Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Memasuki pekan kedua Februari lalu, telepon seluler Mohammad Faiz rajin berdering. Seorang kenalan baru hampir saban hari menelepon pemuda Desa Kejapanan, Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, itu. Sang kenalan mengaku bernama Basori, menjabat kepala sekolah menengah pertama, berstatus duda, dan punya harta lumayan banyak. Dia mengatakan mendapat nomor telepon Faiz, 21 tahun, dari akun jejaring sosial Facebook.
Faiz sama sekali tidak menduga perkenalan lewat telepon itu hampir membuat dia menjadi korban pembunuhan berantai. Karena itu, dia pun enjoy saja curhat dengan Basori. Bahkan kepada kenalan barunya itu ia meminta dicarikan pekerjaan.
Tak dinyana, Basori bahkan langsung menawarinya jadi anak angkat. Hanya, Basori memberi syarat: Faiz mesti bersedia tinggal di Nganjuk. Faiz menolak. Pemuda lulusan sekolah menengah kejuruan itu merasa tawaran Basori ini aneh. Baru berkenalan di telepon sudah mau menjadikannya anak angkat. "Nenek saya khawatir itu penipuan," kata Faiz di Kantor Kepolisian Resor Nganjuk pekan lalu.
Tak berhasil membujuk Faiz, Basori mengeluarkan jurus rayuan lain. Dia menawarkan bantuan modal usaha Rp 1 juta dan berjanji mencicil sepeda motor untuk Faiz. Kali ini, Faiz terpikat. Jumat sore, 10 Februari lalu, naik bus, dia pun meluncur ke Nganjuk.
Sesampai di Terminal Nganjuk, Faiz menelepon Basori. Dengan alasan masih ada tamu, Basori meminta Faiz menunggu. Basori menyatakan akan menyuruh keponakannya, Feri, untuk menjemput. Setengah jam kemudian, Feri tiba di terminal. Tapi dia mengaku diminta Basori mengajak Faiz jalan-jalan dulu. "Cari makan dulu," kata Feri seperti ditirukan Faiz.
Setelah berputar-putar dengan sepeda motor, keduanya singgah di sebuah warung. Lantaran hari sudah gelap, Faiz tak bisa mengingat di mana persisnya tempat mereka makan. Yang Faiz ingat, Feri memintanya duduk di sebuah teras agak sepi, sekitar empat meter dari tempat mereka memesan makanan. Feri lalu memesan satu porsi nasi rawon dan dua gelas es teh. Feri pula yang membawakan minuman untuk Faiz. "Karena masih kenyang, saya hanya memesan es teh," ujar Faiz.
Saat Feri membawa pesanan, Faiz melihat teman barunya itu mengaduk-aduk isi gelas. Kala Faiz menyeruput minumannya, ia merasa ada yang aneh. Es tehnya terasa pahit. Saat ditanya perihal rasa minuman itu, Feri menjawab enteng, "Enggak apa-apa, kok, aku juga minum." Feri lalu menandaskan es teh miliknya.
Sepuluh menit kemudian, Faiz merasa perutnya mulas dan kepalanya pening. Ketika itulah Feri mengajak Faiz meneruskan perjalanan ke rumah Basori. Sebelum meninggalkan warung, Faiz melihat Feri menuangkan sisa es teh miliknya ke kantong plastik dan membawanya.
Baru beberapa menit di atas sepeda motor, Faiz merasakan sakit luar biasa. Isi perutnya serasa diaduk-aduk. Tubuhnya gemetar dan berkeringat. Setengah sadar, Faiz menurut saja ketika Feri meminumkan sisa es teh di dalam plastik ke mulutnya. Lalu ia ambruk di dekat sebuah musala. Ia tak ingat apa-apa lagi. Faiz baru sadar setelah berada di Rumah Sakit Bhayangkara, Nganjuk.
Kepada polisi, belakangan, sejumlah penduduk bercerita bahwa seorang pemuda menitipkan Faiz yang ketika itu hampir sekarat. Si pemuda menyebutkan Faiz masuk angin dan mabuk perjalanan. Lalu ia meninggalkan Faiz dengan alasan mencari obat atau dokter.
Faiz beruntung lolos dari maut. Sejak awal Januari lalu, ada enam kejadian serupa di wilayah Kepolisian Resor Nganjuk. Empat nyawa di antaranya tak tertolong. Mereka adalah Ahyani, 46 tahun, asal Situbondo, Romadhon (55) asal Ngawi, Sudarno (42) asal Ngawi, dan seorang lelaki tak dikenal berusia 30-an tahun. "Awalnya kami menduga mereka korban pembiusan di angkutan umum," kata Kepala Kepolisian Resor Nganjuk Ajun Komisaris Besar Anggoro Sukartono. "Begitu jumlah korban tewas mencapai empat orang, kami membentuk tim khusus."
SUPARNI, 50 tahun, mencoba mengingat-ingat lagi kejadian lebih dari 20 tahun silam. Kala itu, dia dan istrinya, Pinatun, nekat memungut Mujianto sebagai anak angkat. Mereka iba terhadap bocah yang baru saja menjadi piatu itu.
Sebagai buruh tani, Suparni bersusah payah membesarkan Mujianto bersama dua kakak perempuannya—salah satunya juga anak angkat—di Dusun Pule, Desa Jati, Kecamatan Grogol, Kabupaten Kediri. Suparni menyekolahkan Mujianto meski hanya sampai sekolah menengah pertama.
Tak bisa melanjutkan sekolah, pada usia 19 tahun, Mujianto merantau ke Jakarta. Dia berjualan bakso. Di Ibu Kota, Mujianto hanya mampu bertahan tiga tahun. Ia memilih pulang kampung untuk menjadi pembantu di rumah Joko Suprianto di Desa Sonopatih, Kecamatan Berbek, Nganjuk.
Joko, 49 tahun, merupakan duda tanpa anak setelah bercerai dengan istrinya. Tetangga mengenal dia sebagai guru sekolah menengah pertama. Di kalangan tetangganya, Joko dikenal sebagai pemilik sekaligus pemain organ tunggal yang piawai. Bila mendapat order manggung, Joko biasanya mengajak Mujianto menjadi penyanyi.
Dua tahun Mujianto tinggal bersama Joko, Suparni belum pernah mendengar cerita aneh-aneh perihal anaknya. Sampai kemudian, pekan lalu, beberapa polisi mendatangi kediamannya. Mereka mengabarkan Mujianto ditangkap di rumah Joko karena diduga terlibat pembunuhan berantai. Suparni lemas. Ia kaget bukan kepalang.
Menurut polisi, Mujianto adalah Feri yang "membuang" Faiz setelah mencekokinya dengan racun. Mujianto lebih cepat dibekuk karena Faiz ternyata masih hafal nomor polisi sepeda motor yang dipakai "Feri". Faiz juga masih mengingat jelas wajah Feri alias Mujianto yang kemudian disketsa polisi. Di bank data, polisi menemukan empat nomor sepeda motor yang mirip. Kala dilacak, "Salah satu pemiliknya mirip dengan wajah di sketsa," kata Kepala Kepolisian Resor Nganjuk Anggoro Sukartono.
Pengakuan Mujianto kepada polisi membuat gempar Kota Nganjuk dan sekitarnya. Kepada penyelidik, ia mengaku telah meracun 15 orang sejak 2011. Mujianto menyebutkan semua pria yang ia racun itu merupakan "pacar" Joko. Hanya, di luar enam korban yang ditemukan polisi, pemuda yang biasa dipanggil Gentong itu mengaku tak ingat lagi di mana ia meracun korban-korbannya. Mujianto mengaku tak senang jika ada laki-laki lain dekat dengan Joko. Kepada polisi, Mujianto mengaku memiliki "hubungan khusus" dengan majikannya tersebut.
Untuk mencelakakan para pria yang dekat dengan Joko itu, Mujianto mengaku memulainya dengan mencuri nomor telepon mereka dari telepon seluler Joko. Dia lalu menghubungi mereka satu per satu dengan alasan berkenalan. Jika obrolan di telepon sudah akrab, Mujianto mengajak mereka bertemu di Nganjuk. Ia selalu menjemput korbannya di terminal, lalu mengajak berjalan-jalan dan makan. Di sanalah ia kemudian memasukkan racun tikus ke makanan atau minuman teman barunya.
Saat diperiksa polisi, Mujianto mengaku, sebelum meracun korbannya, ia selalu berusaha mengajak mereka berkencan. Lokasi kencan biasanya di lapangan atau toilet pompa bensin. Menurut Mujianto, sebagian korbannya tamu Joko yang diantarnya pulang. Untuk yang ini pun modusnya sama: diajak jalan-jalan, berhubungan intim, kemudian dicekoki racun.
Kendati menurut polisi sejumlah korbannya tewas, Mujianto menolak disebut sengaja membunuh mereka. "Saya hanya ingin mengerjai mereka biar kapok," katanya. Polisi tak mempercayai dalih Mujianto. Polisi akan membidik dia dengan pasal-pasal pembunuhan berencana.
Kepolisian Nganjuk sudah memeriksa kondisi kejiwaan Mujianto. Menurut Rony Subagyo, psikiater dari Kepolisian Daerah Jawa Timur, sejauh ini pihaknya baru mendapat motivasi tunggal kenapa Mujianto melakukan semua itu. "Murni karena cemburu," kata Rony. Menurut Rony, dari hasil pemeriksaan psikologi, disimpulkan Mujianto lahir sebagai pria dengan orientasi seksual normal.
Kecenderungan seks Mujianto berubah, kata Rony, saat dia mulai bekerja sebagai pembantu di rumah Joko. Kepada penyelidik, Mujianto mengakui Joko adalah "cinta pertama"-nya. Di rumah itu pula dia mengaku pertama kalinya berhubungan badan dengan sesama pria. "Dia berperan sebagai laki-laki," ujar Rony.
Joko membantah tudingan Mujianto perihal dirinya yang menyukai sesama jenis. "Semua tidak benar," katanya kepada Tempo Jumat pekan lalu. Menurut Joko, selain Mujianto, di rumahnya ada keponakan dan pembantunya yang lain. "Mereka pasti tahu kalau saya macam-macam dengan Mujianto," ujarnya.
Ia juga menegaskan tak mengenal dan tak memiliki nomor kontak para korban Mujianto. "Silakan lihat, tak ada nama mereka di handphone saya," katanya. Menurut dia, Mujianto mendapat nomor telepon korbannya dari Internet. Seperti Joko, dua korban yang diracun Mujianto mengatakan mereka bukan penggemar sesama jenis.
Polisi tak sepenuhnya percaya kepada pengakuan Joko. Menurut Kepala Kepolisian Resor Nganjuk Anggoro Sukartono, pihaknya masih terus mengusut semua yang terlibat kasus ini. Kepolisian Nganjuk juga berupaya meminta keterangan para korban yang diracun Mujianto. Hanya, Anggoro mengaku, tak mudah mengorek keterangan para korban tersebut. "Kami terkendala sikap mereka yang cenderung tertutup, tak jujur," kata Anggoro.
Jajang Jamaludin (Jakarta), Hari Tri Wasono (Nganjuk)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo