Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Menghindari kucing dalam karung

Dalam hal kontrak alih teknologi, yang penting adalah pengaturan ke dalam dari negara masing-masing. pembeli teknologi harus waspada & memperhatikan kecocokan, keefektifan & keuntungan dari teknologi tersebut.

11 Oktober 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penanggap masalah intellectual property right yang dilontarkan Karni Ilyas, setelah sebelumnya kami tampilkan T. Mulya Lubis, yang mengambil gelar Master dalam bidang alih teknologi pada Universitas California, Berkeley kali ini kami munculkan Nyonya Ita Gambiro, wakil ketua komisi UNCTAD, yang menyusun International Code of Conduct on Transfer of Technology. INDONESIA adalah anggota Paris Convention 1883 for the Protection of Industrial Property, dan telah diratifikasikan dengan Keputusan Presiden No. 24 Tahun 1979. Tapi, kita masuk Konvensi Paris itu dengan persyaratan (reservation) terhadap pasal 28 ayat 1, (pengaturan terhadap prosedur penyelenggaraan sengketa akibat hak-hak intelektual) dan Pasal 1 sampai dengan Pasal 12 (berisikan perincian perlindungan terhadap segala macam industrial property right, seperti paten, model, dan merk dagang). Ini, artinya, Indonesia hanya mengadopsi pengaturan administrasinya saja, bukan substansinya. Berbicara mengcnai industrial property right berarti kita berbicara mengenai paten, merk, desain produk industri, model serba guna, indikasi sumber asal atau keasliannya sebagaimana dikenal umum dan pengekangan atas kompetisi yang tak wajar. Dalam intellectual property right kita berbicara mengenai industrial property right dan hak cipta (copy right). Semuanya penting untuk dikaji. Karni Ilyas mencemaskan klaim dari luar negeri, seperti kasus Bob Geldof dan kasus Darmawan di Amerika Serikat, yang menuding Indonesia tukang bajak. Bagaimana sebaliknya? Ciptaan orang-orang kita, seperti artikel, buku, lagu, ribuan jumlahnya yang dibajak orang asing. Tetapi, berita pembajakan hak cipta orang Indonesia oleh orang asing hampir tidak pernah dilansir media massa. Apakah karena kita terlalu toleran? Kita telah punya Undang-Undang Hak Cipta No. 6 Tahun 1982, yang mengatur ciptaan yang dilindungi, siapa yang dianggap pencipta, pembatasan hak cipta, masa berlaku hak cipta, hak dan wewenang menuntut, serta ciptaan orang bukan warga negara Indonesia dan badan asing. Tetapi, undang-undang ini masih dianggap kurang memberikan perlindungan terhadap ciptaan orang asing. Seandainya, dengan penekanan dari luar negeri, kita kembali menjadi anggota Berne Convention, apakah kita telah siap membenahi diri agar tidak timbul klaim baru dari para anggota konvensi? Soalnya, begitu banyak stasiun radio kita, terutama radio amatir, menyiarkan lagu-lagu asing maupun pemuatan cerita-cerita saduran oleh media cetak. Segi lain industrial property right, yaitu merk. Kita sudah punya Undang-Undang No. 21 tahun 1961 tentang merk perusahaan dan merk perniagaan. Tapi UU ini juga dianggap kurang baik pengaturannya, karena tidak mengatur soal lisensi dan penerimanya. Dalam praktek dapat dilihat, untuk menghindari lisensi merk, pada kontrak dicantumkan penyatuan merk dengan pengalihan teknologi, serta pembayaran royaltinya. Kini, hal itu tak perlu dikhawatirkan lagi, karena Undang-Undang Merk sedang disempurnakan. Bagaimana dengan desain produk industri, yang juga tercakup dalam industrial property right? Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang perindustrian telah mengamanatkan bahwa desain produk industri mendapat perlindungan hukum. Desain produk industri seharusnya dipandang dan dipromosikan sebagai suatu komponen inovasi teknologi, khususnya displin pengembangan produk. Desain produk industri erat hubungannya dengan fungsi, bahan baku, teknologi, serta pemasaran. Bukankah bagi barang-barang hasil produksi senantiasa diciptakan desain yang memenuhi selera pasar? Kebutuhan akan barang berkualitas dan berdesain baik memang sudah tidak asing lagi di masyarakat kita. Kesadaran individu dan masyarakat itu erat hubungannya dengan perbaikan-perbaikan kualitas kehidupan. Meningkatnya kesadaran ini, yang era pula hubungannya dengan kemajuan teknologi, membuat perusahaann selalu berjuang untuk menghasilkan kualitas produk yang baik, dan dengan desain yang memenuhi selera pasar. Kini, masalahnya, bagaimana memperkecil jurang teknologi antara negara-negara industri dan negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia? Untuk menutup jurang itu ada dua jalam memperkuat dan membina aktivitas dalam teknologi, serta mengalihkan technical knowledge dan technical know-how dari negara maju ke dalam negeri. Apakah satu-satunya jalan untuk itu dengan mempunyai suatu sistem paten? Tidak. Tapi, sistem paten dapat memberikan sumabangan ke arah itu. Suatu pengaturan hak paten, yang disusun dengan memuat secara umum een uitputtende regeling, efek-efek negatifnya dapat dikontrol melalui pengaturan pelaksanaannya. Kolom Mulya Lubis menyinggung UNCTAD (United Nation Conference on Trade and Development). Tapi ia kurang menjelaskan hubungannya dengan pengalihan teknologi. UNCTAD, yang sudah enam kali bersidang menyusun International Code of Conduct on Transfer of Technology, sampai sekarang masih belum dapat menjelaskan suatu kode yang dapat mengikat secara hukum bagi semua anggotanya. Kelompok negara maju dan negara berkembang masih bersitegang mempertahankan posisi masing-masing dalam penyusunan kode tersebut, terutama menyangkut klausul tentang restrictive business practice, yang sebanyak 14 macam itu. Kelompok negara berkembang mengusulkan enam macam tambahan lagi, terutama menyangkut pembatasan dan larangan yang tidak boleh dicantumkan dalam perjanjian alih teknologi, sehingga mereka sebagai pembeli teknologi dilindungi terhadap kelicikan si penjual teknologi. Hal lain yang masih menjadi masalah adalah perlakuan negara masing-masing dihubungkan dengan kode serta hukum yang diberlakukan dalam kontrak alih teknologi, dan penyelesaian perselisihannya. Bagaimanapun isi kode dapat mengikat negara-negara anggota PBB. Tetapi, yang terpenting adalah pengaturan kc dalam dari negara masing-masing. Misalnya pengaturan tentang kontrak lisensi bagi setiap alih teknologi dapat memperkuat posisi pembeli teknologi dalam negosiasi dengan pihak asing. Dalam penandatanganan kontrak lisensi, si pembeli teknologi juga harus waspada dan memperhatikan apakah teknologi yang dibeli cocok, bisa digunakan secara efektif, dan dapat diterapkan dengan syarat dan harga dalam bentuk royalti yang menguntungkan. Sehingga, apa yang disebut "membeli kucing dalam karung" dapat dihindari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus