PAGI sekali, awal bulan lalu, Advokat Yap Thiam Hien menerima
telepon. Dari seberang terdengar suara keras, kasar dan
mengancam--kurang lebih begini: "Kalau lu mau aman, jalankan
pekerjaanmu dengan baik!"
Besoknya, sekitar pukul 3 pagi, ahli hukum yang baru saja
menerima gelar Doktor Kehormatan dari Vrije Universiteit
Amsterdam itu merasa rumahnya diserang orang. Ia melihat bekas
dua tembakan. Satu di antaranya menembus kaca jendela rumahnya.
Bahkan beberapa hari sebelumnya sekitar akhir Oktober,
anjing herder penjaga rumah Mr. Yap kedapatan mati. Jelas,
katanya, anjing tersebut mati diracun orang. Dari
peristiwa-peristiwa tersebut Yap berkesimpulan, memang ada orang
yang secara pengecut dan keji melakukan intimidasi dan ancaman,
tapi entah dalam rangka dan kaitan apa dengan dirinya.
Tapi belakangan ini Yap memang sedang membela tiga buah
perkara yang cukup menarik perhatian, di dua pengadilan di
Jakarta. Di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Yap mendampingi dua
orang asing, yang dituduh menjual minyak milik PN Pertamina
secara tidak sah. Jual beli minyak yang dilakukan di tengah laut
tersebut terkenal dengan "kasus kapal tanker Houssam B" yang
menyebabkan beberapa pejabat Pertamina diperiksa yang berwajib.
Dua perkara lain yang dibela Yap sedang berlangsung di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Satu menyangkut orang asing
yang dituduh menggelapkan uang milik PT AIT (perusahaan rokok
merk Gold Bond dan Abdullah) sebesar Rp 200 juta. Dalam kasus
ini Yap sempat menghebohkan ia menuduh salah seorang saksi
"membeli" beberapa jenderal. Tapi kemudian Yap menarik ucapannya
dan minta maaf kepada yang bersangkutan.
Perkara yang lain menyangkut tertuduh GCV dan anaknya, SGV,
yang dituduh melakukan penyelundupan tekstil.
"Teror" yang hampir serupa dengan pengalaman Mr. Yap juga
dialami Pengacara Syarif Siregar di Medan. Pada 28 Oktaber,
sekitar jam 22 .30, rumah Ketua Peradin (organisasi advokat) di
Simpang Selayang Km 8, Medan, itu, diserang orang dengan
lemparan-lemparan batu sebesar kepalan tangan. Akibatnya memang
tak seberapa--hanya merusakkan kawat anti nyamuk di beranda
rumah, menggumpilkan beberapa bagian tembok dan memecahkan
genting saja.
Syarif, 45 tahun, dan tukang kebunnya tak dapat mengenali
siapa-siapa penyerang gelap malam itu. Sebab, betapa pun cepat
mereka rnemburu ke jalan, penyerangnya telah lebih dulu kabur
dengan mobil colt. Mereka masih mencoba memburu dengan mobil
lain, tapi sia-sia saja, karena kendaraan para "teroris"
menghilang di antara kesibukan lalu lintas di pusat kota.
Pengacara Medan tersebut belum dapat menebak motif
penyerangan itu. Begitu pula, "saya belum bisa menuduh
siapa-siapa," katanya. "Tapi jelas dilakukan secara berencana".
Namun seperti halnya yang dialami koleganya di Jakarta, Syarif
Siregar memang sedang mengurus sebuah perkara yang cukup
menarik.
Yaitu yang menyangkut kliennya bernama Tukia alias Lukman
alias Law Kang Yang. Kliennya ini adalah penduduk Jalan Pisang,
Medan, dan sekarang tengah berobat jalan karena sakit.
Sebelumnya ia dirawat di rumah sakit Kodam lI/Bukit Barisan di
Jalan Putri Hijau selama 15 hari. Sakitnya? Sulit dikatakan.
Tapi, begitu cerita Tukia, penyakitnya itu disebabkan cara
pemeriksaan yang keras selama dua hari di rumah tahanan militer
di Jalan Gandhi.
Ceritanya begini. Karena dituduh menggelapkan uang
perusahaan tempat ia bekerja, CV Inafil atau International Film,
maka Tukia, 36 tahun, oleh pengadilan dihukum penjara selama 11
bulan. Keluar dari bui, Tukia terbang ke Jakarta, menghadap
petugas di Kejaksaan Agung untuk memberi kesaksian sekitar
perkara yang melanda PT Cinerama Film.
Apa yang terjadi di Cinerama Film sebenarnya perkara biasa.
Adalah Toni Hamidy alias A Lok, 45 tahun, seorang pengusaha di
Medan mengaku menyediakan modal sekitar Rp 50 juta bagi pengurus
CV Inafil, yaitu Adji Aswin alias Tjie Ho, Suyanto alias A Hong
dan Hadi Tamsir alias Tjie Lim, untuk mendirikan PT Cinerama
Film Modal tersebut, menurut Toni, ditanamkan sebagai pembelian
sejumlah saham. Sedangkan usaha Cinerama adalah mengimpor
filmfilm Mandarin dari Hongkong dan memproduksi film sendiri.
Usaha bersama itu di mulai sekitar 1973.
Usaha mereka maju yang menurut Toni, berkat kerjasamanya
dengan seorang bintang film Hongkong bernama Lo Lieh. Bintang
film silat tersebut katanya, adalah bekas murid perguruan yudo
yang pernah dibukanya di Medan. Hingga sekarang, lanjutnya,
Cinerama telah mengimpor sekiur 100 film dan memproduksi 11 film
nasional (seperti: Nafsu Gila, Pukulan Bangau Putih) . Pokoknya,
begitu diperkirakan Toni, omset Cinerama sudah mencapai Rp 1
milyar.
Belakangan, sekitar akhir 1979, Toni akhirnya tahu bahwa
namanya--entah bagaimana--tak tercantum dalam daftar pemegang
saham Cinerama. Toni merasa tertipu dan melaporkan urusannya ke
Kejaksaan Agung di Jakarta. Dan Tukia, sekeluar dari penjara,
berangkat ke Jakarta untuk memberikan kesaksiannya sekitar
pengaduan Toni.
Kelanjutan perkara tersebut--benar atau tidak pengaduan
Toni--sedang di harap kejaksaan. Yang jelas, sekembali dari
Jakarta, Tukia didatangi dan dijemput beberapa orang--di
antaranya kemudian dikenal Tukia sebagai petugas intel
Laksusda--dan dijebloskan di rumah tahanan militer di Jalan
Gandhi.
Pemeriksaan di Jalan Gandhi, menurut Tukia, sekitar
kesaksian yang diberikannya kepada Kejaksaan Agung. Perlakukan
pemeriksa terhadapnya tak banyak diungkapkannya. Tapi hanya dua
hari Tukia diperiksa, selanjutnya ia harus dirawat di rumah
sakit milik Kodam.
Advokat Syarif Siregar, yang dimintai bantuan oleh istri
Tukia, segera bertindak. Tukia diizinkan meninggalkan rumah
sakit, akhir Oktober, tanpa harus membayar uang perawatan
sepeser pun. Humas Laksusda, Mayor Mardian Idris, tak membantah
atau membenarkan cerita Tukia. "Tidak ada komentar," begitu saja
katanya. Namun beberapa sumber di Kodam Bukit Barisan
menyatakan, Pangdam Brigjen M. Sanif marah-marah, serta
memerintahkan agar oknum di alan Gandhi ditindak.
Adakah perkara Tukia ini yang menyebabkan rumah Syarif
Siregar menjadi sasaran serangan gelap, menurut advoI.at itu
sendiri, belum begitu pasti. Tapi katanya, sehari sebelum
rumahnya diserang, ia didatangi beberapa orang yang memintanya
agar tidak membesar-besarkan perkara Tukia.
"Sembilan belas tahun praktek," kata Syarif, "baru sekali
ini saya mengalami peristiwa seperti sekarang."
Tapi bagi Advokat Soemarno P. Wirjanto dari Sala, tekanan
dan ancaman sering diterimanya, bahkan pernah ada orang yang
hendak menculiknya. Soemarno memang banyak membela
perkara-perkara menarik. Belakangan, seperti dikatakannya kepada
TEMPO, bahkan ia merasa terancam oleh segerombolan orang yang
dikerahkan seorang pejabat di Sala untuk mencelakainya.
Risiko para pembela agaknya makin keras belakangan ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini