Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Orang Gelap Di Belakang Advokat

Advokat Syarif Siregar di Medan, rumahnya dilempari batu-batu, sedang mengurus kliennya tukia yang dituduh menggelapkan uang perusahaan cv. inafil. (krim)

22 November 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAGI sekali, awal bulan lalu, Advokat Yap Thiam Hien menerima telepon. Dari seberang terdengar suara keras, kasar dan mengancam--kurang lebih begini: "Kalau lu mau aman, jalankan pekerjaanmu dengan baik!" Besoknya, sekitar pukul 3 pagi, ahli hukum yang baru saja menerima gelar Doktor Kehormatan dari Vrije Universiteit Amsterdam itu merasa rumahnya diserang orang. Ia melihat bekas dua tembakan. Satu di antaranya menembus kaca jendela rumahnya. Bahkan beberapa hari sebelumnya sekitar akhir Oktober, anjing herder penjaga rumah Mr. Yap kedapatan mati. Jelas, katanya, anjing tersebut mati diracun orang. Dari peristiwa-peristiwa tersebut Yap berkesimpulan, memang ada orang yang secara pengecut dan keji melakukan intimidasi dan ancaman, tapi entah dalam rangka dan kaitan apa dengan dirinya. Tapi belakangan ini Yap memang sedang membela tiga buah perkara yang cukup menarik perhatian, di dua pengadilan di Jakarta. Di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Yap mendampingi dua orang asing, yang dituduh menjual minyak milik PN Pertamina secara tidak sah. Jual beli minyak yang dilakukan di tengah laut tersebut terkenal dengan "kasus kapal tanker Houssam B" yang menyebabkan beberapa pejabat Pertamina diperiksa yang berwajib. Dua perkara lain yang dibela Yap sedang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Satu menyangkut orang asing yang dituduh menggelapkan uang milik PT AIT (perusahaan rokok merk Gold Bond dan Abdullah) sebesar Rp 200 juta. Dalam kasus ini Yap sempat menghebohkan ia menuduh salah seorang saksi "membeli" beberapa jenderal. Tapi kemudian Yap menarik ucapannya dan minta maaf kepada yang bersangkutan. Perkara yang lain menyangkut tertuduh GCV dan anaknya, SGV, yang dituduh melakukan penyelundupan tekstil. "Teror" yang hampir serupa dengan pengalaman Mr. Yap juga dialami Pengacara Syarif Siregar di Medan. Pada 28 Oktaber, sekitar jam 22 .30, rumah Ketua Peradin (organisasi advokat) di Simpang Selayang Km 8, Medan, itu, diserang orang dengan lemparan-lemparan batu sebesar kepalan tangan. Akibatnya memang tak seberapa--hanya merusakkan kawat anti nyamuk di beranda rumah, menggumpilkan beberapa bagian tembok dan memecahkan genting saja. Syarif, 45 tahun, dan tukang kebunnya tak dapat mengenali siapa-siapa penyerang gelap malam itu. Sebab, betapa pun cepat mereka rnemburu ke jalan, penyerangnya telah lebih dulu kabur dengan mobil colt. Mereka masih mencoba memburu dengan mobil lain, tapi sia-sia saja, karena kendaraan para "teroris" menghilang di antara kesibukan lalu lintas di pusat kota. Pengacara Medan tersebut belum dapat menebak motif penyerangan itu. Begitu pula, "saya belum bisa menuduh siapa-siapa," katanya. "Tapi jelas dilakukan secara berencana". Namun seperti halnya yang dialami koleganya di Jakarta, Syarif Siregar memang sedang mengurus sebuah perkara yang cukup menarik. Yaitu yang menyangkut kliennya bernama Tukia alias Lukman alias Law Kang Yang. Kliennya ini adalah penduduk Jalan Pisang, Medan, dan sekarang tengah berobat jalan karena sakit. Sebelumnya ia dirawat di rumah sakit Kodam lI/Bukit Barisan di Jalan Putri Hijau selama 15 hari. Sakitnya? Sulit dikatakan. Tapi, begitu cerita Tukia, penyakitnya itu disebabkan cara pemeriksaan yang keras selama dua hari di rumah tahanan militer di Jalan Gandhi. Ceritanya begini. Karena dituduh menggelapkan uang perusahaan tempat ia bekerja, CV Inafil atau International Film, maka Tukia, 36 tahun, oleh pengadilan dihukum penjara selama 11 bulan. Keluar dari bui, Tukia terbang ke Jakarta, menghadap petugas di Kejaksaan Agung untuk memberi kesaksian sekitar perkara yang melanda PT Cinerama Film. Apa yang terjadi di Cinerama Film sebenarnya perkara biasa. Adalah Toni Hamidy alias A Lok, 45 tahun, seorang pengusaha di Medan mengaku menyediakan modal sekitar Rp 50 juta bagi pengurus CV Inafil, yaitu Adji Aswin alias Tjie Ho, Suyanto alias A Hong dan Hadi Tamsir alias Tjie Lim, untuk mendirikan PT Cinerama Film Modal tersebut, menurut Toni, ditanamkan sebagai pembelian sejumlah saham. Sedangkan usaha Cinerama adalah mengimpor filmfilm Mandarin dari Hongkong dan memproduksi film sendiri. Usaha bersama itu di mulai sekitar 1973. Usaha mereka maju yang menurut Toni, berkat kerjasamanya dengan seorang bintang film Hongkong bernama Lo Lieh. Bintang film silat tersebut katanya, adalah bekas murid perguruan yudo yang pernah dibukanya di Medan. Hingga sekarang, lanjutnya, Cinerama telah mengimpor sekiur 100 film dan memproduksi 11 film nasional (seperti: Nafsu Gila, Pukulan Bangau Putih) . Pokoknya, begitu diperkirakan Toni, omset Cinerama sudah mencapai Rp 1 milyar. Belakangan, sekitar akhir 1979, Toni akhirnya tahu bahwa namanya--entah bagaimana--tak tercantum dalam daftar pemegang saham Cinerama. Toni merasa tertipu dan melaporkan urusannya ke Kejaksaan Agung di Jakarta. Dan Tukia, sekeluar dari penjara, berangkat ke Jakarta untuk memberikan kesaksiannya sekitar pengaduan Toni. Kelanjutan perkara tersebut--benar atau tidak pengaduan Toni--sedang di harap kejaksaan. Yang jelas, sekembali dari Jakarta, Tukia didatangi dan dijemput beberapa orang--di antaranya kemudian dikenal Tukia sebagai petugas intel Laksusda--dan dijebloskan di rumah tahanan militer di Jalan Gandhi. Pemeriksaan di Jalan Gandhi, menurut Tukia, sekitar kesaksian yang diberikannya kepada Kejaksaan Agung. Perlakukan pemeriksa terhadapnya tak banyak diungkapkannya. Tapi hanya dua hari Tukia diperiksa, selanjutnya ia harus dirawat di rumah sakit milik Kodam. Advokat Syarif Siregar, yang dimintai bantuan oleh istri Tukia, segera bertindak. Tukia diizinkan meninggalkan rumah sakit, akhir Oktober, tanpa harus membayar uang perawatan sepeser pun. Humas Laksusda, Mayor Mardian Idris, tak membantah atau membenarkan cerita Tukia. "Tidak ada komentar," begitu saja katanya. Namun beberapa sumber di Kodam Bukit Barisan menyatakan, Pangdam Brigjen M. Sanif marah-marah, serta memerintahkan agar oknum di alan Gandhi ditindak. Adakah perkara Tukia ini yang menyebabkan rumah Syarif Siregar menjadi sasaran serangan gelap, menurut advoI.at itu sendiri, belum begitu pasti. Tapi katanya, sehari sebelum rumahnya diserang, ia didatangi beberapa orang yang memintanya agar tidak membesar-besarkan perkara Tukia. "Sembilan belas tahun praktek," kata Syarif, "baru sekali ini saya mengalami peristiwa seperti sekarang." Tapi bagi Advokat Soemarno P. Wirjanto dari Sala, tekanan dan ancaman sering diterimanya, bahkan pernah ada orang yang hendak menculiknya. Soemarno memang banyak membela perkara-perkara menarik. Belakangan, seperti dikatakannya kepada TEMPO, bahkan ia merasa terancam oleh segerombolan orang yang dikerahkan seorang pejabat di Sala untuk mencelakainya. Risiko para pembela agaknya makin keras belakangan ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus