BELASAN anak-anak balita, berseragam kaus putih serta celana dan topi hijau, berbaris dan berjoget memasuki sebuah bangunan yang terkesan seadanya di bilangan Rawamangun, Rabu sore pekan lalu. Nunuk Sri Lestari, mahasiswi Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Ja- karta, segera mengajak anak-anak ingusan itu duduk lesehan di tikar. ''Ayo kita bernyanyi,'' kata guru muda itu seraya mengajak muridnya berdiri. ''Jangan lemas dong .... Semuanya berputar- putar. Ayo ... nyanyi yang keras.'' Anak-anak kampung itu pun sebisa-bisanya menirukan ajakan Nunuk. Sementara itu, para ibu berusia muda, yang mengantarkan putra- putrinya, ikut bergerombol di pinggiran bangunan, mengawasi anak- anaknya dari lubang jendela kaca nako. Ada yang berpakaian seadanya, bersandal jepit, mengikat rambutnya dengan karet, bahkan ada yang mengenakan daster. Inilah potret sebuah taman kanak-kanak keliling khusus bagi anak-anak balita dari ma- syarakat lapis bawah yang diselenggarakan sejumlah mahasiswa IKIP Jakarta. Menurut seorang ibu, di kampungnya itu sebenarnya sudah ada sebuah TK swasta yang fasilitas pendidikannya komplet. ''Tapi saya nggak kuat dengan biayanya,'' katanya kepada TEMPO. TK swasta tersebut memasang tarif Rp 7 ribu sebulan, plus uang gedung dan sumbangan lainnya. Maka, ketika ada tawaran TK keliling, ia mengikutkan anaknya. Bayarannya tak lebih dari semangkuk bakso, Rp 300 sekali datang. Untungnya lagi, mereka memperoleh jatah makanan lumayan. ''Anak saya sudah nggak nakal lagi,'' kata ibu yang lainnya. Padahal, sebelumnya, anaknya susah disuruh tidur siang ataupun makan. ''Setelah diajari gurunya, ia jadi baik dan penurut,'' katanya. Penyelenggara TK keliling itu adalah mahasiswa IKIP Jakarta yang tergabung dalam Kelompok Sosial Pencinta Anak (KSPA). Kegiatannya adalah menyelenggarakan proyek pendidikan prasekolah bagi masyarakat kalangan bawah, sekaligus sebagai lahan pelatihan bagi calon guru. TK keliling itu dirintis tahun 1982 oleh Himpunan Mahasiswa Psikologi Pendidikan IKIP Jakarta. Dan ide itu muncul ketika mereka melewati kawasan kumuh Senen, yang penuh dengan berseliwerannya anak-anak balita di gang pengap. Kenapa tak sekolah? ''Mereka tak punya biaya,'' kata Zoechro Filbaity, ketua KSPA, yang sepuluh tahun lalu ikut menelurkan ide itu. Berangkat dari situ, para mahasiswa itu sepakat membentuk lembaga pendidikan TK keliling. TK menjadi pilihan karena waktu pendidikannya pendek dan tak terikat oleh kurikulum yang ketat. Maka TK keliling itu dapat dikerjakan secara tak formal, alias sambil kuliah. Mereka mempersiapkan program pendidikan prasekolah itu dengan lebih dahulu memadatkan pedoman pendidikan TK dari Departemen P dan K. Seminggu cukup sekali sekolah. Kebetulan, para mahasiswa yang mengajar hanya punya hari libur setiap Sabtu. Lagi pula, banyak anak yang kurang mendapat perhatian dari orang tuanya. ''Sebab kedua orang tua anak-anak di daerah kumuh itu harus mencari nafkah,'' kata Zoechro. Dan sesuai dengan buku teori yang dipelajari oleh mereka di IKIP, pendidikan pada usia dini itu memang sungguh penting. Pada mulanya mereka bisa mengumpulkan 30-40 anak per kelas. Lalu gagasan itu dijadikan ''proyek besar''. Para mahasiswa IKIP itu segera meluaskan jaringannya. Program TK keliling mereka berhasil menyebar ke 39 lokasi di seluruh Jabotabek. Dengan masa pendidikan delapan bulan, program KSPA itu hingga kini telah meluluskan 2.500 anak TK. Untuk mendapatkan murid, KSPA bekerja sama dengan tokoh masyarakat setempat, termasuk karang taruna dan ibu-ibu PKK. Setelah programnya berjalan, KSPA menyerahkan pengelolaan pendi- dikan itu kepada masyarakat setempat. Ukuran berhasil atau tidaknya TK Keliling itu salah satunya didasarkan pada jumlah lulusan yang dihasilkan. Bila TK itu berhasil meluluskan lebih dari satu angkatan, proyeknya ditingkatkan menjadi TK binaan. Makin lama, ketergantungan pada KSPA kian kecil. ''Seterusnya menjadi TK mandiri,'' kata Diana Shinata, bendahara KSPA. Namun tak semuanya berhasil. Ada sejumlah TK yang gulung tikar. Penyebabnya antara lain dukungan dari masyarakat terasa kurang atau lokasinya jauh dari tempat tinggal. Di samping itu, tenaga guru yang tanpa bayar itu suka absen terutama pada masa ujian semester. Dan tak semua orang tua mendukung proyek itu. ''Terkadang gengsi orang tua murid terlalu tinggi,'' kata Shinta, salah seorang dari 30 guru TK keliling itu, kepada TEMPO. ''Ngapain sekolah di atas tikar,'' ujar Shinta menirukan keluhan beberapa orang tua murid. Itulah yang membuat sebagian TK keliling bubar. Contohnya sebuah TK di Tanahtinggi: semula muridnya 20 orang, belakangan tinggal 5 orang, sampai akhirnya dibubarkan. Setelah sepuluh tahun keluar-masuk kampung, jumlah TK keliling rontok satu per satu. Kini tinggal ada di tujuh lokasi, dengan murid rata-rata belasan saja untuk tiap TK. Namun usaha KSPA tak berhenti. Dengan dana sekitar Rp 800 ribu per tahun, KSPA tetap keluar-masuk kampung untuk menghidupkan atau membuat TK keliling. ''Pokoknya jalan terus. Kalau terpaksa, di bawah pohon pun jadilah,'' kata Nunuk Sri Lestari. Agus Basri dan Nunik Iswardhani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini