BILA hakim dan jaksa berantem, rupanya terdakwa yang beruntung. Nasib mujur begitu kini dialami dua terdakwa kasus pencurian kayu hitam di Pengadilan Negeri Palu, Ali Nurdin, 46 tahun, dan M. Natsir Tahir, 48 tahun. Sampai pekan lalu, kejaksaan negeri di situ tak juga melakukan penahanan terhadap mereka. Padahal, pengadilan sudah sejak akhir Januari silam mengeluarkan penetapan penahanan. Kecuali itu, persidangan kasus tersebut juga menjadi berlarut-larut. Padahal, sidang perkara itu hanya tinggal menunggu pledoi dari para terdakwa dan pembelanya. Soal itu kini menjadi pembicaraan antara ketua pengadilan tinggi dan kepala kejaksaan tinggi setempat. Tapi, menurut ketua majelis hakim yang menangani perkara itu, Samang Hamidi, itu semua tergantung pihak kejaksaan, mau atau tidak melaksanakan penetapan tadi. Semula, Natsir dan Nurdin dituduh terlibat pencurian 929 balok kayu hitam, senilai sekitar Rp 100 juta, milik PT Iradat Puri. Pencurian itu terjadi antara Juni 1986 dan Februari 1987 di hutan Bina'a dan Desa Sidoan, Donggala, Sulawesi Tengah. Selain kedua terdakwa, empat pelaku lainnya sudah lebih dulu divonis pengadilan dengan hukuman antara 1 tahun dan 2 tahun 6 bulan penjara. Tapi, untuk kedua terdakwa, sikap jaksa agak lain. Tiba-tiba, pada sidang 30 Januari lalu, Jaksa Hanafie Abduh menuntut pengadilan agar memvonis bebas Natsir. Sementara itu, terhadap terdakwa Nurdin -- seperti juga Natsir, tak ditahan -- jaksa cuma menuntut hukuman denda Rp 5 juta, subsider 6 bulan penjara. Tuntutan itu tentu saja mengagetkan majelis hakim. Sebab, kata Samang Hamidi, selama persidangan kasus itu banyak saksi yang memberatkan terdakwa. Artinya, ada indikasi kuat bahwa kedua terdakwa memang bersalah. Untuk membayar rasa kecewa, masih di hari persidangan itu, majelis langsung menelurkan penetapan penahanan selama 30 hari terhadap kedua terdakwa. Toh hingga pekan lalu pihak kejaksaan merasa tak perlu menahan terdakwa. Sebab, "Penetapan itu mengandung cacat yuridis," ujar Kepala Kejaksaan Negeri Palu, Arjan Lembah. Alasannya, pendapat hakim bahwa terdakwa bersalah sama sekali bertentangan dengan tuntutan jaksa. Lagi pula, tambah Arjan, kalau memang hakim mau menahan terdakwa, mestinya sejak dari awal persidangan. "Kenapa baru sekarang setelah kami mengajukan rekuisitor?" kata Arjan. Hebatnya, sikap "keras" Arjan tak pula meluntur, kendati atasannya -- Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah -- sudah dua kali memerintahkan agar segera melaksanakan penetapan itu. Bahkan penetapan pengadilan sebelumnya, tertanggal 4 Januari 1990 yang memperpanjang penahanan terhadap empat orang terhukum kasus itu, juga tak diindahkannya. Kenyataan itu membuat Hakim Samang tak habis pikir. Seharusnya, katanya, jaksa selaku eksekutor melaksanakan penetapan itu. Apalagi penetapan itu bukannya tak berdasar hukum. "Pada persidangan sebelumnya, terdakwa pernah tidak hadir, bahkan tidak berada di Palu," kata Samang. Namun, karena hukum acara (KUHAP) tak mengatur sanksi apabila jaksa tak melaksanakan penetapan hakim, Samang cuma bisa mengimbau kejaksaan. Ia sendiri mengaku akan melanjutkan persidangan kasus itu pada Senin dua pekan depan. Harapan senada juga diutarakan Pengacara F. Manurung dan Thomas Ihalauw yang membela terdakwa Natsir dan Nurdin. Sebaiknya, kata mereka, hakim dan jaksa segera mencari jalan keluar atas kemelut itu. "Supaya tidak membingungkan pencari keadilan," ujar Manurung. Agaknya harapan itu hanya enak didengar. Sebab, menurut sebuah sumber di Palu, sikap Arjan itu ada "maunya". Arjan, kata sumber itu, sebetulnya sudah menggenggam uang Rp 20 juta -- hasil penjualan sebagian barang bukti kasus itu. Tapi Arjan membantah isu tersebut. "Tudingan itu fitnah dan sama sekali tak berdasar," katanya, seperti dikutip Media Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini