Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Chitra dan cita kaligis

Pengacara o.c. kaligis dan empat rekannya diadili di pn jakarta barat. kaligis dituduh menguasai hotel chitra secara paksa. buntut dari sengketa hotel chitra antara kubu rahmat sadeli dan rhumanahwaty.

14 Juli 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENGACARA O.C. Kaligis, yang suka berkibar-kibar membela perkara kliennya, kali ini tersandung keras. Ia bersama empat orang rekannya, minggu-minggu ini, terpaksa duduk di kursi pesakitan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Jaksa A. Hasan Ketaren menuduh kelima terdakwa telah menguasai Hotel Chitra, yang terletak di kawasan perdagangan Glodok, Jakarta Barat, secara tidak sah. Dakwaan itu tampaknya cukup serius. Buktinya: Kaligis menyodorkan delapan pengacara senior untuk membela perkaranya. Sementara itu, keempat terdakwa lainnya menampilkan lima pembela. Tapi, di sidang pertama, Kamis pekan lalu, hanya tujuh pembela yang hadir. "Kalau ada guinnes book of record nasional, barangkali persidangan ini bisa masuk," Hakim Ketua Amarullan Salim berseloroh. Ia menyarankan agar seorang terdakwa cukup didampingi maksimum tiga pengacara saja. Mengapa Kaligis sampai dituduh menguasai Hotel Chitra secara tidak sah? Tuduhan itu tak lain dari buntut sengketa kepemilikan Hotel Chitra, berdiri pada 1984, antara Rahmat Sadeli dan kedua anaknya, Hendrata dan lan Sadeli, selaku pengelola hotel -- dan Nyonya Rhumanahwaty Manaf, Hendra Manaf, serta Luay Abdurachman Munir, selaku pemegang saham terbanyak. Semula, Rahmat dan bekas Wakil Gubernur DKI Jakarta, Asmawi Manaf, suami Rhumanahwaty, masing-masing memiliki 48% saham PT Ayu Kumala Lestari (AKL), persero yang mengelola Chitra. Sisa saham (4%) dipegang Luay Abdurachman, kakak Rhumanahwaty. Belakangan, pertikaian muncul di antara mereka: Asmawi menuding Rahmat menyelewengkan keuangan, sedangkan Rahmat balik menuduh Asmawi tak kunjung menyetorkan modal. Perselisihan memuncak dengan diadakannya Rapat Umum Pemegang Saham AKL pada 25 Juni 1986. Lewat rapat pemegang saham itu, Kaligis -- yang semula pengacara Rhumanahwaty -- diangkat jadi komisaris utama. Jabatan direktur utama dipegang oleh Rhumanahwaty sendiri. Bermodalkan kekuasaan itu, Kaligis lalu memecat Rahmat sebagai direktur utama AKL. Pada hari itu juga, menurut dakwaan Jaksa Ketaren, kelompok Rhumanahwaty menguasai Hotel Chitra secara paksa. Mereka, menurut jaksa, juga merusak kunci tiga buah kamar dan mengacak-acak filing cabinet di kamar kerja Hendrata Sadeli. Rahmat, tentu saja, tak bisa menerima "kudeta" Rhumanahwaty. "Itu perampokan. Hotel itu murni milik saya," ujarnya. Rahmat, yang di persidangan pertama cuma duduk di ruang jaksa, menambahkan bahwa Chitra -- yang kini ditaksir bernilai Rp 5 milyar itu -- tak ada hubungannya dengan AKL. Kecuali itu, lanjutnya, Asmawi cuma punya saham kosong, karena tak pernah menyetorkan modal. Setelah "kudeta" itu, Rahmat mengadukan lawannya ke Polda Metro Jaya, dan sekaligus menggelar gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hingga kini, gugatan itu masih diproses di tingkat kasasi. Dampak penyerobotan Chitra itu juga menimbulkan citra buruk terhadap Kaligis. Pada Oktober 1987, ia ditegur Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena dianggap melanggar Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang pengawasan advokat. Sebelumnya, lima orang staf Kaligis digiring petugas ke Polres Jakarta Barat, gara-gara penyerobotan Chitra. Upaya Rahmat menggugat lawannya akhirnya bermuara juga ke meja hijau. "Baik di pemeriksaan polisi maupun kejaksaan, cukup bukti adanya tindak pidana berupa penyerobotan Hotel Chitra oleh O.C. Kaligis dan keempat terdakwa," kata Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Barat Erfan Brotoamidarmo. Selain Kaligis, Luay Abdurachman, dan Nyonya Rhumanahwaty, jaksa juga menyeret Anas Mappe Siri serta Azhary ke kursi terdakwa. Kedua nama terakhir, kata jaksa, masing-masing diangkat sebagai direktur dan komisaris melalui rapat pemegang saham 25 Juni 1986. Di persidangan, jaksa menjaring kelima terdakwa dengan tuduhan pemalsuan akta rapat pemegang saham, kejahatan terhadap ketertiban umum, kejahatan terhadap kemerdekaan seseorang, pemerasan, dan ancaman. Dakwaan jaksa dibantah terdakwa dan pembelanya dengan menyatakan bahwa kasus Chitra tegas-tegas kasus perdata murni. "Yang terjadi adalah penggantian pengurus lama melalui rapat umum pemegang saham yang cukup berdasar dan sudah sesuai dengan prosedur," kata Kaligis. Ia menegaskan bahwa Chitra merupakan salah satu aset AKL. Kaligis juga membantah tuduhan bahwa saham Asmawi dan Luay merupakan saham kosong. Saham itu, lanjut Kaligis, sudah ada dan dicetak sebelum rapat pemegang saham 25 Juni 1986. Hanya saja, hingga kini penyidik tak pernah mau menyitanya. Jadi, "Dakwaan jaksa terlalu dicari-cari," ujarnya. Pengacara Amir Syamsuddin, juru bicara tim pembela Kaligis, malah menilai dakwaan jaksa kabur (obscuur libel). "Jaksa tidak menguraikan secara jelas bagaimana tindakan para pengurus dan pemegang saham yang sah itu bisa beralih menjadi tindak pidana para terdakwa secara perorangan," katanya. Menurut Amir, jaksa juga tidak menjabarkan proses dan latar belakang sebelum maupun sesudah rapat pemegang saham itu. Lain lagi argumentasi pembela keempat terdakwa lainnya. Mereka mohon agar majelis hakim menunda pemeriksaan perkara itu. Alasannya: perkara itu bersumber dari sengketa kepemilikan (praejudicial geschil) Hotel Chitra. "Sebab itu, untuk menghindari ketidakpastian hukum, sebaiknya pemeriksaan perkara ini ditunda sampai ada keputusan yang berkekuatan tetap atas perkara perdatanya," kata Pengacara Azwar Yahya. Dalih pembela-pembela itu membuat Rahmat makin pusing memikirkan Chitra yang hingga tak kunjung bisa dikuasainya kembali. "Saya benar-benar melawan mafia. Mereka tetap saja menguasai Chitra. Padahal, sudah dua kali izin usahanya dicabut Gubernur," katanya. Ia menambahkan, berdasarkan penetapan pengadilan tertanggal 3 Juli 1987, tanah dan bangunan hotel itu sudah dinyatakan sebagai miliknya. Tapi, sampai minggu lalu, ia masih saja jadi "tamu" di hotelnya. Happy S. dan Ardian T. Gesuri (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus