PADA usia 18 tahun, Andi Nahan disergap rasa putus asa. Sejak kecil menderita leukemia, pada usia remaja ketabahannya tak lagi bersisa. Padahal, penyakit itu mungkin bisa disembuhkan - setidaknya dengan transplantasi sumsum tulang, yang menurut rencana akan dilakukan di RS Tegalrejo, Semarang. Akhir Januari lalu, dari kediamannya di Jakarta, pemuda ini dibawa orangtuanya ke Semarang untuk menjalani transplantasi sumsum tulang. Namun, ia tak bisa segera dioperasi, karena fisiknya masih lemah. Dalam masa penantian ini Andi melepas harapannya. Kamis 18 Februari lalu, pagi buta pukul 02.30, setelah berhasil menyelinap dari kamar 423 tempat ia dirawat, Andi terjun dari tingkat 4 RS Tegalrejo. Ia tewas seketika, tubuhnya berlumuran darah. Ibunya, dan para perawat yang mengawasinya siang malam, masih sempat mengejar sambil berteriak-teriak. Namun, seperti pada semua peristiwa bunuh diri, keadaan telanjur menjadi sangat sulit. Mereka tak berani mendekat, karena Andi mengancam, tentu dengan iming-iming bunuh diri itu. Tatkala para pemburu mati langkah, "Ia melompat dari ketinggian sekitar 12 meter," demikian dr. Haryanto Prayoga, direktur umum RS Tegalrejo, Semarang. Felisitas Anastasia Ratna Kurniawati Kaliman, tetangga dan sahabat dekat Andi sejak kecil, pada hari yang sama, baru saja luput dari kematian akibat usaha bunuh diri juga. Sang sahabat mencoba mengakhiri hidup, dengan menelan 30 butir pil sakit kepala, Refagan. Sebelumnya, gadis berusia 21 tahun ini mencoba mencabut nyawanya dengan racun serangga. Tak bisa dicegah, berita kematian Andi sampai juga ke telinga Ratna hari itu. "Kasihan Andi, saya sudah beberapa kali bermimpi bertemu dengan dia," ucap sang sahabat - seperti yang dituturkan kakaknya, Sujono. Keluarga Ratna cemas. "Kami khawatir dia terpengaruh," kata Sujono. Kekhawatiran ini cukup berdasar, karena Andi dan Ratna bersahabat. Keduanya merasa senasib. Ratna adalah penderita asma akut dan eksem - yang menjalar di sekitar leher dan merusakkan penampilannya. Penyakit-penyakit itu sudah menggerogoti Ratna sejak ia kelas enam SD. Kelas 2 SMP, gadis itu pernah memutuskan berhenti sekolah karena malu. Gangguan terakhir datang Desember tahun lalu. Karena asmanya kumat, ia terpaksa mengajukan cuti istirahat selama 1 tahun. Namun, Sekolah Menengah Teknologi Kerumahtanggaan, tempat ia bersekolah, menolak memberikan dispensasi. Semangat Ratna runtuh. Kendati sudah dijaga ketat dan dikawal ke mana-mana, Selasa siang, 23 Februari pekan lalu, Ratna berhasil menyelinap dari kamarnya. Sujono masih sempat memburu, memperhitungkan Ratna berniat terjun dari Gajah Mada Plaza. Beberapa hari sebelumnya memang ia minta diantarkan ke pusat perbelanjaan mewah ini. Namun, Selasa siang itu ia seakan sengaja mengecohkan kakaknya. Ratna tidak ke Gajah Mada Plaza, tetapi ke perkantoran Hayam Wuruk Plaza. Dari tingkat 21 gedung ini, ia mengempaskan diri ke bawah, disaksikan sejumlah penarik becak dan pedagang kaki lima yang tak mampu berbuat apa-apa. Ratna tewas seketika. Pola bunuh diri Andi dan Ratna, yang terjadi selang beberapa hari dan dramatis ini, terasa istimewa dibandingkan dengan kasus bunuh diri lain, yang sudah sering diberitakan. Latar belakang dan peri laku keduanya sangat dekat dengan rekaan sosiolog Prancis terkenal Emile Durkheim. Kumpulan studi Durkheim tentang bunuh diri, yang terhimpun dalam bukunya Le Suicide - diterbitkan tahun 1897 - hingga kini masih dianggap sebagai teori standar bagi kasus-kasus bunuh diri. Menurut Durkheim, rasa senasib akibat penyakit fisik yang kronis di antara seorang wanita dan seorang pria adalah dorongan potensial bagi perbuatan bunuh diri bersama. Dorongan ini, yang bangkit akibat saling mempengaruhi, jauh lebih besar daripada tekad bunuh diri sepasang kekasih . Kesesuaian lain adalah saat yang dipilih Andi dan Ratna untuk melaksanakan niat. Menurut kategori Durkheim, inilah ciri bunuh diri dramatis. Tekad bunuh diri jenis ini biasanya mencapai puncak pada saat-saat yang indah. Seperti suasana pagi atau hari yang cerah - saat-saat yang dipilih Andi dan Ratna. Sangat jarang bunuh diri dramatis dilakukan pada malam hari, saat orang lain istirahat. Bunuh diri menurut Durkheim adalah gejala dunia modern di mana suasana kompetitif terasa keras, dan kehidupan tersudut ke kotak-kotak keluarga kecil. Dalam keadaan ini kehilangan seorang yangdikasihi, ditambah kegagalan dalam mencapai tujuan, akan menjadi depresi yang menjurus ke perbuatan bunuh diri. Kedua gejala yang disebutkan Durkheim, paling tidak, ada pada Ratna. Selain rasa putus asa karena tak bisa meneruskan sekolah, empat tahun lalu ayahnya meninggal. Menurut keluarganya, ini kehilangan besar bagi Ratna karena ia anak kesayangan sang ayah. Di samping teori Durkheim, teori psikoanalisa yang digariskan Sigmund Freud hingga kini masih luas dipercaya. "Menurut Freud, setiap orang mempunyai instink untuk mati dan instink untuk hidup," ujar Psikolog Suprapti Sumarmo Markam. Freud menyebutkan instink ini sebagai dorongan penghancuran diri - self destruction. "Bunuh diri berada pada instink ini," ujar Suprapti lagi. Dalam bentuk sehari-hari instink untuk mati, menurut Suprapti, juga menampakkan manifestasintya. Pada anak kecil misalnya membentur-benturkan kepala ketika kesal. Pada orang dewasa menyakiti diri ketika marah. "Tapi instink ini biasanya bisa dikendalikan," ujar Suprapti. Kapan instink ini tidak terkontrol, menurut Suprapti, sulit dipastikan. Yang lebih bisa ditentukan adalah depresi. Mereka yang melakukan bunuh diri umumnya mengalami depresi psikotik yang sudah lama diderita atau depresi nerotik akibat guncangan jiwa yang hebat. Psikolog senantiasa was-was menghadapi keadaan ini, tapl menurut Suprapti, biasanya mereka toh gagal menangkap isyarat ketika penderitaan ini kemudian berkembang menjadi dorongan bunuh diri. Batas antara niat bunuh diri dan keputusan melakukannya memang tak pernah sesungguhnya bisa disingkapkan. Freud menduga tindakan ini adalah hasil kalkulasi yang sangat cermat. Di baliknya terkandung formulasi membuat kejutan teatral yang bisa dengan efektif membangkitkan rasa sakit. Jim Supangkat, Tri Budianto (Jakarta), Nanik Ismaini (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini