"SAYA punya ide, Mas. Kita akan bereskan urusan cengkeh ini!" kata Poli dengan muka berseri-seri. Urusan yang telah membikin menawan banyak orang serta memakan energi dan emosi nasional ini memang perlu segera diselesaikan. Poli yang hendak menyelamatkan muka, kocek, dan kehormatan orang banyak ini perlu kita dengar. "Begini, Mas. Misi saya kan satu, petani tidak boleh dirugikan. Artinya, cengkeh harus tetap terjual. Harga layak, sesuai dengan kehendak pasar. KUD terbina. Kredit tertagih, sooner or later. Poli pun kalau bisa jangan rugi". Poli merinci term of referencenya. "Memang mestinya begitu. Kalau mau berteori saja sih, banyak. Tapi pelaksanaannya bagaimana?" tanya saya serius karena benang kusut ini sungguh sulit mencari ujung pangkalnya. "Ujung-ujungnya, perkara cengkeh ini kan soal adu nyali dengan si Soni to Mas. Kartu Soni dari dulu kan perkara cukai dan buruh pabrik rokok. Belakangan ada ekspor nonmigas dan stabilitas. Selaku kelompok pembeli tunggal di masa lalu, Soni bisa seenaknya menetapkan harga cengkeh, lepas dari harga produk akhir rokoknya. Biar harga rokok naik, produksi naik, cengkeh ditekan sepenuhnya dengan alasan mekanisme pasar. Tata niaga cengkeh disandera oleh Soni dengan kebun penyangganya, jaringan tengkulak, dan gudang stok. Kan kasihan petani?" ujar Poli berapi-api. "Soal itu, semua orang sudah tahu. Niat baik melindungi petani dan mengganti jaringan tengkulak dengan memfungsikan KUD juga sudah dimaklumi. Tapi urusan ekonomi tidak ada sangkut pautnya dengan niat baik!" Saya mengorek akal Poli. "Baik. Kita main mekanisme pasar. Artinya kan persaingan to, Mas? Soni membangun kelompok pembeli tunggal, Poli membikin petani menjadi kelompok penjual tunggal. Dalam persaingan ini kita adu napas dan adu saraf. Wong medannya perang urat saraf, di samping perang modal. Siapa menyerah duluan, itu yang harus bertekuk lutut. Masak pelaksana mandat pemerintah mesti dikalahkan?" "Jangan sombong dulu. Struktur harga kamu itu banyak ditanyakan orang. Lagi pula mata rantai tata niaga yang begitu panjang kan tidak efisien. Soni membagi risiko itu dengan tengkulak, buruh, dan petani. Sedangkan Poli, risiko mau kamu tanggung semua." "Kalau saya, Mas, namanya juga dagang. Kadang untung, sesekali bisa menanggung rugi juga dong. Kalau untung terus, namanya bukan dagang tapi nyatut!" jawab Poli sombong. "Tetapi rincian ongkos kamu itu, kalau ditotal, jatuhnya buuanyak banget komponen untung buat kamu. Sulitnya lagi, kiat kamu kalau untung, buat sendiri. Tetapi kalau rugi, main bagibagi!" Saya meledek Poli yang pemberani itu. "Anda ini memang mental pejabat tulen, Mas. Dalam semua bisnis, risiko itu sebisabisa kan dibagi. Itu baru fair namanya!" "Misalnya bagaimana? Kalau Soni sih, membagi risikonya di antara sesama pelaku bisnis. Anda ini niatnya mau nulung. Tetapi amalannya, mengajak orang ikut buntung!" "Iya, tetapi pemerintah kan tahu. Dalam tata niaga mereka, grup Soni itu, petanilah yang paling dikorbankan. Bahkan persiapan membangun piramida pengorbanan petani cengkeh secara struktural dirasakan. Itu yang mau dilawan dengan menugasi Poli untuk mengcounter!" "Baiklah, Poli. Saya terima jadi birokrat, Anda yang konglomerat. Sekarang lanjutkan cerita tentang kiat kamu itu," saya tambah penasaran digurui Poli. "Kamu kan statistisi, Mas. Kalau dikasih angka, jangan buru-buru menerima saja. Bagi bisnis yang sedang bersaing ketat begini, melaporkan statistik ada yang jujur, tapi ada juga angka yang digelar sengaja untuk menyesatkan. Itu strategi dan kiat disinformasi dalam persaingan. Supaya gertak kita menyiutkan nyali lawan! Atau kreditor kita jangan buru-buru nguber setoran!" Poli pun menjelaskan secara rinci kiat bisnisnya soal percengkehan ini. Ia yakin masalah bakal segera teratasi kalau secara taat asas semua mengamini. Tetapi karena itu rahasia perusahaan, saya tidak boleh menulis rincinya di sini. Hanya ada satu yang saya tak tahan untuk tidak mengusut. Urusan kredit likuidasi Bank Indonesia itu. "Jangan khawatir, Mas. Janji bisnis itu bukan janji palsu, lain di bibir lain di saku. Dan kredit likuiditas itu kan mempertaruhkan kehormatan. Jadi, seperti juga sumpah punggawa Majapahit. Utang loro nyaur loro, utang pati nyaur pati, utang duwit nyaur semoyo. Dalam bisnis, tidak dikenal utang sakit bayar sakit, utang mati dibayar mati. Yang ada hanya utang duit dibayar janji. Maka, seraya berjanji, kita agunkanlah stok cengkeh itu. Beres!" "Tetapi Bank Indonesia butuh tunai, semprul! Pegawai negeri perlu dibayar gajinya, tunjangan berasnya. Mana bisa agunan stok cengkeh kamu buat membayar mereka?" Saya agak kesal juga mendengar Poli seenaknya menjawab pertanyaan saya. Untung ada oknum, yang dari tadi rupanya nguping omongan kami berdua, tiba-tiba nyeletuk, "Kan dari dulu, gaji dan jatah pegawai negeri itu ada juga yang dibayarkan in natura, Mas. Terutama kalau lagi keadaan gawat. "Sekarang bagaimana kalau demi kesinambungan tata niaga cengkeh dan stabilitas nasional, cengkeh itu dibagikan untuk sementara, menggantikan jatah beras pegawai negeri saja?" "Buat apa cengkeh itu bagi pegawai negeri?" tanya saya geram. "Lo kan sudah dibilang? Buat dibakar kan!" jawabnya enak saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini