Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah orang Malaysia yang menonton konser musik Djakarta Warehouse Project (DWP) 2024 pada Desember 2024 lalu menjadi korban pemerasan sejumlah polisi dari Polda Metro Jaya. Mereka diperas setelah diminta menjalani tes urine. Mereka kemudian dituduh telah mengkomsumsi narkoba.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Warga Malaysia itu kemudian ditahan di sebuah ruangan, bukan sel tahanan, di Polda Metro Jaya. Mereka diminta menyerahkan uang agar bisa keluar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Amir Mansor (29 tahun) Warga Negara asal Malaysia menceritakan awal mula peristiwa itu. Saat itu, dia berserta 8 orang temannya dibawa oleh orang yang mengaku dari kepolisiaan, saat berada di konser musik Djakarta Warehouse Project (DWP) 2024 pada 13 Desember 2024 malam, atau hari pertama pertunjukkan konser musik itu dimulai.
Amir mengatakan, kala itu dia dan 8 temannya sedang berjalan keluar dari tempat konser DWP 2024, dan sudah ada polisi yang menunggu. “Polisi memanggil teman saya, dan saya pun ikut karena polisi memanggil teman saya,” kata dia menggunakan bahasa Melayu saat dihubungi Tempo melalui sambungan telepon pada Jumat malam, 3 Januari 2025.
Ketika itulah, Amir mengaku melihat banyak warga Malaysia lainnya yang diperiksa oleh polisi. “Kami dibawa ke kantor polisi Polri Metro Jaya—(Polda Metro Jaya), lalu di tes urine. Ada dikalangan kami yang negatif ada yang positif. Tapi tidak ada narkoba di tangan kami, kami mengkonsumsinya di Malaysia, tidak mengkonsumsi langsung,” kata dia menjelaskan.
Setelah dilakukan cek urine, kata Amir, ponsel pribadi dia beserta temannya yang berjumlah 8 orang itu disita oleh polisi. “Tidak bisa buat panggilan, tidak bisa appoint (menunjuk) lawyer (pengacara) sendiri, dan tidak bisa call sama embassy,” ucapnya.
Amir bercerita, dia dan 8 orang temannya menginap di Polda Metro Jaya selama 2 malam, mereka tidak ditahan di sel penjara, melainkan di kantor Polda Metro Jaya. “Kami tanya bagaimana mau keluar? Polisi cakap (berbicara) kalau mau keluar perlu bayar 800 juta rupiah,” tuturnya.
Amir beserta teman-temannya lantas melakukan negosiasi kepada polisi, karena tidak mempunya nominal uang yang disampaikan sebagai persyaratan untuk bebas. “Kami cakaplah (berbicara) itu terlalu banyak, sedangkan kami tidak ada apa-apa, tidak ada narkoba, dan beberapa dari kami ada yang negatif,” kata Amir.
Nominal yang saat itu bisa dikumpulkan oleh Amir dan teman-temannya sebesar 50 ringgit Malaysia atau senilai Rp 179 juta rupiah. Nominal itu ditolak oleh pihak polisi. “Police aggree (setuju) dengan satu amount, dia mau 100 ribu ringgit atau lebih kurang Rp 360 juta rupiah,” jelas Amir.
Setelah angka negosiasi disepakati untuk bebas senilai Rp 360 juta, menurut cerita Amir, polisi langsung menyerahkan kembali ponsel yang disita, untuk kemudian Amir dan 8 orang temannya menghubungi keluarga masing-masing untuk mengumpulkan uang senilai nominal tersebut.
“Jadi kami dikurung sampai dapat Rp 360 juta, setelah itu keesokannya baru kami dilepaskan,” kata Amir.
Amir dan 8 temannya berada di kantor Polda Metro Jaya sejak 13 Desember malam hingga 15 Desember 2024. “13 malam ditangkap, dibawa ke kantor, jadi 15 tengah hari ( siang hari) keluar,” tuturnya.
Pilihan Editor: Daftar 14 Polisi yang Telah Dihukum oleh Sidang Etik Karena Memeras Penonton DWP 2024