, Anis Hidayah mengatakan grup "Kawal Seleksi ORI" bersifat terbuka dan bukan hasil inisiatif Panitia Seleksi. Anis menegaskan bahwa dia tak punya motif apa pun selain memastikan calon anggota Ombudsman yang diajukan ke DPR adalah mereka yang tepercaya dan tak punya cacat hukum. "Tugas Panitia Seleksi bersifat kolektif dan independen. Tidak bisa diintervensi," ucap Anis.
Akhirnya Panitia Seleksi memilih 18 nama calon. Tujuh orang di antara mereka memang dikenal dekat dengan kalangan aktivis lembaga swadaya masyarakat. Selain Anung Didik, ada Juni Thamrin dari Indonesian Popular Governance Institute; Ahmad Alamsyah Saragih, mantan Ketua Komisi Informasi Pusat; dan Ninik Rahayu, mantan KomisionerKomisi NasionalAnti Kekerasan terhadapPerempuan.
Khusus untuk Anung, APPI melaporkan ke Komisi II DPR bahwa Panitia Seleksi sengaja meloloskan dia meski tidak memenuhi syarat. Laporan APPI menyebutkan Anung tidak tamat kuliah jenjang sarjana dan kurang berpengalaman.
Menurut Pasal 19 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, calon anggota lembaga penerima pengaduan masyarakat atas berbagai pelayanan publik itu harus bergelar sarjana hukum. Adapun sarjana jurusan lain harus berpengalaman minimal 15 tahun di bidang hukum atau pemerintahan yang menyangkut penyelenggaraan pelayanan publik.
Anung mempersoalkan akurasi laporan APPI. "Saya memang pernah tak tamat kuliah, tapi melanjutkan lagi hingga lulus," katanya. Anung menuturkan, ia pernah kuliah di Jurusan Teknik Elektro Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah. Namun, pada 1986, ia memutuskan keluar dan bekerja. Kemudian Anung melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta dan lulus pada 2010. Nama Anung pun tercatat di daftar lulusan kampus tersebut.
Menurut Anung, tudingan tak berpengalaman di bidang pelayanan publik juga tidak beralasan. Sejak 1998, ia aktif di pelbagai organisasi, seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia pada 2000-2002 dan Transparency International Indonesia pada 2007-2008.
Ketua Panitia Seleksi Ombudsman Agus Dwiyanto juga menepis tuduhan Adianto. Menurut dia, sistem seleksi telah dibuat untuk menutup celah intervensi dari pihak luar. Salah satu caranya adalah membandingkan penilaian oleh tiap anggota Panitia Seleksi. Bila ada calon yang dinilai tinggi tapi dinilai rendah oleh anggota Panitia lain langsung diklarifikasi. Keputusan meloloskan setiap calon pun selalu diambil dalam rapat panel.
Sebaliknya, Agus ragu terhadap kredibilitas APPI, yang tak pernah melaporkan temuan mereka ke Panitia Seleksi. "Padahal kami membuka ruang diskusi," ujarnya. Menurut Agus, Panitia Seleksi pun telah melacak kantor APPI, yang disebut beralamat di Jalan Pemuda I, Rawamangun, Jakarta Timur. Ternyata, di sepanjang jalan tersebut, Panitia Seleksi tak menemukan kantor APPI.
Ihwal alamat kantor, Adianto berkilah, APPI dulu pernah mengontrak rumah di sekitar Jalan Pemuda 1, tapi masa sewa rumah sudah habis. "Kami sedang mencari rumah baru," katanya.
Berbekal laporan Adianto, pada akhir Desember tahun lalu, Komisi II DPR menggelar rapat dengar pendapat dengan beberapa lembaga swadaya masyarakat, termasuk APPI. "Kami harus menanggapi setiap informasi yang masuk, apalagi ini tuduhannya serius," ucap Rambe Kamarul Zaman. Politikus Partai Golkar ini menganggap keterlibatan dua anggota Panitia Seleksi dalam percakapan grup WhatsApp sebagai pelanggaran etika.
Juru bicara kepresidenan, Johan Budi Sapto Pribowo, mengatakan Jokowi telah menerima surat dari Komisi II terkait dengan dugaan pelanggaran etik oleh anggota Panitia seleksi Ombudsman. Laporan itu, menurut Johan, akan menjadi bahan pertimbangan dalam memilih anggota Ombudsman di masa mendatang. "Untuk saat ini, Presiden sudah berkirim surat ke DPR agar mereka meneruskan pemilihan," kata Johan kepada Muhamad Rizki dari Tempo.
Syailendra Persada, Ananda Teresia, Rusman Paraqbueq
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo