SESEMPURNA-SEMPURNANYA peraturan dibuat, orang tetap mencari celahnya. Lihatlah. Societe General de Surveillance (SGS), surveyor dari Swiss, diberi wewenang mengawasi barang di pelabuhan pengiriman dan mengeluarkan Laporan Kebenaran Pemeriksaan (LKP). Bila semuanya beres, sesuai dengan keterangan, pemilik boleh segera membawa barangnya keluar. Dan Bea Cukai (BC) tak boleh lagi menjamah. Nah, di situlah orang melihat celahnya, dan bermainlah. Suatu malam, pertengahan pekan silam, datang informasi: ada yang tak beres dengan barang kiriman untuk PT Prima Speed yang datang dengan pesawat terakhir Cathay Pacific dari Singapura. Satuan tugas Pemberantasan Penyelundupan (P 2) bersiap-siap. Pukul 10 malam, barang sudah ada di gudang, dan petugas P 2 terus mengamati. Esoknya, ketika pemilik barang datang dan mulai menaikkan barangnya ke truk, petugas P 2 datang dan bertindak. Petugas P 2 tak mempercayai keterangan yang menyatakan bahwa barang yang diangkut, 53 koli, adalah suku cadang diesel seberat sekitar 5 ton. Kantor pusat BC menyuruh Cathay Pacific menimbang ulang barang-barang tersebut. Ketahuanlah, tiap koli ternyata beratnya mencapai 1 ton sampai 1,2 ton. Jadi, keseluruhan berat barang itu 53 ton. "Memang ada keinginan untuk mengetahui isi barang itu, pihak SGS belum mau mengatakannya, meskipun dua petugasnya sudah datang melihat barang itu," ujar Ketua Inspeksi BC Cengkareng, H. Parinding. Hingga awal pekan ini barang tersebut masih tertahan di gudang Cengkareng. Padahal, menurut peraturan, paling lambat 2 x 24 jam barang dengan LKP sudah harus keluar dari wilayah pabean. "Tapi, kalau itu barangnya benar," kata Parinding. Pimpinan Prima Speed, Robert, mengakui bahwa 53 koli barangnya ditangani BC. "Tapi saya kira, saya tidak salah, itu urusan eksportir di Singapura. Siapa eksportirnya, cari saja di sana," elak Robert. Sindo Speed, eksportir Singapura yang mengirim barang itu, ternyata 'kan juga milik Robert? Bukan sekali ini SGS "kebobolan". Akhir tahun lalu, usaha penyelundupan terbongkar secara kebetulan, ketika dua "bajing loncat" membongkar isi peti kemas dalam perjalanan ke Muara Karang. Isi peti kemas itu, antara lain, puluhan koli video, tape compo, dan karpet tak sesuai dengan apa yang diterangkan LKP. Laporan hanya menyebutkan bahwa dua peti kemas itu berisi karung-karung ammoma carbonate. PT Segatrans Persada, yang bertanggung jawab atas barang itu, diseret ke meja hijau. Frans Limasnax sebagai terdakwa, diadili secara in absentia Dalam sidang dua pekan silam, majelis hakim yang diketuai Hakim Waluyo Sedjati menampilkan tiga saksi. Law Cek Kwang dan Tjoa Ceng Hin dari SGS Singapura serta R.J. Wareham, kepala perwakilan SGS Jakarta, sama-sama menyatakan tak bertanggung jawab. Sebab, menurut mereka, SGS tidak melakukan final inspection karena pihaknya tak tahu kapan barang-barang akan dikapalkan. Sebenarnya, SGS baru melakukan pemeriksaan tahap awal, ketika amonia masih berada dalam karung. Dalam LKP-nya baru sempat dicatat data berat setiap karung, mutu, serta isinya. Namun, ketika pengirim barang memberi tahu SGS tentang rencana pengapalan, karung-karung itu sudah dimasukkan ke dalam peti kemas, di antara barang-barang elektronik dan karpet. Dan SGS tak bisa melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Sebab, di Singapura berlaku sistem, sekali barang ada di terminal tak seorang pun boleh berada di situ - apalagi memeriksanya. Erlina Agus Laporan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini