Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Mahkamah agung meralat gengsi

Ma membatalkan eksekusi keputusan arbitrasi asing dalam kasus jual-beli gula pasir antara yani haryanto dengan importir inggris. penetapan itu tak beda dengan keputusan sela.

21 Maret 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEPUTUSAN arbitrase asing, menurut tata pergaulan hukum internasional, seharusnya berlaku di Indonesia -- begitu pula sebaliknya. Faktanya, Mahkamah Agung (MA), yang pernah mengabulkan permohonan eksekusi (exequatur) keputusan arbitrase asing dalam kasus jual-beli gula pasir, ternyata melalui keputusan kasasi membatalkan penetapannya tersebut. Akibat vonis MA yang memenangkan pengusaha Indonesia Yani Haryanto, importir gula Inggris E.D. & F. Man (Sugar) Ltd. (Man) gigit jari. Padahal, Yani secara sepihak membatalkan kontrak jual-beli 400.000 metrikton gula pasir dengan pihak asing tersebut. Karena ingkar janji itu, arbitrase tunggal Anthony Boswood di The Queen's Counsel of The English Bar, London, 17 November 1989, menghukum pihak Haryanto membayar ganti rugi US$ 22 juta kepada Man. Keputusan itu, sembilan bulan lalu, ditetapkan MA bisa dieksekusi di Indonesia. Penetapan MA itu sempat menaikkan pamor peradilan kita di mata internasional. Tapi itu tadi, ternyata kini MA meralat kembali. Tak ada jalan lain, pihak Man segera mengajukan peninjauan kembali ke MA. "Keputusan kasasi itu bisa menimbulkan preseden buruk. Bisa menimbulkan rasa tidak percaya investor asing di sini. Bagaimana kalau hal seperti itu terjadi terhadap keputusan arbitrase Indonesia di luar negeri?" kata kuasa hukum Man, Teddy Soemantry, yang sampai pekan ini berharap MA akan memperbaiki "kekeliruan" itu. Sengketa perdagangan ini berawal dari dua kontrak jual-beli 400.000 metrikton gula pasir antara Haryanto dan Man, pada Februari dan Maret 1982. Dalam kontrak tersebut, disepakati bahwa jika terjadi sengketa, mereka akan menyelesaikan melalui arbitrase London dan menurut hukum Inggris. Belakangan, Haryanto alias Yantje Lim, yang menjadi perantara Bulog, membatalkan kedua kontrak itu. Sebab, ketika itu harga gula di pasaran internasional jatuh dan Bulog membatalkan janjinya untuk membeli gula itu. Buntutnya, Man, yang merasa dirugikan karena telanjur membeli gula dari sumber lain, tak terima. Karena itu Man, sesuai dengan perjanjian, membawa sengketa itu ke arbitrase di London. Haryanto divonis arbiter London membayar ganti rugi US$ 22 juta kepada Man. Namun, Haryanto tak mematuhi keputusan itu. Bahkan pada Agustus 1988, lewat pengacara kawakan Prof. Sudargo Gautama, Haryanto mengajukan gugatan pembatalan kedua kontrak tadi ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gautama mendalilkan bahwa kontrak tersebut melanggar ketertiban umum. Sebab, menurut ketentuan di Indonesia, hanya Bulog yang memonopoli impor gula. Baik pengadilan negeri maupun pengadilan banding sependapat dengan Gautama. Haryanto menang. Pihak Man kasasi. Sementara itu, sesuai dengan Peraturan MA (Perma) No. 1/1990, Man mengajukan permohonan pelaksanaan keputusan arbitrase London itu. Hasilnya, 1 Maret 1991, lewat sebuah penetapan yang ditandatangani langsung oleh Ketua MA Ali Said, MA mengabulkan permohonan tersebut. Itulah penetapan exequatur MA yang pertama untuk keputusan arbitrase asing. Sebelum peraturan MA tadi lahir, boleh dibilang berbagai keputusan arbiter asing tak bergigi di sini. Penetapan itu juga sekaligus menunjukkan keseriusan Indonesia sebagai anggota Konvensi New York tahun 1958 (tentang pengakuan keputusan arbitrase asing). Tapi, apa mau dikata, tonggak baru MA itu -- sekaligus gengsi baru pengadilan Indonesia -- tak berumur lama. Pada 14 Desember 1991, majelis hakim agung yang diketuai Prof. Busthanul Arifin menolak kasasi Man. Hebatnya, kendati berkesan berlebihan, dalam keputusan itu majelis juga menyatakan penetapan exequatur tadi tak bisa dilaksanakan. Alasannya, penetapan tersebut hanya bersifat titel eksekutor (alas eksekusi saja), yang bukan merupakan perintah (prima facie). Sedangkan pelaksanaan keputusannya, kata majelis, tetap harus tunduk pada hukum acara Indonesia. Keruan saja keputusan kasasi itu, yang bertolak belakang dengan penetapan MA sebelumnya, menimbulkan reaksi keras dari pihak Man. "Keputusan itu aneh. Kami kan tak mempersoalkan penetapan exequatur. Tahu-tahu kok muncul dalam keputusan itu. Berarti hakim telah memutuskan melampaui kewenangannya," ujar Teddy Soemantry, yang menerima keputusan itu pada pertengahan Februari lalu. Wakil Ketua Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), H.J.R. Abubakar, juga mengaku tak habis pikir atas keputusan kasasi itu. "Kalau sudah dikeluarkan penetapan, berarti MA sudah menilai keputusan arbitrase asing itu bisa dilaksanakan karena tak bertentangan dengan tata hukum Indonesia," kata Abubakar. Sebaliknya, Prof. Sudargo Gautama, yang sedang mengikuti sidang sengketa harta karun almarhum Thahir di pengadilan Singapura, menganggap keputusan itu sudah tepat. Sebab, katanya, kedua kontrak itu memang sudah dibatalkan pengadilan di sini. Lagi pula, proses persidangan arbitrase di London, tambahnya, tak memenuhi persyaratan Konvensi New York 1958. Karena, pihak Haryanto tak pernah diberi kesempatan untuk membela diri. Jadi, "Ya, memang nggak ada yang bisa dieksekusi," ucap Sudargo sembari tertawa senang. Menariknya, Ketua MA Ali Said kini berpendapat bahwa penetapan exequatur itu -- menurut kuasa hukum Man mestinya tak bisa dibanding apalagi kasasi -- tak beda dengan keputusan sela saja. "Dengan adanya keputusan kasasi itu, dengan sendirinya penetapan exequatur sebelumnya tak dapat dilaksanakan," kata Ali Said. Sementara itu, Ketua Muda MA, Prof. Busthanul Arifin, yang memvonis kasus itu, enggan memberi keterangan. "Tak ada komentar. Keputusan itu sendiri sudah berbicara. Tak perlu diperdebatkan lagi," katanya. Apa boleh buat, hukum kita memang gampang bergoyang. Happy Sulistyadi dan Nunik Iswardhani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus