Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bupati dan pabrik yang buka-tutup

Pabrik pt ardiyanto wijayakusuma batik di cisalak, bogor menjadi sengketa. ny. ribka sebagai pemilik perusahaan tidak mau pindah, padahal masa kontraknya habis. theo, pemilik tempat usaha itu menggugat.

16 Juli 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM waktu sepekan, pabrik PT Ardiyanto Wijayakusuma Batik (AWB) di Cisalak, Bogor, mengalami buka-tutup sampai dua kali. Semula, Kamis dua pekan lalu, pabrik pengekspor pakaian jadi itu ditutup Bupati Bogor Soedardjat Nataatmadja, karena izin tempat usahanya (HO) telah dicabut Bupati, menyusul sengketa antara pemilik perusahaan dan pemilik tempat usaha tersebut. Tapi tiga hari kemudian, lewat memonya Bupati mengizinkan pabrik itu dibuka kembali. Tiga hari setelah itu, atau Kamis pekan lalu, dalam rapat Muspida Kabupaten Bogor, yang juga dipimpin Bupati, pabrik AWB itu diputuskan untuk ditutup kembali. Namun, selesai rapat, berkat upaya pengacara AWB, O.C. Kaligis, Bupati kembali meralat keputusan itu, dan mengizinkan pabrik konfeksi tadi beroperasi lagi sampai 26 Juli yang akan datang, untuk menyelesaikan produksinya yang terbengkalai. Setelah itu. pihak AWB diberi waktu membongkar mesin-mesinnya sampai 5 Agustus, kemudian menutup usahanya di tempat itu. Soal buka-tutup pabrik AWB ini bermula dari urusan sewa-menyewa pabrik itu oleh Nyonya Ribka Lusinawati kepada pemiliknya, Hartaji Winata alias Theo. Hak sewa pabrik seluas 1.058 m2 di atas tanah 3.310 m2 itu, Juli 1986, diperoleh Ribka melalui pengoperan hak sewa dari penyewa semula, Roy Indra Kusnohadi. Kepada Theo, Ribka membayar Rp 5,6 juta untuk sisa masa sewa selama 13 bulan 24 hari. "Istilah awamnya, hak sewa semacam itu adalah kontrak karena memakai batas waktu," kata pengacara Theo, Amir Syamsuddin. September lalu, menjelang habisnya sewa, pertikaian pun muncul di antara mereka. Sebab, Theo hendak memutuskan hubungan sewa tadi jika Ribka tak sanggup membayar uang kontrak baru sebesar Rp 35 juta per tahun. "Kenaikan harga sewa itu tak wajar," ujar Nyonya Ribka. Sebab, selain jauh melebihi harga sebelumnya, ia juga sudah merenovasi pabrik dengan biaya Rp 15 juta. Ketika masa kontrak habis, Ribka tidak mau pindah. Sebab itu, pertentangan antara kedua pihak semakin memuncak. Perselisihan itu kemudian diakhiri dengan perjanjian baru, yaitu perpanjangan masa sewa selama 3 bulan dengan harga Rp 4 juta -- dengan catatan perjanjian tak bisa diperpanjang lagi. Setelah waktu tiga bulan habis, Desember lalu, sengketa kembali muncul karena Ribka tak juga meninggalkan pabrik. "Saya memerlukan pabrik itu untuk buka usaha sendiri," ujar Theo, direktur CV Dewa Citra Off. Persoalan itu kemudian diadukan Theo ke Wali Kota Administratif Depok dan Bupati Bogor. Pada 9 Januari lalu, Sekretaris Kota Depok, Erno Hadi Suharno, membatalkan izin tempat usaha AWB, kendati dalam izin yang dikeluarkan Wali Kota pada 3 Agustus 1987, disebutkan izin itu berlaku selama tiga tahun. Pada 21 Maret pabrik itu ditutup Wali Kota. Tapi seminggu kemudian, pihak AWB membuka sendiri segel pabriknya, dengan alasan penutupan itu seharusnya wewenang pengadilan, bukan wali kota. Dan bahkan Nyonya Ribka, melalui Kaligis, menggugat Theo dan Wali Kota ke pengadilan. Sebab, kata Kaligis, pihak Wali Kota tidak berhak mencabut izin usaha itu hanya karena sengketa sewa-menyewa. Dan akibat penutupan selama seminggu itu, katanya, rencana ekspornya senilai US$ 327.000 gagal, sehingga pihaknya rugi sekitar Rp 700 juta. Bupati Soedardjat, setelah itu, turun tangan. Rabu dua pekan lalu, Soedardjat memermtahkan agar pabrik tersebut ditutup. "Sebab, masa sewa pabrik telah berakhir, sementara pemiliknya tak ingin menyewakan lagi. Padahal, persetujuan dari penyewa merupakan salah satu syarat izin tempat usaha," begitu alasan Soedardjat menutup pabrik itu. Keesokan harinya, penutupan pabrik AWB dilaksanakan tim pemda, dipimpin Hendarsyah, dengan bantuan aparat keamanan. Sekitar 405 orang buruh AWB berusaha mempertahankan agar pabrik mereka tetap dibuka. Mereka berteriak, menyanyi, dan memasang poster berisi slogan-slogan protes. "Pabrik ditutup, nasib kami terlunta-lunta", bunyi tulisan di salah satu poster itu. Sementara itu, pengacara AWB, O.C. Kaligis, dan beberapa asistennya berusaha mendebat anggota tim. "Ini urusan sewa-menyewa, bukan wewenang pemerintah daerah," kata Kaligis. Menurut Kaligis, urusan itu seharusnya wewenang pengadilan, sebagaimana tercantum dalam perjanjian sewanya. Begitu pula eksekusi berupa penutupan pabrik, katanya, hanya bisa dilakukan pengadilan. Toh pada hari itu pabrik tersebut terpaksa ditutup. Nyonya Ribka, yang sedang dirawat di Rumah Sakit Pondok Indah karena sakit liver dan ginjal, juga geram mendengar penutupan itu. "Saya akan menuntut Theo. Gara-gara dia, ekspor 7 Juli nanti bisa batal," ucapnya. Pada tanggal itu, AWB rencananya akan mengekspor sekitar 6.000 lusin pakaian jadi ke Amerika. Pihak AWB, yang konon punya aset sekitar Rp 2 milyar itu, mengaku tiap tahun mengekspor senilai US$ 3 Juta. Tapi Theo tenang saja mendengar serangan lawannya itu. "Dulu saya bersedia memperpanjang kontrak karena Nyonya Ribka beralasan belum dapat tempat baru, sementara produksinya tengah berjalan. Tapi setelah waktu perpanjangan itu habis, ia tetap ngotot tak mau menyerahkan kembali pabrik itu," kata Theo. Pengacaranya, Amir Syamsuddin, malah heran melihat tindakan Ribka bertahan di pabrik itu. Sebab, katanya, dalam perjanjian sewa-menyewa itu tegas-tegas disebutkan jangka waktunya. Seharusnya, katanya, si pengontrak serta merta pergi bila jangka waktunya habis. Sebab itu, ia menganggap upaya peradilan yang ditempuh Ribka hanya akalakalan pihak lawannya itu agar tetap bisa mendiami, pabrik yang disewanya. "Kalau pemerintah tak bertindak tegas, kasus ini bisa jadi preseden, sehingga nanti orang takut mengontrakkan rumahnya," ujar Amir lagi. Toh Sabtu lalu, atas izin Bupati, pabrik itu dibuka kembali, kendati hanya untuk beberapa hari. Menurut Soedardjat, ia memperkenankan pabrik itu beroperasi sampai akhir bulan ini semata-mata untuk menyelamatkan devisa negara. Sebab, pihak AWB butuh waktu beberapa hari guna menyelesaikan produksinya untuk ekspor bulan ini. "Semua itu atas dasar kebijaksanaan, yang menyangkut devisa negara dan ekspor nonmigas," ujar Soedardjat kepada Tommy Tamtomo dari TEMPO. Setelah itu? "Sebaiknya, Nyonya Ribka mencari lokasi lain, supaya lebih tenteram menjalankan usahanya. Pemda akan mempercepat permohonan izinnya nanti," kata Bupati Soedardjat. Happy S. dan Hasan Syukur

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus