KEADAAN sering dituding sebagai penyebab utama kemelut lalu lintas, sementara faktor manusia di baliknya sering diabaikan. Misalnya, kenyataan bahwa jumlah kendaraan di masa kini telah jauh melebihi kapasitas jalan raya, hingga pantas dituding sebagai biang keladinya. Cara melihat seperti ini, menurut Dr. Sarlito Wirawan Sarwono, hanyalah sekadar mencari kambing hitam. Psikolog ini berpendapat, masalah individual di sekitar pengemudi justru penting untuk dikaji. Menurut Sarlito, ketidaktertiban lalu lintas tak bisa cuma dilihat secara umum dan disimpulkan sebagai kurang disiplin. "Kalau masalah ini dikemukakan, jawabannya biasanya, bila semua pengemudi menyadari arti disiplin, kecelakaan lalu lintas bisa dihindari," katanya. Ini, menurut Sarlito, bukan mencari jalan keluar. Untuk mencari terobosan dalam upaya mengatasi kemelut lalu lintas, Sarlito merasa tidak perlu ada jalan pintas. "Mau tidak mau kita harus menghadapi daftar panjang, mulai dari yang sangat makro sifatnya sampai faktor mikro yang sifatnya individual." Pendapat ini dilontarkan pslkolog terkenal itu pada Seminar Ketertiban Berlalu Lintas dan Peragaan, yang diselenggarakan Sekolah Lanjutan Perwira Polri bersama TEMPO di Jakarta, Selasa, pekan lalu. Namun, dalam menyoroti peri laku pengemudi, Sarlito menjuruskan perhatiannya pada interaksi antara pelaku dan lingkungannya. "Kita ndak bisa melihat individu secara telanjang, tanpa mempedulikan faktor-faktor makro," katanya kepada Tri Budianto dari TEMPO. "Dalam hal ini tingkah laku individu adalah ramuan berbagai hal seperti pendidikan, pengalaman, dan budaya," katanya lagi. Dalam mengkaji tingkah laku pengemudi dan kaitannya dengan kecelakaan dan kekacauan jalan raya, pengemudi bis dan truk perlu disorot khusus. Soalnya, persentase kecelakaan akibat kendaraan umum cukup besar. Data di Polda Metro Jaya menunjukkan, pada tahun 1987, 18% dari seluruh kecelakaan di Jakarta diakibatkan kendaraan umum, sementara 30% kematian di jalan raya juga akibat kecelakaan yang melibatkan kendaraan jenis ini. Padahal, jumlah kendaraan berpelat nomor kuning hanya 3% dari seluruh kendaraan bermotor. Penyebab utama adalah sang pengemudi, yang cenderung mengabaikan peraturan lalu lintas dan menjalankan kendaraannya dengan kecepatan tinggi. "Pokoknya, hampir semua sopir angkutan umum itu memang ugal-ugalan," ujar Letkol. Pol. Latief Rabar, dari Polda Metro Jaya. "Walaupun Anda masih selamat sampai sekarang, sebaiknya tetap berhati-hati naik kendaraan umum," pesannya. Penyebab yang sering dikemukakan ialah pengemudi terpaksa ngebut karena mengejar setoran. Namun, mengapa pengemudi truk juga melakukan tindakan yang sama, padahal mereka tidak terkena wajib setor? Untuk menjawab pertanyaan ini perlu pengkajian peri laku pengemudi secara lebih individual. Mencoba menganalisa keadaan ini, Sarlito menunjuk cepatnya mobilitas sosial terjadi - perpindahan penduduk yang diikuti "loncatan" budaya. "Misalnya, seorang petani yang mula-mula jadi kernet bis, dan dalam waktu singkat bisa menjadi pengemudi," ujar Sarlito. "Ya, kalau sudah pegang bis, dia akan merasa jadi raja jalanan. Sensasi perasaan yang kompleks melonjak tanpa bisa ditahan." Tidak jarang pengemudi jenis ini kemudian dengan sadar menghentikan kendaraannya di tengah jalan, ngebut atau malah nyrempet-nyrempet bahaya. Apalagi bila kendaraan yang dibawanya berukuran besar. Ia merasa mempunyai kesempatan untuk menunjukkan eksistensinya. Semakin besar reaksi yang terjadi, - hingga lalu lintas macet dan banyak pengemudi lain bersumpah serapah - semakin besar kesenangan yang didapatnya. "Dia ingin menunjukkan, dia sekarang bukan orang sembarangan, bahwa dia sekarang memiliki kekuatan dan kekuasaan," tutur Sarlito. Loncatan budaya yang terlalu besar membuat banyak pengemudi mendapat kesukaran untuk mematuhi tata krama. Tanggung jawab sosial yang mereka kenal berbeda dengan yang dituntutkan pada mereka kini. Dalam lingkungan budaya yang dikenalnya dulu, tanggung jawab membawa kendaraan bermotor secara tertib tidak ada, karena kendaraan macam ini memang tidak ada. "Maka super-ego-nya jadi tidak berfungsi sama sekali," kata Sarlito. Celakanya, dalam keadaan terlepas dari kontrol ini, yang menonjol kemudian justru peri laku agresif. Prof. Dr. Suwarsih Warnaen sependapat dengan Sarlito. Loncatan budaya yang dialami pengemudi merupakan penyebab potensial terJadmya berbagai kekacauan. Guru besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia itu menambahkan, pandangan si pengemudi tentang kendaraan bermotor juga berperan. Yang namanya mesin sering dianggap kemajuan zaman modern, dan kemampuan mengendarainya adalah sebuah kerja yang bergengsi. "Maka, ugal-ugalan bisa juga dilihat sebagai usaha untuk mengekspresikan kemampuan ini," ujar psikolog itu . Keinginan memperlihatkan kepiawaian kemudian membuat pengemudi cenderung melanggar peraturan. Masalahnya, menurut Warnaen, melanggar peraturan mereka anggap sebagai sesuatu yang sulit, dan mengatasi keadaan sulit itu dianggap bisa menunjukkan keterampilan tinggi dalam mengemudi. Apalagi bila dalam kendaraan umum senantiasa ada penumpang, yang bisa disamakan dengan penonton bagi "pertunjukan keterampilan". Maka, semakin banyak penumpang, semakin terangsang si pengemudi untuk bertindak gila-gilaan. Menghadapi hilangnya self control semacam ini, Warnaen berpendapat, fungsi kontrol yang dilakukan polisi menjadi sangat utama. Untung, pada kenyataannya polisi memang mengincar pengemudi kendaraan umum ini. "Sering kita lihat, bila ada polisi, pengemudi-pengemudi ini bisa disiplin," katanya, "tapi begitu ada kelonggaran, mereka kembali mengemudi secara gila-gilaan." Sementara itu, Sarlito berpendapat, perlu ada seleksi lebih ketat dalam memberikan Surat Izin Mengemudi (SIM), khusus bagi pengemudi kendaraan umum. Perlu ada seleksi berat, yang sebaiknya meliputi pula pengamatan latar belakang calon pengemudi. Soalnya, kecerobohan dalam mengeluarkan SIM bisa berarti menyebarkan teroris ke jalan-jalan raya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini