Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bebas,...ya, monggo

Mudjianto alias kwan djie liong, 28, yang divonis oleh pengadilan pertama & tinggi dalam tuduhan pembunuhan keluarga liem tjhoen gien di kediri, dibebaskan ma. saksi tunggal, antoyo, dianggap tak berlaku. (hk)

24 Mei 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUKAN lantaran pesta, keriaan semarak di rumah keluarga Goenawan di Pare, Kediri, belum lama ini. Bukankah anaknya, Kwan Djie Liong, 28, mendalangi pembunuhan? Sampai akhir bulan lalu boleh dianggap ya, tapi kemudian Mahkamah Agung menyatakan Mudjianto - begitu Kwan Djie Liong biasa dipanggil - tidak bersalah, dan berarti dilepas dari tahanan. Pada suatu Minggu dinihari, Juli 1984, persoalan diawali. Di Kediri, di toko Sumber Jaya Baru, suami-istri Liem Tjhoen Gien, 74, dan Kwan Soei Hiang, 54, serta pembantunya, Lasmini, ditemukan mati. Bahkan Lasmini remuk kepala dan tergantung di rangka plafon rumah. Suatu rangkaian pembunuhan yang tak hanya mengguncangkan, tapi juga mencatat rekor terbesar di Kediri. Polisi lalu menangkap Antoyo, pegawai toko itu, yang baru delapan hari bekerja. Antoyo memang tidak membantah. Namun, ia mengaku disuruh Mudjianto dengan upah Rp 100 ribu setiap nyawa. Malah Rp 250 ribu, pengakuannya, telah masuk sakunya. Mudjianto menyuruhnya, "Waktu saya sedang membersihkan kaca etalase." Atas pengakuan itu, Mudjianto ditangkap, disidangkan, dan didakwa sebagai otak peristiwa. Mudjianto menampik tudingan Antoyo. Mana tega, katanya, membunuh bibi sendiri. Apalagi ia telah diangkat anak oleh keluarga korban yang memang tidak berketurunan. Juga telah membantu mengembangkan usaha toko kelontong itu, dan bahkan tercatat sebagai ahli waris. Kedudukan Mudjianto yang istimewa di keluarga Liem justru semakin meyakinkan polisi bahwa ia terlibat pembunuhan. Menurut Kapolres Letkol Samuri, waktu itu, Mudjianto jelas sebagai dalang, "Karena ingin menguasai harta benda milik korban." Sedang Antoyo semata melaksanakan perintah, bukan ingin mengambil harta, sebab tak menyentuh sedikit pun perhiasan dan uang korban. Antoyo pun kukuh pada pengakuannya. Ia memasuki rumah toko itu lewat jendela kamar Mudjianto, sewaktu anak angkat tuannya tadi pulang ke Pare - seperti setiap malam Minggu sebelumnya. Jendela kamar tersebut tak terkunci. Kata Antoyo, Mudjianto memang sengaja tak menguncinya, agar ia bisa masuk. Pernyataan Antoyo ini makin menyudutkan Mudjianto. Namun, tak ada saksi lain yang bisa menunjukkan terlibat tidaknya Mudjianto. Setelah melalui serangkaian sidang, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kediri yang diketuai Sartono, S.H. menyetujui dakwaan jaksa. Mudjianto dianggap bersalah dan diputus hukuman 13 1/2 tahun dari 20 tahun tuntutan. Pengacara Markus Sayogo dan kawan-kawan, selaku tim pembela, menolak putusan itu. "Kalau pengakuan tunggal begitu diterima, mudah saja bagi setiap orang habis membunuh menuding orang lain sebagai penyuruhnya," kata Markus. Selain itu mereka juga keberatan atas putusan hakim, yang mengambil pengakuan Antoyo untuk penyidangan dirinya sendiri, untuk meyakinkan bahwa Mudjianto bersalah. Tapi Pengadilan Tinggi Jawa Timur ternyata lebih yakin Mudjianto memang biadab: hukuman ditambah menjadi 17 tahun. Perjalanan perkara membawa putusan yang berbeda pula. Pada tingkat kasasi, majelis hakim agung memutus bebas Mudjianto. "Ya . . . karena kesaksiannya tidak kuat. 'Kan hanya ada satu saksi, sedangkan menurut KUHAP pun minimal dua saksi," kata R. Soehono Soedja, Ketua Majelis, pada Agus Sigit dari TEMPO. Hakim Sartono dulu juga ingat pasal itu. Tapi juga cenderung melihat pasal sebelumnya yang menyebut bahwa adanya petunjuk juga bisa dipakai sebagai dasar putusan, selain kesaksian tadi. "Kalau Mahkamah Agung memutus bebas, ya, monggo, tugasnya 'kan meluruskan," ujarnya. Mudjianto senang. "Keadilan itu ada di Tuhan." Menuntut ganti rugi? Tidak, katanya. Zaim Uchrowi Laporn Jalil Hakim (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus