Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Debat pasal komisi

Perdebatan hukum komisi kasus thahir di pengadilan singapura makin seru. pertamina atau kartika yang berhak atas uang itu. sudargo gautama, 64, dicecar eder, 40. pertamina masih di atas angin.

21 Maret 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERDEBATAN hukum komisi kasus simpanan Thahir sebesar US$ 78 juta di pengadilan Singapura, yang memasuki babak-babak akhir, semakin seru. Setelah persidangan memperdebatkan apakah uang simpanan itu hasil komisi dari kontraktor asing atau tidak, kini pertengkaran terjadi apakah Pertamina yang berhak atas uang itu atau Kartika. Berbagai dalil andalan Pertamina dan pendapat saksi ahlinya selalu diserang balik pihak Kartika Thahir. Pengacara Kartika, Bernard Eder, yang tetap bersikukuh menganggap Pertamina tak berhak mengklaim uang yang disimpan di Bank Sumitomo Singapura itu, selalu membantai saksi ahli Pertamina. Kamis pekan lalu, giliran saksi ahli Pertamina, Prof. Sudargo Gautama, 64 tahun, dikuras habis oleh Eder, 40 tahun. Eder menguji pemahaman guru besar FHUI itu tentang Pasal 1802 KUH Perdata (kewajiban penerima kuasa) dari segala segi. Tak urung, Gautama sempat berkali-kali tampak diam dan berpikir keras, sampai-sampai Hakim Lai Kew Chai ikut mengulangi pertanyaan Eder. Waktu itu, Eder mencontohkan kasus seorang bernama A memberikan tugas dan uang 100 dolar Singapura kepada B. Oleh B uang itu, juga uang istrinya dan uang pihak ketiga lainnya, disimpan di bank. Persoalannya, kata Eder, jika orang kedua itu bangkrut, bisakah orang pertama langsung menuntut uangnya ke bank. Bagaimana pula jika banknya bangkrut? Seolah-olah bangga, karena Gautama tampak hati-hati menjawab, sembari memutar badan dan mengangkat kedua tangannya ke atas kepala, Eder kemudian menganalogikan studi kasus itu dengan perkara deposito Thahir. Hubungan antara Pertamina dan Thahir, katanya, hanyalah bersifat pribadi (right in persona). Artinya, Pertamina hanya dapat menuntut Thahir, tapi tidak uangnya. "Pertamina tak berwenang mengikuti ke mana uang (komisi) yang diterima Thahir itu, termasuk ke bank tempat menyimpannya," kata Eder. Tentu saja Gautama tak sependapat. Menurut Gautama, Thahir adalah pegawai sekaligus penerima kuasa (mandat) dari Pertamina. Karena itu, ia harus mempertanggungjawabkan tugas dan mandatnya itu kepada Pertamina. Mendengar jawaban itu, Eder memoles kembali pendapatnya tentang hak milik atas simpanan tersebut. Karena uang itu diberikan kontraktor Jerman kepada Thahir, katanya, uang itu adalah milik Thahir. Nah, "Profesor Gautama, lalu kapan uang itu bisa Anda anggap sebagai milik Pertamina?" ujar Eder. Kali ini Gautama agak lebih tenang menangkis serbuan Eder. "Begitu uang tersebut diserahkan kepada Thahir, uang itu menjadi milik Pertamina meskipun uang itu secara rahasia disimpan Thahir di bank," ucap Gautama. Ahli hukum perdata internasional ini tak lupa mengingatkan bahwa hubungan antara Pertamina dan Thahir, selain mengandung hukum kontrak, juga kepemilikan yang bersifat right in rem (hak kepemilikan yang tetap melekat pada benda di mana pun benda itu berada). Toh Eder berpendapat, sesuai dengan keterangan saksi ahli hukum Belanda dari Pertamina, yang didengar di sidang sebelumnya, Victor de Seriere, bahwa hubungan antara Pertamina dan Thahir adalah hubungan perburuhan belaka. Artinya, tak ada hubungan mandat atau kuasa. Seperti kebanyakan praktisi hukum di sini, Gautama pun menjelaskan bahwa hakim dan pengadilan Indonesia tak harus terikat pada hukum Belanda. Hakim dapat juga memutuskan perkara berdasarkan pada hukum tak tertulis, kepatutan, dan keadilan. Mendengar keterangan ini, Hakim Lai Kew Chai kelihatan memperhatikan dengan serius, sementara "singa" Eder dapat didiamkan. Tampaknya, sampai pekan lalu Pertamina masih di atas angin. Apalagi, pada Senin pekan lalu, Hakim Lai Kew Chai juga menerima bukti-bukti dokumen fotokopi dari Pertamina, yang sudah diperkuat dengan saksi-saksi, sebagai bukti sah. Hanya saja, beberapa bukti yang mencantumkan tanda tangan Ibnu Sutowo belum juga diputus hakim karena Ibnu tak bersedia datang untuk menjadi saksi. Hakim juga belum memutuskan apakah Ibnu perlu dipanggil atau tidak. Happy S.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus