Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Proyek Keropos Pak Pos

Kejaksaan Agung menelisik dugaan korupsi proyek pengadaan alat pemindai bernilai miliaran rupiah di PT Pos Indonesia. Sejumlah petinggi perusahaan itu diduga ikut bermain.

22 September 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ENAM orang berseragam cokelat berompi hitam hilir-mudik di lantai 7C Graha Pos Indonesia di Jalan Banda Nomor 30, Bandung, Kamis dua pekan lalu. Di sela-sela jam sibuk siang itu, dua anggota Satuan Tugas Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dari Kejaksaan Agung tersebut keluar dari balik dinding kaca. Partisi itu memisahkan area lobi dengan ruang kerja Direktur Utama PT Pos Indonesia Budi Setiawan.

Dua jaksa itu lantas memasuki lift dan turun ke lantai bawah. Sekitar 15 menit berselang, pintu lift kembali terbuka. Dua orang yang tadi turun itu lalu naik lagi sambil mendorong troli penuh kardus dan berkas yang menggunung. Keduanya bergegas masuk pintu dinding kaca, menghindari wartawan yang dari pagi menunggu mereka. "Berkas yang harus diperiksa masih banyak. Masih lama," ujar salah satu jaksa itu sembari terus mendorong troli. Belok kanan di ujung lorong, keduanya menghilang dari pandangan.

Di Graha Pos, siang itu juga anggota Satgas mengobok-obok ruangan Direktur Teknologi dan Jasa Keuangan PT Pos Budhi Setiawan, yang terletak di lantai empat. Dari sana, mereka mengumpulkan berkas, lalu menyortirnya di ruang sang Direktur Utama di lantai 7C.

Pada saat yang sama, ketegangan terjadi di dua tempat berbeda. Satu tim jaksa lain menggeledah ruang Direktur Keuangan PT Pos di Jalan Cilaki, sekitar 400 meter di utara Graha Pos. Adapun satu tim lagi memburu berkas dan dokumen di kantor Divisi Pengadaan Barang dan Jasa PT Pos Indonesia di Jalan Jakarta, Bandung, sekitar lima kilometer dari Graha Pos.

Setelah delapan jam menggeledah, menjelang magrib tim jaksa meninggalkan Graha Pos. Dari tempat itu, mereka membawa 4 bundel dokumen, 100 unit alat mirip telepon seluler, dan 1 unit komputer. Menurut juru bicara PT Pos, Abu Sofian, semua bukti yang diboyong jaksa terkait dengan pengadaan portable data terminal tahun 2012-2013. Pada kurun itu, PT Pos membeli 1.725 unit alat pemindai senilai Rp 10,5 miliar.

l l l

Penggeledahan hari itu merupakan bagian dari penyidikan atas dugaan korupsi dalam proyek pengadaan alat pemindai dan penyimpan data di PT Pos Indonesia. Awal September ini, Kejaksaan Agung menetapkan Manajer Otomasi PT Pos Indonesia Muhajirin dan direktur perusahaan pemenang proyek itu, PT Datindo Infonet Prima, Effendy Christina, sebagai tersangka. "Mereka diduga melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara," kata Kepala Subdirektorat Tindak Pidana Korupsi Kejaksaan Agung Sarjono Turin kepada Tempo, Rabu pekan lalu.

Muhajirin dijadikan tersangka karena posisi dia sebagai penanggung jawab satuan tugas pemeriksa barang dan pekerjaan pada proyek ini. Sedangkan Effendy dijadikan tersangka karena ia mewakili PT Datindo dalam kontrak dengan PT Pos.

Menurut Sarjono, tim penyidik menemukan sejumlah kejanggalan dalam proses pengadaan perangkat itu. Spesifikasi teknis alat, misalnya, tak sesuai dengan yang disyaratkan PT Pos dalam tender. Seharusnya alat itu memiliki baterai yang bisa menyala delapan jam, tapi kenyataannya baterai yang dipakai hanya bertahan tiga jam. Peralatan itu juga tak sesuai dengan sistem jaringan teknologi informasi yang terpasang di PT Pos.

Kejaksaan Agung sudah menyita 1.625 perangkat bermerek Intermec tipe CS40 pada 2 September lalu. Para penyidik juga menemukan perangkat serupa teronggok nganggur di gudang Kantor Pos Area IV Jakarta Pusat, Jalan Lapangan Banteng. "Proyek ini seperti dipercepat dan dipaksakan," ujar Sarjono, yang juga mantan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi.

Pekan lalu, Tempo berupaya menemui Direktur Utama PT Pos Indonesia Budi Setiawan perihal perkara dugaan korupsi yang terjadi di instansinya. Budi menolak ditemui. Melalui Wakil Presiden Bidang Komunikasi Korporat Bambang Dwi Purwanto, ia menegaskan tak akan memberikan pernyataan terkait dengan kasus ini. "Kami menghormati penyidik Kejaksaan yang tengah bekerja." Hanya itu tanggapan Budi ketika membalas surat elektronik Tempo.

Aksi bungkam juga dilakukan pihak PT Datindo. Perusahaan yang beralamat di lantai 12 Wisma Kadin, Jalan H R. Rasuna Said, Jakarta Selatan, itu juga menolak permohonan Tempo untuk mengklarifikasi masalah ini. "Kami tidak melayani wawancara dengan media," ucap Erna, salah seorang anggota staf PT Datindo.

l l l

Proyek pengadaan portable data terminal merupakan bagian dari pembenahan sistem manajemen pengiriman barang oleh PT Pos Indonesia. Pada awal 2012, Direktur Utama PT Pos saat itu, I Ketut Mardjana, mencanangkan pembangunan sistem layanan informasi dan komunikasi terpadu. Tujuannya agar pelanggan PT Pos bisa mengetahui status dan keberadaan barang yang dikirim mereka secara online. Adapun pada saat yang sama, petugas di kantor pusat PT Pos bisa terus mengontrol pengiriman barang.

Jajaran direktur perusahaan jasa pengiriman pelat merah itu pun mencari-cari alat yang mampu memindai paket kiriman dan menyimpan data seputar identitas pelanggan dan keterangan paket tersebut. Selain punya kemampuan pemindai, alat yang diperlukan mesti dilengkapi Global Positioning System (GPS) untuk memastikan petugas pos sampai ke alamat yang tertera.

Sebelum menggelar pengadaan besar-besaran, PT Pos melakukan uji coba pada Juni 2012. Seratus alat pemindai dicoba di Kantor Area Jakarta Pusat. Sebanyak 309 unit lain dicoba di Kantor Area Jakarta Selatan. Hasil uji coba kala itu dinilai cukup meyakinkan.

Menurut laporan Supervisor Operasi PT Pos Zulkifli Assegaf, selama dua hari uji coba itu, Kantor Area Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan mencapai target pengiriman tepat waktu hingga seratus persen. Dalam laporan 3 Agustus 2012-yang salinannya diperoleh Tempo-Zulkifli pun mengusulkan penerapan sistem itu dilanjutkan dengan pengadaan 1.975 unit alat lagi. Namun karena perkiraan biayanya cukup besar, mencapai Rp 17,6 miliar, Zulkifli menganjurkan pengadaan dilakukan dengan cara menyewa. Usul itu rupanya diterima jajaran direktur PT Pos.

Dua bulan kemudian, Direktur Teknologi dan Jasa Keuangan Budhi Setyawan membuat spesifikasi alat yang dibutuhkan, di antaranya alat itu harus memiliki kapasitas baterai 4.000 mAH atau setara dengan delapan jam waktu operasi. Spesifikasi lainnya: memiliki kelengkapan GPS.

Lelang pun dimulai, tapi proses tendernya sempat diulang berkali-kali. Pada tender pertama, tercatat 17 perusahaan mendaftarkan diri. Setelah melewati seleksi administrasi dan teknis, tiga perusahaan dianggap layak menjadi calon pemenang. Namun, tanpa alasan yang jelas, proses tak dilanjutkan ke tahap pembukaan berkas penawaran harga.

Pada tender ulang, yang dimulai 19 November 2012, sebanyak 14 perusahaan ikut memperebutkan proyek senilai Rp 11,1 miliar itu. Enam peserta akhirnya dinyatakan lulus seleksi administrasi dan teknis.

Berdasarkan penawaran harga yang masuk, PT Astra Graphia keluar sebagai pemenang dengan penawaran Rp 9,8 miliar. Namun proses lelang kedua pun dibatalkan. Alasannya perangkat dengan merek Bluebird Pilion tipe HM40 yang ditawarkan PT Astra belum mendapatkan sertifikasi dari Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Lelang ketiga dimulai pada 10 Januari 2013. Namun, dari empat perusahaan yang mengikuti lelang, hanya satu perusahaan yang mengajukan penawaran harga, yaitu PT Datindo Infonet Prima. Proses lelang kembali gagal.

Dua bulan kemudian, PT Pos mengundang enam perusahaan untuk ikut lelang keempat. Tapi hanya empat perusahaan yang hadir, yakni PT Datindo Infonet Prima, PT Astra Graphia, PT Adhisakti Solusi Komputindo, dan PT Metrocom Global Solusi. Belakangan, PT Astra dan PT Metrocom mengundurkan diri.

Meski yang tersisa hanya dua perusahaan, lelang tetap dilanjutkan. Akhirnya PT Datindo dimenangkan dengan penawaran harga Rp 10,4 miliar. Kontrak pun ditandatangani I Ketut Mardjana dan Direktur PT Datindo Effendy Christina pada 27 Mei 2013.

Beberapa pegawai PT Pos yang mengetahui proses lelang itu mengatakan sejak awal aroma permainan mulai tercium. Indikasinya: tak ada satu pun produk yang diajukan perusahaan peserta lelang memenuhi spesifikasi yang diajukan PT Pos. Misalnya soal baterai 4.000 mAH. Baterai yang diajukan dalam tender paling tinggi kapasitasnya hanya 3.000 mAH. Meski demikian, proses lelang terus berjalan. "Padahal seharusnya semua gugur di seleksi teknis," ujar seorang pegawai yang meminta namanya dirahasiakan.

Masalah serius mulai muncul ketika PT Datindo tak bisa menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan tenggat pada akhir Juli 2013. Pada saat itulah I Ketut Mardjana digantikan Budi Setiawan. Dari 1.725 unit alat yang dijanjikan, PT Datindo baru mengirimkan 60 unit.

Ternyata masalah bukan sekadar itu. Sebagian perangkat dengan merek Intermec CS40 yang sudah dikirim ternyata tak bisa digunakan. Alat buatan Intermec Technologies Pte Ltd asal Amerika Serikat ini hanya memiliki kapasitas baterai 1.430 mAH atau sekitar tiga jam operasional.

PT Datindo ternyata juga tak menepati perjanjian soal pemberian pelatihan dan pelayanan pascajual. Untuk urusan layanan pascajual, PT Datindo malah mengirim teknisi dari PT Noah Arkindo. Belakangan, diketahui PT Noah sebenarnya distributor resmi produk Intermec. "Sedangkan Datindo cuma makelar," tutur pegawai PT Pos yang menolak disebut namanya tadi itu.

Kemenangan PT Datindo, menurut pegawai PT Pos ini, tak lepas dari kedekatan petinggi PT Datindo berinisial SH dengan pejabat PT Pos. Perempuan yang di kalangan pegawai PT Pos dijuluki Nyonya Calo itu kerap menyambangi ruang kerja beberapa petinggi PT Pos.

Untuk meminta klarifikasi soal dugaan permainan tender ini, Jumat pekan lalu Tempo mencoba menghubungi Wakil Presiden Bidang Pengadaan Barang dan Jasa PT Pos Sri Wikani. Namun Sri menyatakan tak bisa membicarakan hal itu melalui telepon. Ketika Tempo meminta kesempatan bertemu, dia pun menolak. "Nanti saya koordinasi dulu," ujarnya.

Karena tender ini bermula pada era I Ketut Mardjana, Tempo pun berupaya meminta Ketut bersedia diwawancarai. Tapi ia tak pernah merespons pesan pendek yang dikirim Tempo. Telepon miliknya, meski nada sambungnya berbunyi, tak pernah diangkat.

Menurut Sarjono, penyidik Kejaksaan Agung pernah memanggil Ketut sebagai saksi untuk Muhajirin dan Effendy Christina. Direktur Utama PT Pos saat ini, Budi Setiawan, juga sudah dimintai keterangan sebagai saksi. Kejaksaan, kata Sarjono, tak akan berhenti hanya pada penetapan Muhajirin dan Effendy sebagai tersangka. Tim jaksa akan terus menelisik siapa otak di balik proyek bodong ini. "Akan kami cari siapa penggagas proyek ini," ucap Sarjono.

Febriyan (Jakarta), Erick P. Hardi, Ahmad Fikri (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus