NASIB Zainal Arifin dan Iskandar memang mujur. Kendati sudah mengaku melakukan penggelapan -- sekaligus menikmati uang kejahatannya -- toh mereka divonis bebas Hakim Pengadilan Negeri Palembang, Maryati Ahmad, Sabtu dua pekan lalu. "Vonis ini hitung-hitung untuk mendidik jaksa, agar lain kali lebih hati-hati membikin surat dakwaan," kata Hakim Maryati. Kemujuran kedua terdakwa asal Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, itu memang berpangkal dari kekeliruan surat tuduhan Jaksa Hasanusi. Dalam surat itu disebutkan, kedua terdakwa secara bersama-sama telah melakukan tindak kejahatan penggelapan, menjual mobil Daihatsu Taft milik Abdul Halim pada 15 Agustus 1991, atau setidak-tidaknya tahun 1991. Berdasarkan hal itu, Hasanusi menuntut hukuman 3 bulan penjara. Ternyata, di persidangan terungkap bahwa jaksa keliru dalam soal waktu perbuatan terjadi (tempos delicti). Berdasarkan pengakuan terdakwa dan keterangan saksi, penjualan mobil seharga Rp 3 juta itu dilakukan kedua terdakwa pada 15 Agustus 1990, bukan 15 Agustus 1991 seperti dituduhkan jaksa. Menurut Hakim Maryati, justru di situlah letak cacatnya surat dakwaan itu sehingga tak memenuhi isi pasal 143 KUHAP. Pasal ini memang mensyaratkan bahwa sebuah surat dakwaan harus jelas dan lengkap -- termasuk waktu dan tempat perbuatan pidana yang dilakukan terdakwa. Jika syarat-syarat itu tak terpenuhi, dakwaan menjadi batal demi hukum. "Saya hanya memutuskan berdasar KUHAP, kalau putusan itu bertentangan, tamatlah riwayat saya sebagai hakim," tutur Maryati. Disebutkan, sebelumnya ia sudah mengingatkan pada jaksa agar memeriksa kembali dakwaannya. "Rasanya sebagai orang tua saya sudah cukup berbuat. Tapi, karena tidak digubris, ya itulah hasilnya," kata Maryati. Penulisan tanggal yang keliru itu, menurut hakim, bukan karena jaksa tidak cermat atau khilaf, tapi itu dilakukan jaksa dengan sadar. "Buktinya, kesalahan itu ditulis berulang-ulang," ujarnya. Hasanusi sendiri heran sampai bisa kecolongan dan berbuat ceroboh. "Yah, inilah yang dinamakan risiko pekerjaan," katanya. Ia, yang mengaku ditegur atasan gara-gara kasus ini, langsung kasasi (putusan bebas tak bisa dibanding, tapi langsung kasasi). Kesalahan serupa pernah dilakukan Jaksa Y.B. Mulyanto dalam kasus kecelakaan lalu lintas, dengan terdakwa Tukiharjono, di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Jaksa menyebut dalam dakwaannya, kejadian yang menewaskan korban Darsoutomo itu adalah 18 Januari 1984. Ternyata, di persidangan diketahui bahwa kecelakaan itu terjadi pada 18 Juli 1984. Hakim Pengadilan Negeri Bantul pada November 1985 memvonis bebas terdakwa. Agaknya, tak mustahil bahwa kasuskasus sejenis itu -- bahkan yang menyangkut perkara lebih besar -- bakal pula menimpa jaksa lainnya. Cuma masalahnya, bagaimana posisi hakim menghadapi perkara semacam itu, apakah masih tetap bersikukuh pada sikap formalistis, tanpa berani melakukan terobosan untuk mencari jalan keluar. Menurut ahli hukum pidana Universitas Diponegoro, yang juga anggota Tim Penyusun Rancangan KUHP baru, Dr. Barda Nawawi Arif, apa yang dilakukan Hakim Maryati itu untuk menjaga kepastian hukum, dan memang tidak salah. Sebab, aturannya memang begitu dalam KUHAP. Tapi seharusnya, menurut Barda, dalam menghadapi kasus semacam itu -- sewaktu terdakwa jelas terbukti bersalah -- hakim mengambil sikap menghukum terdakwa. Sebab, fungsi hakim yang paling utama adalah menegakkan keadilan. "Jika terjadi perbenturan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim harus mengutamakan keadilan," katanya. Pada masa datang, menurut Barda, vonis hakim seperti itu tak akan terjadi lagi. Sebab, KUHP yang baru sudah mengantisipasinya, dengan memberi pedoman pasti lewat pasal 6: "Jika terjadi perbenturan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim harus mengutamakan keadilan." Aries Margono, Heddy Lugito (Semarang), dan Aina Rumiyati (Palembang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini