SJAHRIR SIDANG Kabinet Terbatas Bidang Ekuin pekan lalu mempunyai arti khusus. Dalam sidang itu Presiden menyampaikan produk hukum berupa Keppres No. 39/1991 tentang Koordinasi Pengelolaan Pinjaman Komersial Luar Negeri. Koordinasi itu akan dilaksanakan sebuah tim yang diketuai Menko Ekuin dan beran ggotakan 10 orang menteri dan Gubernur Bank Indonesia. Kesebelas pejabat ini bertugas mengkoordinasikan segala penggunaan dan pengelolaan pinjaman komersial luar negeri sehingga Indonesia dapat mengendalikan posisi neraca pembayarannya. Setidaknya ada tiga masalah yang perlu diulas. Pertama, bagaimana posisi neraca pembayaran Indonesia sekarang. Kedua, bagaimana proses pengambilan kebijaksanaan berlangsung secara kelembagaan. Ini menyebabkan munculnya pertanyaan turunan (derivative question) tentang lembaga yang sudah ada, yaitu Dewan Moneter: bagaimana fungsi dewan itu sebagai badan yang selama ini mengendalikan stabilitas eksternal dan domestik. Bagaimana komposisi anggota tim? Bagaimana otonomi bank-bank negara yang dalam RUU Perbankan nanti hendak menjadi persero atau perusahaan yang sama status hukumnya dengan bank-bank swasta? Masalah ketiga adalah bisakah Keppres 39/1991 dinilai sebagai langkah awal bagi upaya kembali kepada konsistensi kebijak- sanaan ekonomi makro. Kalangan Pemerintah dengan otomatis akan mengatakan bahwa selama ini kebijaksanaan ekonomi sudah konsisten. Lalu bagaimana menjelaskan keberadaan Tim Pinjaman Komersial Luar Negeri ini (selanjutnya disingkat TPKL) dilihat dari politik rezim devisa bebas yang kita anut dan kebijaksanaan deregulasi yang selama delapan tahun lebih kita selenggarakan kendati secara langkah demi langkah dan kendati pula ada langkah-langkah mundur di sana-sini, termasuk di sektor-sektor produksi dan perdagangan. Neraca Pembayaran Keppres 39/1991 mendasarkan diri pada pasal 4 ayat 1 UUD 1945. Keputusan itu sudah tampak benihnya pada Pidato Kenegaraan Presiden di DPR 16 Agustus 1991. Presiden menegaskan perlunya mengelola pinjaman komersial luar negeri dengan bijaksana sehingga tidak menimbulkan tekanan terhadap neraca pembayaran. Dalam lampiran Pidato Kenegaraan dimuat ringkasan neraca pembayaran tahun fiskal 1990/1991. Dari angka-angka neraca pembayaran terdapat fakta-fakta sebagai berikut.: Pertama, defisit transaksi berjalan melonjak dari US$ 1,599 milyar (1989/1990) menjadi US$ 3,741 milyar. Kedua, ekspor nonmigas bertumbuh lambat, dari US$ 14,493 milyar menjadi US$ 15,380 milyar. Ketiga, impor melonjak amat tinggi dari US$ 17,374 milyar menjadi US$ 23,028 milyar. Keempat, pinjaman komersial dan pemasukan modal lainnya melonjak amat tinggi, dari US$ 289 juta menjadi US$ 1,301 milyar dan dari US$ 72 juta menjadi US$ 3,602 milyar. Kalau tidak ada rezeki lonjakan penerimaan migas US$ 3,4 milyar, defisit transaksi berjalan bisa mencapai US$ 6,5 milyar, jumlah yang fantastis dan pasti mencuatkan gejolak spekulasi devaluasi. Angka-angka lebih mendalam tentang perkembangan ekspor yang dihadapkan dengan "ledakan" impor menunjukkan gawatnya situasi neraca perdagangan kita. Dari 1988 hingga 1990 pertumbuhan impor naik 2 kali lebih cepat dari pertumbuhan ekspor. Bahkan, impor nonminyak tumbuh 2,5 kali lebih cepat dari pertumbuhan ekspor nonminyak. Meski ekspor telah berhasil meluaskan basis komoditinya (ada 36 sektor yang ekspornya di atas US$ 1 juta), lemahnya ekspor komoditi primer secara keseluruhan memukul perolehan nilai ekspor. Misalnya, ekspor kopi dan nikel yang meningkat volumenya, ternyata, secara nilai justru turun dengan 31% dan 42%. Tentang pinjaman luar negeri non-IGGI memang data-data dari lampiran Pidato Kenegaraan agak membingungkan. Bila pinjaman komersial swasta (disebut pinjaman lain) naik menjadi US$ 1,301 milyar, ini jelas. Namun, apa yang dimaksud dengan pemasukan modal lainnya (yang jumlahnya amat tinggi: US$ 3,602 milyar) adalah kabur pengertiannya. Di sini ada baiknya dikutip data terakhir dari International Financial Statistics, Agustus 1991. Selama 1990 semua bank (bank negara dan bank devisa swasta nasional dan joint-venture) meningkatkan offshore borrowing hampir mencapai US$ 5 milyar. Dari angka-angka itu, dapat dipastikan bahwa situasi neraca pembayaran 1991/1992 pada umumnya dan situasi komposisi utang luar negeri secara khusus akan berada pada posisi yang amat sulit. Dari segi utang, lonjakan pinjaman komersial akan menekan neraca transaksi berjalan dalam bentuk pembayaran bunga utang yang jauh lebih tinggi dari pembayaran bunga konsesional seperti pinjaman IGGI. Sementara itu, membesarnya kredit komersial (perkiraan saya untuk 1991/1992 dengan menghitung dana IGGI untuk tahun anggaran sekarang, dan dihitung pula lonjakan kredit komersial, total utang luar negeri secara konservatif US$ 78-79 milyar dengan US$ 28 milyar utang konsesional/IGGI dan sekitar US$ 50 milyar utang komersial yang sekitar US$ 28 milyar adalah utang swasta komersial) akan menekan neraca pembayaran secara kuat karena cicilan utang (ammortization) harus dibayar lebih cepat, tidak seperti utang IGGI yang berjangka panjang. Dari uraian ini sangat tepat waktu bila kini muncul Keppres 39/1991. TPKL dan Sistem Devisa Bebas Menko Ekuin ketika menjelaskan kemunculan Keppres 39/1991 menegaskan bahwa keppres itu tidak bertentangan dengan sistem devisa bebas yang telah kita anut sejak 1971. Menurut keppres ini, yang tidak dikoordinasi pengelolaan oleh TPKL adalah: (a) Pinjaman komersial luar negeri untuk keperluan perdagangan yang bersifat jangka pendek. (b) Pinjaman komersial luar negeri oleh badan usaha milik swasta untuk pembiayaan proyek pembangunan yang tidak ada kaitannya dengan pemerintah atau BUMN (termasuk bank pemerintah dan Pertamina) dalam bentuk pengikutsertaan modal pemerintah, jaminan penyediaan bahan baku, jaminan pembelian hasil produksi, atau kaitan dalam bentuk apa pun. (c) Pinjaman komersial luar negeri lainnya yang ditetapkan oleh TPKL. Bagian (a) dan (b) jelas sekali interpretasinya dan sekaligus ditolak pandangan bahwa keppres ini meninggalkan sistem devisa bebas. Bagian (c) tetap masih membuka interpretasi bagi intervensi Pemerintah yang bisa subyektif sifatnya. Namun, perlunya semua kalangan yang meminjam kredit komersial luar negeri untuk melapor kepada TPKL adalah wajar sekalipun Keppres 39/1991 dalam sistem devisa bebas. Jadi, secara keseluruhan keppres ini diperlukan kehadirannya. Namun, bisa efektifkah pelaksanaan keppres itu pada tingkat implementasinya? Keppres 39/1991 dan Proses Pengambilan Keputusan Selama ini kita mengenal adanya Dewan Moneter, sesuai dengan UU Pokok Perbankan dan UU Bank Sentral yang masih berlaku. Tugas Dewan Moneter (yang dari UU terdiri dari Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan, dan Gubernur Bank Indonesia kemudian dengan Keppres ditambah dengan Menteri Negara/Ketua Bappenas selanjutnya ditambah dengan dua anggota ahli yang ditetapkan Menteri Keuangan) adalah memelihara stabilitas neraca pembayaran dan nilai tukar rupiah secara khusus, serta stabilitas harga dalam negeri dengan pengendalian tingkat inflasi. Kini, dengan tingkat inflasi 7,39% (hingga Agustus), bayang-bayang inflasi double digit semakin muncul untuk 1991. Sementara itu, tingkat suku bunga tinggi yang dibarengi ledakan offshore loan makin membuat gap antara sektor moneter dan sektor produksi. Dewan Moneter dengan komposisi yang ada tidak bisa berbuat apa pun terhadap sektor riil yang berkaitan dengan departemen-departemen/perusahaan-perusahaan seperti Pertam- bangan dan Energi (Pertamina), Perhubungan (Garuda, Proyek Pelabuhan), Perindustrian (Krakatau Steel), Kantor Menteri Riset/Teknologi/Ketua BPPT (IPTN, PAL), Pariwisata Pos dan Telekomunikasi (Proyek Telekomunikasi), Pekerjaan Umum ( proyek-proyek PU dengan import content tinggi). Sekarang semua menteri yang membawahkan BUMN terkait duduk dalam TPKL. Namun, dapat ditanyakan absennya dua menteri pada TPKL. Pertama, Menteri Kehutanan. Dengan proyek-proyek HTI (Hutan Tanaman Industri) strategi pengelolaan hutan akan mengandung import content yang tinggi. Penanaman pohon-pohon untuk keperluan pabrik pulp dan impor mesin membutuhkan investasi yang amat besar, meliputi trilyunan rupiah. Bagaimana bila investasi sebesar itu tidak berlandaskan pada pemahaman akan siklus kesuburan tanah (soil-fertilily knowledge) yang memadai? Kedua, absennya Menteri Perdagangan. Betapapun, seluruh utang hanya dapat dilunasi dengan devisa yang dihasilkan dari ekspor. Absennya Menteri Perdagangan (anggota Dewan Moneter) cukup menimbulkan tanda tanya. Dengan kekurangan di sana-sini, Keppres 39/1991 mempunyai arti positif karena kini dengan forum TPLK, para menteri sektor moneter dan menteri sektor riil bertemu dan bisa berdialog mencari jalan keluar dari lilitan utang yang mulai kita rasakan. Jelas sekali kalangan swasta yang "terkena" oleh otoritas TPLK amat besar, termasuk berbagai kegiatan yang meskipun disebut bersifat non-recourse limited recourse atau Build O perate Transfer, tetap melibatkan negara dalam berbagai kapasitas seperti penyediaan bahan baku, jaminan pembelian hasil produksi atau jaminan utang itu sendiri. Menuju Konsistensi Kebijaksanaan? Adalah terburu-buru untuk menilai bahwa dengan Keppres/TPLK ini, distorsi-distorsi ekonomi dapat diharapkan hilang dengan sendirinya. Kesemua anggota TPLK sudah otomatis duduk dalam Kabinet yang sama sejak 1988. Konsistensi kebijaksanaan makro hanya bisa dihilangkan dengan menghapuskan distorsi-distorsi yang masih menggunung jumlahnya. Fenomena BPPC yang terus dirundung soal, larangan ekspor dan impor, monopoli impor komoditi dan monopoli tata niaga komoditi seperti jeruk dari Kalimantan Barat, semuanya mempunyai spread effect yang negatif kepada ekonomi secara keseluruhan melalui mis-alokasi faktor-faktor produksi yang tak kunjung henti. Adanya keppres ini hanyalah satu upaya pelembagaan yang mencoba mengendalikan satu aspek penting dari masalah ekonomi nasional yaitu stabilitas neraca pembayaran dan stabilitas nilai rupiah. Namun, aspek-aspek lain serta segi kelembagaan lain dari ekonomi kita memerlukan pembenahan dan koordinasi kebijaksanaan yang tidak kurang pentingnya. Angka inflasi 7,39 hingga Agustus 1991, yang berlangsung sejalan dengan suku bunga tinggi yang terus bertengger (kendati ada Konsensus Hilton), memberi isyarat merosotnya pertumbuhan investasi. Sementara itu, inefisiensi ekonomi tetap membuat ICOR (incremental capital output ratio) yang tinggi. Dengan begitu, tingkat pertumbuhan ekonomi untuk 1991 tidak akan mencapai tingkat 1989 dan 1990 setinggi masing-masing 7,4%. Perkiraan saya, tingkat pertumbuhan 1991 akan berada di bawah 6%, mungkin sekali 5,7%. Keppres 39/1991 dan TPLK akan jauh dientengkan kerjanya bila distorsi domestik dan distorsi perdagangan serta distorsi moneter (kredit likuiditas untuk cengkeh di tengah kesulitan kredit mempunyai arti distortif) secara pasti dihilangkan melalui deregulasi yang konsekuen. Bila harga domestik, harga uang (tingkat suku bunga), semakin mendekati harga internasional, tugas TPLK tidak akan berubah menjadi mission impossible. Mustahil menjaga stabilitas eksternal (tugas TPLK) bila proses alokasi sumber-sumber ekonomi secara domestik berlangsung tidak efisien.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini