Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH tiga hari bekerja, tim Biro Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi merampungkan kajian penting itu. Tim yang terdiri atas empat orang ini diminta pimpinan KPK mengkaji Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Uji Materi Undang-Undang Imigrasi. Putusan ini mengusik komisi antikorupsi karena amarnya menyebutkan pencegahan seseorang ke luar negeri hanya bisa dilakukan di tahap penyidikan.
Kamis pekan lalu, tim yang dipimpin Kepala Biro Hukum KPK Chaidir Ramli menyampaikan telaah itu di hadapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, di ruangannya, di lantai tiga gedung KPK. Sikap tim terhadap putusan diÂiyakan Bambang. "Putusan MK itu bukan untuk KPK," kata Bambang kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Putusan Mahkamah yang dibacakan pada Rabu dua pekan lalu itu merupakan kemenangan bagi enam pengacara yang mengajukan permohonan uji materi ini pada 10 Juni 2011. Keenamnya dari kantor pengacara Otto Cornelis Kaligis. Mereka menuntut Mahkamah menghilangkan kata "penyelidikan" dalam Pasal 16 ayat 1 huruf b Undang-Undang Imigrasi. Bunyi pasal tersebut, "Pejabat Imigrasi menolak orang untuk keluar wilayah Indonesia dalam hal orang tersebut: (b) diperlukan untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan atas permintaan pejabat yang berwenang." Dalam putusannya, MK menghilangkan kata "penyelidikan" dalam pasal itu.
Menurut Slamet Yuwono, salah satu pemohon, pencegahan seseorang ke luar negeri dalam tahap penyelidikan melanggar hak asasi. Pasal itu, kata dia, juga membuka ruang KPK untuk dengan mudah mencegah seseorang ke luar negeri. Padahal, menurut Slamet, proses penyelidikan adalah baru sebatas mengumpulkan bukti permulaan dan masih jauh mengarah ke tersangka. "Ini prematur, karena masih penyelidikan sudah ada upaya paksa," kata Slamet. Terlebih, ujarnya, penyelidikan tak dibatasi waktu.
Dalam gugatannya, para pemohon menyebut Muhammad Nazaruddin, bekas Bendahara Partai Demokrat yang menjadi terdakwa dugaan suap pembangunan Wisma Atlet di Palembang, sebagai orang yang dilanggar hak konstitusionalnya karena penerapan pasal itu. Menurut mereka, KPK telah sewenang-wenang mencegah Nazar ke luar negeri padahal saat itu Nazar belum terjerat perkara apa pun dan belum pernah dipanggil KPK.
Ketika gugatan ini diajukan, Kantor O.C. Kaligis masih menjadi pengacara Nazar. Karena masuk pengacara lain, pada medio Desember lalu, Kaligis mundur jadi kuasa hukum Nazar. Untuk menguatkan gugatannya itu, enam pengacara muda ini menghadirkan dua saksi ahli: O.C. Kaligis dan mantan hakim agung Arbijoto.
Di persidangan, pemerintah, yang diwakili oleh antara lain Direktur Litigasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Mualimin Abdi dan dua jaksa Kejaksaan Agung, Suwarsono serta Antonius Budi Satria, melakukan perlawanan. Berbagai jurus dipakai mereka untuk mematahkan dalil pemohon.
Pemerintah, misalnya, memandang pencegahan ke luar negeri saat penyelidikan biasanya dilakukan mendesak karena yang dicegah diduga bakal melarikan diri dan bahkan menghilangkan barang bukti. Pemerintah menegaskan, di semua lembaga penegak hukum, terutama KPK, proses penyelidikan selalu didahului telaah kasus dan ada surat perintah penyelidikannya. Karena kewenangan pencegahan ke luar negeri tersebar di sejumlah undang-undang, pemerintah menganggap gugatan itu prematur (lihat "Adu Kuat Pasal Pencegahan").
Perihal cegah-tangkal Nazar, pemerintah membantah prosesnya pada tahap penyelidikan. Menurut Mualimin Abdi, berdasarkan surat keputusan pimpinan KPK, pencegahan Nazar ke luar negeri terjadi ketika kasusnya sudah penyidikan. Dalam persidangan pemerintah menunjukkan surat perintah penyidikan tersebut.
Untuk mematahkan gugatan pemohon, pemerintah mendatangkan dua pakar, guru besar hukum Universitas Gadjah Mada, Denny Indrayana, dan guru besar hukum Universitas PadjaÂdjaran, Ahmad Mujahid Ramli. Di persidangan, Denny mengatakan pencegahan di tingkat penyelidikan tidak melanggar hak asasi seseorang karena yang dicegah bisa mengajukan keberatan. Sedangkan Ahmad mengingatkan, pencegahan dalam tahap penyelidikan bisa menghalau orang melarikan diri. "Terlambat upaya pencegahan bisa membuka peluang orang lari ke luar negeri," katanya.
Toh, ternyata arah angin berpihak kepada para pengacara muda itu. Dalam rapat sembilan hakim konstitusi, sehari sebelum putusan dibacakan, mereka bulat mengiyakan dalil pemohon yang menolak pencegahan ke luar negeri di tingkat penyelidikan. Menurut para hakim konstitusi, tindakan seperti itu melanggar konstitusi karena pada proses penyelidikan belum pasti ada unsur pidana dan tersangkanya. Pencegahan dalam tingkat seperti ini, menurut Mahkamah, juga rawan disalahgunakan.
Karena tidak disebut dalam putusan, Mahfud menambahkan, putusan MK itu juga mengandung arti pencegahan ke luar negeri tidak bisa dikenakan pada orang yang belum jadi tersangka. Ia sempat mengkritik pencegahan ke luar negeri anggota Fraksi PDI Perjuangan, I Wayan Koster, dalam kasus suap Wisma Atlet oleh KPK yang dianggap melanggar konstitusi. Padahal, kata dia, Wayan belum jadi tersangka.
Tapi, belakangan kepada Tempo, Mahfud meralat pernyataan itu. Menurut dia, KPK dikecualikan dalam putusan itu. Hanya, soal pengecualian ini tak tertuang dalam putusan. "Waktu itu kami belum membaca Undang-Undang KPK," kata Mahfud, "Setelah baca, jadi jelas, KPK masih bisa mencegah orang ke luar negeri di tahap penyelidikan."
Nah, dalam soal ini hakim konstitusi Akil Mochtar berbeda pendapat. Menurut Akil, putusan Mahkamah tentang pelarangan ke luar negeri dalam tahap penyelidikan berlaku juga untuk KPK.
Apa pun kata Mahfud, yang pasti Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas menyesalkan putusan MK tersebut. Mahkamah, kata dia, tidak peka terhadap fakta yang selama ini terjadi. Menurut dia, di instansi penegak hukum mana pun, pencegahan ke luar negeri berpotensi gagal jika dilakukan saat penyidikan. Sebab, kata Busyro, koruptor sekarang makin kreatif untuk bisa kabur. "MK tidak punya kepekaan itu," kata dia.
Kejaksaan Agung tidak begitu mempersoalkan keputusan ini. Menurut Wakil Jaksa Agung Darmono, jika memang pihaknya butuh mencegah orang ke luar negeri, Kejaksaan tinggal menaikkan status kasusnya ke penyidikan. Dalam putusan itu, menurut Darmono, hanya disebutkan penghilangan kata penyelidikan. "Jadi, kalau kasusnya sudah penyidikan, orang yang belum tersangka bisa kami cegah," katanya.
Guru besar hukum Universitas Indonesia, Indriyanto Seno Adjie, menganggap putusan MK itu sudah benar. Pencegahan seseorang ke luar negeri saat penyelidikan, ujar dia, bisa disebut prematur karena orang itu belum jadi tersangka. Indriyanto menyatakan putusÂan itu berlaku untuk semua penegak hukum. "Semua harus tunduk pada putusan MK dan yang dipakai adalah UU Imigrasi," katanya.
Di kantor Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sendiri kata mufakat belum tercapai dalam menyikapi putusan MK. Sumber Tempo mengatakan, di tingkat pimpinan Kementerian, KPK tidak masuk obyek putusan ini. Tapi, kata sumber ini, Direktorat Jenderal Imigrasi lebih condong putusan MK tidak mengecualikan lembaga mana pun. Ditanya soal ini, juru bicara Ditjen Imigrasi, Maryoto Sumadi, menyatakan tak tahu perbedaan itu. "Intinya kami akan melaksanakan putusan MK itu," katanya.
Apa pun sikap Imigrasi, KPK mengaku punya amunisi untuk tetap bisa mencegah orang ke luar negeri sewaktu-waktu dibutuhkan di tahap penyelidikan. Menurut Bambang, pada UU Imigrasi sendiri ditegaskan Ketua KPK sifatnya bukan meminta kepada Menteri Hukum dan Ham untuk melakukan pencegahan. "Tidak meminta, tapi memerintahkan," katanya.
Anton Aprianto
Adu Kuat Pasal Pencegahan
Pasal 16 Undang-Undang Imigrasi ayat 1 poin b (Hasil Uji Materi MK)
"Pejabat Imigrasi menolak orang untuk keluar wilayah Indonesia dalam hal orang tersebut: (b) diperlukan untuk kepentingan penyidikan atas permintaan pejabat yang berwenang."
Pasal lain di Undang-Undang Imigrasi soal pencegahan ke luar negeri—Menguatkan posisi KPK dan penegak hukum lain
Pasal 91 ayat 2 pon d:
"Menteri melaksanakan pencegahan berdasarkan: (d) Perintah Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi sesuai peraturan perundang-undangan."
Pasal 92 :
"Dalam keadaan mendesak pejabat sebagaimana dimaksud dalam pasal 91 ayat (2) dapat meminta secara langsung kepada pejabat Imigrasi untuk melakukan pencegahan."
Pasal 12 ayat (1) UU KPK
"Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, KPK berwenang memerintahkan kepada instansi terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo