Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Dendam anak di bosnia

Anak-anak korban perang di bosnia terancam krisis identitas. perang itu bertujuan memberantas etnis. lebih sulit lagi anak yang lahir dari hasil pemerkosaan massal serbia.

3 April 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG bocah perempuan berumur dua tahun, di Kroasia, tiba- tiba kejang-kejang. Kaki dan tangannya meregang. Tubuhnya berkeringat. Mulutnya berkali-kali mengatakan ''Vukovar''. Menurut kakaknya, bocah itu selalu begitu saat mendengar suara granat. Ia ketakutan karena granat dan bom serdadu Serbia telah menghancurkan Vukovar, desa mereka. Orang tua mereka tewas dalam insiden itu. Di bawah reruntuhan bangunan Kota Sarajevo, Jasmina, 10 tahun, asyik bermain petak umpat dengan lima kawannya. Mereka tak peduli meski peluru mendesing dan roket anti-serangan udara melintas di atas gedung yang hampir roboh itu. ''Kadang-kadang aku takut juga. Tapi aku ingin bermain-main,'' kata gadis cilik berambut pirang dan bermata biru itu. Keinginan Jasmina sebetulnya keinginan lumrah kanak-kanak. Hanya saja, perang di negerinya ikut meruntuhkan kebebasan bermain. Ibunya berteriak setiap kali ia akan melewati pintu rumah. ''Ibu khawatir saya pergi terlalu jauh,'' kata Jasmina sambil mengunyah permen karet. ''Anak-anak tidak bisa disekap terus di dalam rumah. Jika dilarang, mereka berontak. Dengan cara apa pun, mereka akan ber- usaha main ke luar,'' kata Edin Serdarevic kepada tabloid Guar- dian, dua pekan lalu. Ia sendiri terus mengawasi kedua anaknya bermain bersama Jasmina. Ragam tekanan akibat perang yang dialami anak-anak Bosnia berbeda dengan anak-anak korban perang di negara lain. Mereka akan meng- alami fase ''generasi yang hilang''. Perang di Bosnia itu juga ditujukan untuk memberantas etnis bangsa mereka. Contohnya Nusrat, 9 tahun, yang tinggal di Rumah Yatim Piatu Ljubica Ivezic di Sarajevo. ''Ayah berteriak agar saya bersembunyi ketika tentara Serbia datang. Tapi kulihat mereka menembak dan membunuh Ayah,'' kata gadis itu. Ibunya tewas terkena pecahan mortir pada hari yang sama. Jika malam tiba, kata Rune Stuvland, psikolog anak dari Norwegia, yang diperbantukan Unicef untuk membantu anak-anak Bosnia, Nusrat menjerit-jerit. Tubuhnya berkeringat. Katanya, ia bermimpi dikejar lelaki berjenggot. Dalam kehidupan sebenarnya, pria itu adalah tetangga dan kenalan baik keluarganya. Tetapi, setelah perang pecah, pria itu menjadi musuh. ''Pada dasarnya, anak-anak mudah percaya kepada orang,'' kata Stuvland. Tapi apa yang dilihat, didengar, dan dirasakannya kuat tersimpan dalam memorinya. Sewaktu-waktu, memori itu menyentak alam pikiran dan berpengaruh pada perilakunya. Dan trauma itu tergambar seperti film horor. Stuvland kemudian menyodorkan hasil survei atas 75 anak korban perang di Bosnia. Umumnya, mereka ini, menurut psikolog yang pernah membantu anak-anak korban bencana kebakaran di Norwegia itu, mengalami gangguan perilaku. Tandanya adalah mudah kaget, selalu curiga melihat orang asing, dan agresif. Ketika ditanya, tiap empat dari lima anak menjawab bahwa mereka harus waspada karena sewaktu-waktu bisa dibunuh. Separuh lebih dari mereka mengatakan takut akan terjadi pembunuhan massal di sekitar rumahnya. Dan sebagian lagi mengaku tercekam terus karena ada orang yang menunggunya di tempat tidur. Kini diperkirakan ada 62.000 anak di bawah usia 14 tahun di Sarajevo. Menurut pemerintah Bosnia, Serbia membunuh 1.250 anak dan mencederai 14.000 anak lainnya. Mereka kini dirawat di RS Kosovo. ''Empat puluh persen dari mereka tak akan menikmati kehidupan normal. Mereka cacat,'' kata Salhudin Dizdarevic. Dokter yang menjadi kepala bagian bedah anak di RS Kosovo- Metohija itu tiap hari mengamputasi kaki, milik bayi berusia tiga bulan sampai anak berusia enam tahun. Penderitaan mereka makin lengkap dengan predikat anak yatim, atau yatim piatu, setelah keluar dari rumah sakit. Menurut Stuvland, trauma psikologis akibat perang sulit dilenyapkan. Anak-anak itu membutuhkan teman bicara, tetapi mereka sendiri tidak mudah diajak bicara. Begitu trauma terlintas di kepalanya, seketika itu pula perilakunya berubah agresif, panik, atau diam seribu basa. Makhluk kecil ini akan membawa ''cacat jiwa'' seumur hidup. Di Bosnia, anak seperti itu terus bertambah dengan lahirnya anak hasil pemerkosaan. Salah satu strategi Serbia adalah mencemari rahim wanita muslim Bosnia lewat pemerkosaan massal. Sekitar 50.000 wanita menjadi korban. Stuvland sulit membayangkan, seperti apa kelak generasi yang lahir dari ibu-ibu yang menolak kelahiran anak-anak ini. Terpotongnya jalur keluarga karena pembantaian etnis seperti di Bosnia, menurut psikolog Indonesia, Doktor Singgih D. Gunarsa, akan menjadi masalah besar. Anak akan menyimpan dendam yang bisa menggebu-gebu. Begitu pula dengan anak yang lahir tanpa kehendak orang tua hasil pemerkosaan. Ia akan tumbuh dengan problem kepribadian yang kompleks: merasa dibenci, tanpa bimbingan, dan tidak memiliki siapa-siapa. ''Dalam kondisi ini, dia bisa berbuat semaunya. Toh tak ada yang peduli karena 'saya bukan anak siapa-siapa','' kata anggota International Society for the Study of Behavioural Development yang menjadi panitia konferensi dunia tentang perkembangan anak itu. Namun kondisi buruk tadi bisa dihindari jika anak itu mendapat bimbingan psikologis yang memadai. ''Trauma bisa hilang jika pribadi dan lingkungan turut mendukungnya,'' kata Singgih. Sri Pudyastuti R.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus