BAHASA yang dituangkan dalam skenario film, kemudian diucapkan
oleh pemeran, niscaya lebih disukai, jika bersifat bahasa lisan,
banasa percakapan, jadi bukan bahasa tulisan. Dengan demikian
keakraban lebih tumbuh antara penonton dengan pemain. Bahasa
tulisan dapat membuat pemeran menjadi kaku, mematikan mimik
ekspressinya, mempengaruhi buruk kepada acting. Sedangkan kalau
pakai bahasa lisan, bahasa percakapan, kentara segala sesuatu
menjadi wajar serta lebih santai, dan si pemeran menjadi hidup
permainannya. Sudah barang tentu bahasa lisan yang dimaksud di
sini harus tetap berdasarkan bahasa baku. Selain daripada itu
bahasa skenario hendaknya mengusahakan ekonomi kata, artinya
kata-kata mubazir, yang dirasakan tidak perlu sebaiknya dibuang
saja.
Soal bahasa ini mendapat perhatian pula dari pihak Dewan Juri
Festival Film Indonesia (FFI) 1978. Dalam laporan
pertanggungjawabannya Dewan Juri memberikan pengamatan berikut:
"Bahasa percakapan/logat yang dipakai menunjukkan variasi, mulai
dari logat Betawi, logat Jawa Timur/Madura, sampai logat
Batak/Medan." Selama ini seolah-olah Benjamin dengan lafal logat
Betawinya saja yang merajai film-film Indonesia Tetapi dalam FFI
'78 tampak hal yang menyenangkan yaitu di samping logat Jakarta
mulai muncul logat Jawa Timur/Madura seperti dalam film Suci
sang Primadona atau logat Batak/Medan seperti dalam film
Jakarta, Jakarta atau Duo Kribo. Permainan Ucok Harahap dalam
film belakangan ini dengan bercakap gaya Medannya menurut hemat
saya mengesankan adanya, dan di tangan seorang sutradara yang
baik serta dengan skenario yang tepat, bukan mustahil Ucok kelak
berkembang jadi aktor bagus.
Penggunaan kata tertentu dalam frekwensi tinggi bisa
menyingkapkan rupa-rupa hal, dan sebuah perkataan yang
sebentar-sebentar terdengar ialah boss sebagai sebutan terhadap
si kepala atau sang pemimpin, misalnya dalam ungkapan: "Oke
boss, betul boss" atau "Hei, dengar kata boss, yah." Maka Dewan
Juri FFI '78 mencatat: "Mengherankan bahwa gejala bossy-ism
tiba-tiba kuat. Sembarang orang yang agak menonjol sudah
dipanggil boss oleh kawan-kawannya yang berdisiplin buta. Gejala
sosial apakah yang diperlihatkannya?".
Pengamatan Dewan Juri ini barangkali terlalu jauh mencari-cari.
Sebab seperti kata Umar Kayam kepada saya, pemakaian boss
sebagai sebutan itu sebenarnya lebih banyak hendak menunjukkan
affection, kasih sayang. Mungkin dia benar, karena apalagi dalam
Dewan Film Nasional dia boss saya. Tetapi yang pasti pula bagi
saya ialah gejala bossy-ism tidak memajukan semangat demokrasi.
Pengamatan lain pihak Dewan Juri: "Jika dalam film-film tahun
1950-an, yang wajarnya kita panggil "ayah" atau "bapak" dan
'ibu' sekarang beramai-ramai disebut "papa" dan "mama."
Pergeseran ini bukannya tidak interessant bila ditilik secara
sosiologis. Biarlah saya tidak akan mengejanya di sini, akan
tetapi pengamatan berikut rasanya baik kita renungkan. Dewan
Juri berkata: "Bahasa ataupun kata-kata Barat lebih banyak
terdengar, dan meskipun tempatnya dalam cerita cukup wajar,
pengucapannya oleh sejumlah pemeran terkenal tetap keliru dan
memalukan. Kita memerlukan sutradara-sutradara yang tanu
mengucapkan bahasa asing dengan benar, atau dialog yang
meniadakan kata-kata asing, atau dialoque director khusus."
Memang, agak ganjil kedengarannya, apabila seorang pemeran
melafalkan apaciis ben untuk kata-kata Apaches Band, atau
seorang mahasiswi Universitas Indonesia mengucapkan Psychology
of Woman kedengarannya seperti saikelgi ef wimaan (barangkali
dia bercanda, apa?), atau dalam film Tante Sun seorang pemeran
mengucapkan out of visiyen untuk ungkapan out of fashion. Dan
yang betul-betul top ialan ucapan dalam film Semau Gue yang
menimbulkan kesan bahwa pujangga besar Inggeris Shakespeare
telah menjelma menjadi Sekspir (mentang-mentang sex kini lagi
dapat angin jangan gitu dong).
Sudah barang tentu kita tidak boleh main pukul rata saja. Ada
juga bahasa Inggeris itu diucapkan dengan baik sekali, persis
seperti King's English yaitu oleh Ade Irawan yang bermain
sebagai guru bahasa Inggeris di SMA dalam film Ali Topan Anak
Jalanan. Tetapi kemudian timbul pula pertanyaan apakah suara Ade
Irawan itu suara aslinya, ataukah ada dubbing di situ? Sebab
bila dubbing, maka itu berarti . . . Stop, stop saja, nanti
timbul lagi heboh. Sampai di sini, dari saya Ketua Dewan Juri
FFI '78 yang telah bubar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini