Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

"sekspir" dalam film indonesia

Bahasa yang dipakai dalam film, mulai beragam. ada logat betawi, batak/medan, jawa timur/madura, dll. beberapa kata asing dilafalkan secara salah. ada pergeseran sosial, misalnya "ayah-ibu" menjadi "mama-papa".

17 Juni 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAHASA yang dituangkan dalam skenario film, kemudian diucapkan oleh pemeran, niscaya lebih disukai, jika bersifat bahasa lisan, banasa percakapan, jadi bukan bahasa tulisan. Dengan demikian keakraban lebih tumbuh antara penonton dengan pemain. Bahasa tulisan dapat membuat pemeran menjadi kaku, mematikan mimik ekspressinya, mempengaruhi buruk kepada acting. Sedangkan kalau pakai bahasa lisan, bahasa percakapan, kentara segala sesuatu menjadi wajar serta lebih santai, dan si pemeran menjadi hidup permainannya. Sudah barang tentu bahasa lisan yang dimaksud di sini harus tetap berdasarkan bahasa baku. Selain daripada itu bahasa skenario hendaknya mengusahakan ekonomi kata, artinya kata-kata mubazir, yang dirasakan tidak perlu sebaiknya dibuang saja. Soal bahasa ini mendapat perhatian pula dari pihak Dewan Juri Festival Film Indonesia (FFI) 1978. Dalam laporan pertanggungjawabannya Dewan Juri memberikan pengamatan berikut: "Bahasa percakapan/logat yang dipakai menunjukkan variasi, mulai dari logat Betawi, logat Jawa Timur/Madura, sampai logat Batak/Medan." Selama ini seolah-olah Benjamin dengan lafal logat Betawinya saja yang merajai film-film Indonesia Tetapi dalam FFI '78 tampak hal yang menyenangkan yaitu di samping logat Jakarta mulai muncul logat Jawa Timur/Madura seperti dalam film Suci sang Primadona atau logat Batak/Medan seperti dalam film Jakarta, Jakarta atau Duo Kribo. Permainan Ucok Harahap dalam film belakangan ini dengan bercakap gaya Medannya menurut hemat saya mengesankan adanya, dan di tangan seorang sutradara yang baik serta dengan skenario yang tepat, bukan mustahil Ucok kelak berkembang jadi aktor bagus. Penggunaan kata tertentu dalam frekwensi tinggi bisa menyingkapkan rupa-rupa hal, dan sebuah perkataan yang sebentar-sebentar terdengar ialah boss sebagai sebutan terhadap si kepala atau sang pemimpin, misalnya dalam ungkapan: "Oke boss, betul boss" atau "Hei, dengar kata boss, yah." Maka Dewan Juri FFI '78 mencatat: "Mengherankan bahwa gejala bossy-ism tiba-tiba kuat. Sembarang orang yang agak menonjol sudah dipanggil boss oleh kawan-kawannya yang berdisiplin buta. Gejala sosial apakah yang diperlihatkannya?". Pengamatan Dewan Juri ini barangkali terlalu jauh mencari-cari. Sebab seperti kata Umar Kayam kepada saya, pemakaian boss sebagai sebutan itu sebenarnya lebih banyak hendak menunjukkan affection, kasih sayang. Mungkin dia benar, karena apalagi dalam Dewan Film Nasional dia boss saya. Tetapi yang pasti pula bagi saya ialah gejala bossy-ism tidak memajukan semangat demokrasi. Pengamatan lain pihak Dewan Juri: "Jika dalam film-film tahun 1950-an, yang wajarnya kita panggil "ayah" atau "bapak" dan 'ibu' sekarang beramai-ramai disebut "papa" dan "mama." Pergeseran ini bukannya tidak interessant bila ditilik secara sosiologis. Biarlah saya tidak akan mengejanya di sini, akan tetapi pengamatan berikut rasanya baik kita renungkan. Dewan Juri berkata: "Bahasa ataupun kata-kata Barat lebih banyak terdengar, dan meskipun tempatnya dalam cerita cukup wajar, pengucapannya oleh sejumlah pemeran terkenal tetap keliru dan memalukan. Kita memerlukan sutradara-sutradara yang tanu mengucapkan bahasa asing dengan benar, atau dialog yang meniadakan kata-kata asing, atau dialoque director khusus." Memang, agak ganjil kedengarannya, apabila seorang pemeran melafalkan apaciis ben untuk kata-kata Apaches Band, atau seorang mahasiswi Universitas Indonesia mengucapkan Psychology of Woman kedengarannya seperti saikelgi ef wimaan (barangkali dia bercanda, apa?), atau dalam film Tante Sun seorang pemeran mengucapkan out of visiyen untuk ungkapan out of fashion. Dan yang betul-betul top ialan ucapan dalam film Semau Gue yang menimbulkan kesan bahwa pujangga besar Inggeris Shakespeare telah menjelma menjadi Sekspir (mentang-mentang sex kini lagi dapat angin jangan gitu dong). Sudah barang tentu kita tidak boleh main pukul rata saja. Ada juga bahasa Inggeris itu diucapkan dengan baik sekali, persis seperti King's English yaitu oleh Ade Irawan yang bermain sebagai guru bahasa Inggeris di SMA dalam film Ali Topan Anak Jalanan. Tetapi kemudian timbul pula pertanyaan apakah suara Ade Irawan itu suara aslinya, ataukah ada dubbing di situ? Sebab bila dubbing, maka itu berarti . . . Stop, stop saja, nanti timbul lagi heboh. Sampai di sini, dari saya Ketua Dewan Juri FFI '78 yang telah bubar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus