Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tabula Rasa
Sutradara: Adriyanto Dewo
Skenario: Tumpal Tampubolon
Pemain: Jimmy Kobogau, Dewi Irawan, Ozzol Ramdan, Yayu Unru
Produksi: LifeLike Pictures
Sebuah warung Padang bernama Takana Juo di pojok Jakarta. Seorang Emak (Dewi Irawan), pemilik delapan tulang kuat yang memanggul seluruh tubuh dan jiwanya yang letih; Parmanto (Yayu Unru), sang juru masak, seperti seniman dan ahli masak umumnya, yang tinggi hati dan egonya tak boleh tersentil sedikit jua; Uda Natsir (Ozzol Ramdan), si tukang sanduak sekaligus pelayan rumah makan.
Di lapau nasi itulah muncul seorang pemuda berkulit gelap, berambut keriting, berkaus merah compang-camping, dan berjalan terseret-seret. Hans (Jimmy Kobogau), pemuda yatim piatu Serui, Papua, yang semula pergi ke Jakarta karena terpilih untuk dilatih sepak bola, tertabrak nasib buruk. Kaki patah, tak diurus. Jadilah dia tertatih-tatih dan terdampar ke hadapan warung kecil itu: dari membantu mencuci piring, ikut berbelanja sejak subuh, hingga akhirnya perlahan memasak di dapur.
Di dapur pun ada politik dan intrik. Parmanto tersenggol egonya karena, "Sayalah juru masak rumah makan ini," katanya, melotot. Apalagi mereka semua menyalahkan sepinya pengunjung lapau nasi sehingga nama Takana Juo tak punya makna. Parmanto ngambek dan pergi, maka Hans, yang memang kelihatan berbakat memasak, perlahan menjadi pengganti Parmanto.
Selesaikah persoalan itu di situ? Tentu saja tidak. Ini dinyatakan sebagai film kuliner, maka peran utama film ini adalah makanan yang menjadi pusat dari cinta dan cerita. Makanan itu bernama gulai kepala ikan kakap. Kepala ikan kakap yang dibumbui, dicemplungkan ke dalam kuah santan kuning, yang dimasak di atas kuali dan tungku dengan arang. Tidak dengan kompor gas, tidak dengan santan kaleng, dan tidak juga dengan bumbu instan. Semua harus dibuat dari bumbu asli yang digerus di atas ulekan sejak matahari masih tidur.
Persoalannya, Emak tak akan pernah mau mengajari Hans memasak gulai dahsyatnya itu, karena ada sebuah cerita pedih di balik gulai kepala ikan kakap tersebut.
Ide cerita dan plot film ini menarik. Film kuliner selama ini belum pernah menjadi pilihan sineas Indonesia, padahal Indonesia luar biasa kaya dengan tradisi, ritual, dan kisah keluarga yang selalu saja berkaitan dengan makanan. Produser Sheila Timothy mengaku beberapa film menjadi referensinya, seperti Eat Drink Man Woman karya Ang Lee dan The Scent of Green Papaya arahan sutradara Vietnam, Tran Anh Hung.
Referensi tersebut sudah tepat karena itu adalah dua dari banyak film kuliner yang melekat di benak, hati, dan lidah kita. Sutradara baru Adriyanto Dewo, yang menjanjikan dalam film-film pendeknya, dan penulis skenario Tumpal Tampubolon juga terlihat jejaknya dalam beberapa adegan dan dialog yang cerkas. Tapi apakah film ini berhasil melekat pada benak, hati, dan lidah penonton?
Sebuah karya-novel, cerita pendek, film, atau esai-yang menamakan dirinya karya kreatif kuliner untuk saya harus mampu merasakan lezatnya makanan, aroma bumbu, manis asam pedasnya kuah, dan yang terpenting bagaimana proses pembuatan makanan itu memiliki relasi pada emosi para tokohnya. Saya membayangkan perasaan yang muncul seperti saat kita membaca kumpulan sketsa Umar Kayam dalam Mangan Ora Mangan Kumpul (Pustaka Utama Grafiti, 1990), yang membuat kita tak akan lupa gurihnya ayam penggeng dan sate usus; atau betapa penting dan sakralnya pembuatan kaldu sup dalam film Eat Drink Man Woman. Keinginan itu dalam film Tabula Rasa sudah jelas: hubungan Emak dan gulai kepala kakap serta sebuah kenangan. Tapi kita tak cukup melihat secara visual betapa penting dan asyiknya sang gulai kepala kakap dan hubungannya dengan masa lalu yang pedih.
Visualisasi dendeng batokok dan rendang pun baru dimunculkan belakangan. Itu pun penonton masih hanya menyaksikan panci-panci, dapur sederhana-yang harus diakui hasil tata artistik yang meyakinkan-arang, dan api. Baru di paruh akhir penonton dimanjakan dengan insert short-sorotan yang sangat mendetail-dari masakan gulai kepala kakap yang mahapenting itu. Drama keluarga memang penting, tapi jika ini dinyatakan sebagai film kuliner, makanan harus menjadi "peran utama" secara jiwa dan raga.
Di luar soal film kuliner yang kurang rasa makanan, untuk saya, persahabatan Emak dan Hans sangat penting dan menyentuh serta menjadi titik paling bercahaya dari seluruh film. Jimmy Kobogau seperti seseorang yang mencebur dan menyatu dengan tokoh Hans yang merasa tertipu oleh Jakarta dan menganyam harapan ketika bertemu dengan Emak. Dewi Irawan, yang hampir selalu menjadi ibu dalam setiap film Indonesia, berhasil menunjukkan betapa banyaknya spektrum "ibu" yang dapat dia sajikan. Di sini, dia adalah seorang ibu kuat, ratu dapur bertulang baja, yang sebetulnya memiliki luka masa lalu yang tenggelam di dalam kuah gulai yang dicintainya. Dewi Irawan memang seorang aktor bunglon yang mahir berganti warna pada setiap layar film yang dia bintangi.
Debut sutradara Adriyanto Dewo memang belum sepenuhnya menghasilkan gulai kakap seasyik masakan Emak, tapi dia sudah memperlihatkan janji bahwa suatu hari dia akan menjadi koki yang hebat dalam sinema Indonesia.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo