Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Dengan berat hati, kata jaksa

Jaksa mulkan djamal dituntut hukuman 8 bln penjara karena terlibat kasus pungli. tertuduh meminta tarif untuk pembebasan mustakim. menteri pan sumarlin yang kebetulan tahu, lalu melacak dan menjebaknya. (hk)

17 Juni 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKSA P. Sitinjak SH, awal bulan ini di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, entah mengapa sampai mengucapkan "dengan rasa berat hati." Ini dikatakannya sebelum menuntut hukuman 8 bulan penjara bagi rekannya jaksa Mulkan Djamal. Jika benar Mulkan Djamal (MD), walau rekan korps kejaksaan sekalipun, memang terbukti melakukan kejahatan korupsi -- apa yang memberatkan hati Kasus jaksa MD sendiri, dapat dianggap menjadi salah satu coneoh dari apa yang selama ini ditunjuk orang sebagai "wajah dewi keadilan masih bopeng" di sini. Semua ini berpautan dengan perkara berikut. Mustakim, tertuduh peristiwa pembunuhan atas Yayang, sejak 14 Pebruari tahun lalu, menjadi tahanan kejaksaan. April 1977 perkaranya dibawa oleh penuntut Wira Muda Jaksa MD (37 tahun) ke muka hakim Setiyono di Pengadilan Negeri Jakarta Barat-Selatan. Perkara sedang berlangsung ketika Zaidi Ishak, kakak tertuduh Mustakim, membezuk adiknya di tempat tahanan. Seperti lazimnya, untuk menjenguk tahanan, Zaidi harus lebih dulu minta izin dari jaksa MD. Sambil-memberikan izinnya, jaksa MD juga memberitahu Zaidi, bagaimana caranya dapat menolong Mustakim. Kurang lebih begini petunjuk sang jaksa: "Untuk membantu adikmu perlu kamu ketahui: ada tiga hakim dan tiga jaksa yang mengurusnya." Entah berlagak pilon, atau memang tak mengerti maksud petunjuk jaksa, Zaidi minta agar MD bicara lebih terang "Seharusnya kamu sudah tahu maksud saya -- sesuai dengan alam Jakarta," kata MD menjelaskan. Oh, ya, Zaidi mengerti. Tapi tak sampai lidahnya untuk langsung melakukan tawar-menawar. Dia tak tahu berapa lazimnya tarif untuk urusan begituan. Belum lagi kemampuan dirinya. Maklum ia hanya pesuruh di kantor Menteri Sumarlin, itu penjabat yang mengurus penertiban aparatur negara kita. Tapi justeru Zaidi itu pesuruh Sumarlin, yang tidak diketahui MD, menunjukkan sebuah bukti lagi tentang ketidak beresan di dunia peradilan. Asal Wajar Saja Paginya, setelah mendapat wejangan MD, dengan polos Zaidi menceritakan kesulitannya kepada bossnya, Sumarlin. Bagi pak Menteri gampang saja: Suyono, stafnya, diperintah untuk menjajaki lebih jauh ke mana maunya MD. 21 April 1977, dengan mengaku sebagai paman Mustakim, Suyono menghadap jaksa MD di kantor Kejaksaan Negeri di Jalan Rambai, Kebayoran Baru. Langsung saja ia minta petunjuk, berapa tarif untuk membebaskan, setidaknya meringankan hukuman Mustakim. Enak saja MD menetapkan tarifnya Rp 1 juta bagi hakim. Bagi dia sendiri? Itu gampang, katanya, "tidak ada target sesuai dengan perintah Kejari (Kepala Kejaksaan Negeri), asal wajar saja." Beberapa hari setelah pertemuan pertama, Suyono benar-benar mengangsurkan Rp 1 juta ke tangan MD di kantornya. Dua hari kemudian, di rumahmakan Lembur Kuring, Senayan (Jakarta), kembali Suyono menyerahkan Rp 500 ribu. Tapi kali ini MD sudah benar-benar masuk perangkap. Setiap aksinya, termasuk ketika ia menerima angsuran uang dari Suyono, dijepret dengan kamera yang menggunakan lensa jarak jauh. Serangkaian foto itulah yang kemudian jadi salah satu bukti di pengadilan. Besoknya, 30 April, jaksa MD membuktikan kehebatan kerjanya. Hakim Setiyono membuka sidang perkara Mustakim tepat jam 8 pagi (biasanya, kalau tidak mulur waktunya, masih bagus kalau sidang bisa dimulai jam 10). Suasana gedung pengadilan masih sepi dari pengunjung, apalagi mata wartawan. Sehingga Setiyono dengan bebas mengetukkan vonisnya: Mustakim bebas! Bak menerima mukjizat, detik itu juga Mustakim sudah boleh pulang ke rumah sendiri. Bukan main, memang! Tak Ada Dalam Berkas Tapi, jaring Menteri PAN seketika turun menjerat MD. Tak sulit mengorek pengakuan: MD mengaku telah menerima Rp 1,5 juta. Yang Rp 1 juta, katanya, langsung diserahkan kepada hakim Setiyono, begitu sidang usai. Tapi hakim, lanjutnya, memberikan setengah bagiannya kepada MD. Jadi MD dapat bagian dari kanan-kiri semuanya Rp 1 juta. Ketika perkara MD diserahkan Menpan ke Kejaksaan Agung, dalam surat 2 Mei 1977, Sumarlin ada menjelaskan keterlibatan hakim Setiyono dalam perkara MD. Tapi, hingga jaksa Sitinjak membacakan tuntutannya, 5 Juni 1978 orang yang ditunjuk Sumarlin tak muncul. Jangankan sebagai tertuduh di samping MD, sebagai saksipun tidak. Hakim Kartini, yang memimpin perkara MD, memang tidak pernah memanggil Setiyono. "Karena ia tidak ada dalam berkas pemeriksaan," katanya. Pun, ia juga memang merasa tak perlu keterangan Setiyono -- walaupun orang itu erat hubungannya dengan MD dalam mengurus Mustakim tempo hari. Dan bagaimana dengan jaksa Sitinjak -- apakah ia juga tak memerlukan Setiyono untuk memperkuat tuduhannya terhadap MD? Sitinjak mengelak. Dia bilang, bukan jaksa yang memeriksa perkara. Tugasnya hanya membawa MD ke sidang pengadilan. Itu saja. Akan hal penjabat di Kejaksaan Agung, seperti Humasnya Tomasouw, menyatakan belum mengetahui duduk persoalannya. Hanya sumber TEMPO di kejaksaan menyatakan, memang agak sulit meletakkan Setiyono baik sebagai saksi maupun tertuduh. "Tidak ada yang melihatnya menerima uang dan ia sendiri pasti tak akan mengaku." Apa kesaksian MD, seperti pengakuannya selama ini, tak cukup berarti? Sudahlah, bukankah ada petugas masing-masing untuk mengurus setiap persoalan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus