Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Menggugat Mat Kodak

6 orang wanita lulusan fakultas ekonomi universitas trisakti menggugat pt modern foto film co, rama perwira & fotographer jimmy. mereka keberatan, foto mereka sewaktu diwisuda diiklankan tanpa izin.

5 November 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GALIBNYA seorang mat kodak berpikir apa saja dan siapa saja, asal masih di tempat umum bisa dipotret. Apalagi jika yang dipotret tak menyatakan keberatannya. Tapi kali ini seorang mat kodak, Jimmy, tersandung perkara. Bersama PT Modern Foto Film Co. (MFF) dan biro iklan Rama Perwira (RP), ia digugat enam orang wanita lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Para penggugat keberatan karena foto mereka sewaktu diwisuda disiarkan dalam bentuk iklan Fuji Film di tiga media massa, TEMPO, Femina, dan Kartini. Keenam sarjana itu, Novita Murad dan lima rekannya, mengaku kaget tatkala melihat foto mereka terpampang di harian Kompas tanggal 29 Nopember 1987. Dalam gambar itu, mereka tampak berpose dengan kebaya lengkap dan toga hitam di bawah siraman air seusai wisuda pada 6 Oktober 1987. Foto hasil bidikan P. Jimmy T.Y. itu diberitakan sebagai pemenang pertama lomba kategori cetak warna ASEAN Students Photo Salon 1987, dengan judul Hari-Hari Terakhir. Novi dan kawan-kawannya merasa tak pernah diberi tahu ihwal pengabilan gambar itu. Bahkan tak kenal si pemotret. Belakangan barulah Novi tahu bahwa Jimmy, yang kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara, Jakarta, masih teman adiknya. Selanjutnya, menurut Novi, Jimmy pernah menghubungi lewat telepon dan berjanji akan mengirimkan foto itu. "Tapi setelah itu ia tak pernah muncul," ucap Novi, yang kini menjadi asisten dosen di almamaternya. Yang terjadi setelah itu adalah pemunculan gambar serupa di majalah TEMPO. Bahkan kali ini berbentuk iklan sehalaman penuh, dengan embel-embel: Cuaca bukan halangan .... Dapat mengabadikan kenangan pada saat hujan atau dengan cahaya yang minim sekalipun. Tak lama kemudian, iklan yang sama muncul pula di majalah Femina. Iklan-iklan tersebut semakin membuat gusar para penggugat. Sebab, keterangan iklan itu, menurut mereka, tak sesuai dengan fakta. "Iklan itu menipu. Tak ada hujan. Itu siraman air dari lantai atas, sesuai dengan kebiasaan acara wisuda di Trisakti," kata Novi. Selain itu, gara-gara iklan tersebut banyak teman mereka minta ditraktir karena mengira mereka dapat honor sebagai model. Mereka kemudian mencoba minta penjelasan soal itu ke MFF selaku distributor Fuji Film. Tapi MFF menyuruh mereka menghubungi Biro Iklan, RP. Toh protes mereka tak ditanggapi. Malah RP memuat lagi iklan tersebut di majalah Kartini. Penggugat kemudian mencoba menghubungi langsung ketiga majalah yang memuat iklan tersebut. Hasilnya, foto mereka memang tak muncul lagi di ketiga media tadi. Hanya saja, kata Novi, urusan mereka dengan MFF, RP, dan Jimmy tak membuahkan hasil. Sebab itu pula, melalui Pengacara Sahala Pangaribuan dan Aris Budisantoso, 19 Oktober lalu keenam wanita itu menggelar gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Mereka menuntut ganti rugi Rp 600 juta: sebesar Rp 360 juta sebagai kerugian moril, selebihnya merupakan honor mereka karena dijadikan model dalam iklan itu. Tapi MFF menganggap gugatan itu salah alamat. Sebab, MFF hanya bertindak selaku pemesan saja, dan RP-lah yang bertanggung jawab atas iklan tersebut. Biro iklan itulah, menurut pihak MFF, yang merancang dan menyeleksi foto-foto untuk keperluan iklan produk Fuji Film. "Ibaratnya kami ini membeli nasi goreng, tak perlu tahu dari mana nasi atau berasnya dibeli," kata Manajer Promosi MFF, Yunus Asikin. Kendati begitu, Yunus tak habis pikir dengan besarnya tuntutan ganti rugi keenam wanita itu. Padahal, katanya, artis Chintami Atmanagara saja cuma memasang tarif Rp 5 juta untuk iklan selama setahun, atau yang paling mahal tarif Ida Iasha, Rp 20 juta. Pengacara RP, Soedirjo dan Indriyanto Senoadji, menunjuk si mat kodak, Jimmy, pula yang seharusnya bertanggung jawab. Sebab, kliennya, kata Indriyanto, telah menyelesaikan pembayaran foto itu kepada Jimmy sewaktu foto itu akan dijadikan iklan. Dan sesuai dengan ketentuan lomba, foto pemenang otomatis menjadi milik MFF. Artinya MFF berhak sepenuhnya mengiklankan foto tersebut. Menurut sumber TEMPO, pihak RP sebenarnya pernah menyelesaikan masalah itu secara kekeluargaan dengan penggugat. RP konon menawarkan bayaran kepada penggugat masin-masing Rp 2,5 juta. Tapi usaha itu gagal, kabarnya, karena keenam sarjana itu menuntut ganti rugi Rp 600 juta. Jimmy, ketika ditemui TEMPO, mengaku tak menduga jika foto itu akan jadi perkara. Kejadian dalam gambar itu, katanya, berlangsung di depan umum. Bahkan ketika itu banyak juru potret lain yang mengabadikannya. "Karena peristiwanya menarik, ya, saya abadikan. Mereka, waktu itu, juga biasa-biasa saja, tidak marah," kata lelaki yang baru menyandang sarjana ekonomi itu. Menurut Jimmy, foto itu disertakannya dalam lomba di kampusnya. Meskipun menjadi pemenang pertama, Jimmy mengaku hanya memperoleh piala. Ia tak bersedia bicara banyak tentang proses foto itu sampai diiklankan. "Wah, untuk soal itu, kita tunggu saja sidangnya. Saya harus berbicara dulu dengan pengacara saya," ujar Jimmy. Ia hanya mengaku sudah hobi memotret sejak 1983 dan ikut berbagai perlombaan, tapi baru kali ini mengalami masalah seperti itu. Ketua Federasi Seni Foto Indonesia, Prof. R.M. Soelarko, menyatakan tiap kejadian di tempat umum bisa saja dipotret untuk kemudian dipublikasikan. Hanya saja, jika potret itu ternyata diiklankan, barulah ada masalah imbalan uang kepada orang yang dipotret. Tapi bukan soal pencemaran nama baik atau dipermalukan. Sebab, "Fotonya sendiri 'kan tak memperlihatkan baju orang yang dipotret robek atau pahanya kelihatan," kata Soelarko. Dari segi hukum, kelemahan gugatan keenam sarjana wanita itu adalah penekanan tuntutan mereka hanya ke segi perbuatan melanggar hukum. Tak sedikit pun gugatan itu menyinggung-nyinggung soal hak cipta. Padahal, menurut ahli hukum hak cipta, J.C.T. Simorangkir, si pemotret, sesuai dengan undang-undang hak cipta, tak berhak menyiarkan foto itu tanpa izin yang dipotret. "Perbuatan itu jelas sudah melanggar batas kepentingan yang wajar dari yang difoto," kata Simorangkir. Happy S., Tri Budianto S., Budiono Darsono (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus