SEHARI sebelum Tayib dieksekusi, Prayitno yang biasa dipanggil Prayit diizinkan bertemu dengan anaknya itu di Penjara Kajang. Kedua tangan Tayib diborgol -- kiri dan kanan terkunci pada tangan dua sipir penjara. Prayit yakin, Tayib adalah anaknya yang menghilang sembilan tahun silam. Ada tandanya: satu gigi Tayib rompal. Kesunyian pecah setelah Prayit, dalam bahasa Madura, menanyakan keadaan anaknya. Prayit mengeluarkan foto keluarga. Tayib gembira menyambutnya. Kemudian ia meminta agar staf penjara menyerahkan barang-barangnya kepada ayahnya. Barang yang dibungkus rapi dengan kertas koran itu berupa sepasang sepatu sandal, satu celana panjang, tiga celana pendek, empat kemeja, dan uang 22,10 ringgit Malaysia dalam amplop. Jam tangannya yang diberikan diminta agar dipakai saat itu juga oleh ayahnya. Sebenarnya, ketika berusia 19 tahun Tayib pernah membunuh di Besuk, Probolinggo, Jawa Timur. Pembunuhan itu, katanya kepada polisi, karena membela teman setelah istrinya diganggu Harisun. Lelaki yang tidak tamat SD itu membabat leher Harisun hingga tewas. Sehabis itu Tayib menyerahkan diri pada polisi. Sebulan kemudian, ia kabur. Untuk menghilangkan jejak, namanya diganti dengan Karno Marzuki. Pada 1985 ia tiba di Malaysia, serta ditangkap di Johor Baru karena ketahuan masuk secara ilegal. Selama di semenanjung itu, begitu pengakuannya di hadapan ayahnya, ia bekerja sepenuhnya sebagai penjarah. Hari itu, anak sulung dari tiga bersaudara itu berterus terang pula bahwa ia membunuh Halem bin Hasan atas kemauannya sendiri. Wartawan TEMPO di Kuala Lumpur yang ikut memandikan jenazah Tayib melihat tubuhnya itu berhiaskan tato. Di lengan kanan terlukis wajah wanita berambut panjang menatap matahari. Di lengan kirinya ada bekas rajah yang sudah tidak begitu jelas. Dan tato seekor burung camar di paha kirinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini