SETELAH ditembakkan dan berbunyi dor, larasnya pun di-colok-colok agar selongsong peluru yang tetap tinggal di dalam bisa keluar. Karena itulah senjata api itu dinamai dorlok. Karena dituduh membuat senjata jenis itulah tujuh orang tertuduh kini masih terus diperiksa Pengadilan Negeri Serang, Jawa Barat. Tuntutan jaksa yang semestinya berlangsung Selasa pekan lalu tertunda karena Jaksa Thamrin, S.H., tiba-tiba sakit. Tapi sebelumnya jaksa ini menuduh Udin alias Nurdin, 26, Yurani, 25, Ujang alias Maman Suryana, 25, Ahmad alias Khotib, 35, Damanhuri, 25, Jaswira, 25, dan Mad Hujaemi, 25, telah membuat, menyimpan, menyewakan, dan menjual beberapa pucuk senjata api pendek jenis dorlok serta memiliki sejumlah amunisi. Senjata-senjata itu, menurut Jaksa Thamrin, telah dijual atau disewakan para tertuduh untuk melakukan kejahatan. Antara lain kepada kawanan perampok pimpinan Mamung alias Muklisi yang digulung kepolisian Januari lalu. (TEMPO, 11 Februari 1984). Senjata-senjata itu, tutur Jaksa, disewakan para tertuduh dengan tarif Rp 50.000 sampai Rp 100.000 setiap kali pakai kepada kawanan perampok, baik di daerah Banten maupun di beberapa daerah Jawa Barat lainnya. Tiap tertuduh mempunyai peranan sendiri-sendiri. Udin alias Nurdin sebagai tertuduh I, pandai besi yang memiliki bengkel sendiri di Kramatwatu, 20 km di barat daya Serang, bertugas membuat senjata api itu atas pesanan Ujang alias Maman, tertuduh III. Tertuduh II, Yurani, petani Kramatwatu, membuat peluru-peluru senjata api itu. Ia membeli beberapa selongsong bekas peluru berikut mesiu di Serang dan Jakarta. Kepala peluru ia buat dari timah, yang ditatah rapi. Di persidangan peluru buatan Yurani ditampilkan 15 butir sebagai barang bukti. Ahmad (tertuduh IV), serta Yaswira dan Mad Hujaemi, masing-masing sebagai tertuduh VI dan VII, dituduh sebagai perantara yang menghubungkan produsen senjata senjata dorlok dengan Mamun dan gerombolannya. Damanhuri sebagai tertuduh V dikatakan sebagai pengatur pembuatan dan peminjaman untuk para pemakai. (Mamung dkk.). Sejak awal persidangan, para tertuduh pada umumnya secara tak langsung mengakui tuduhan Jaksa. Tapi Udin membantah ia membuat senjata khusus untuk para perampok. Sekitar Oktober 1983, ceritanya, ia didatangi Ujang alias Maman, penganggur, teman sekampungnya. Ujang minta agar Udin mengelaskan, sekaligus membuatkan lubang pada segenggam besi yang ia bawa. "Karena ia menawarkan upah Rp 15.000, langsung saya setujui," kata Udin, "saya tak curiga apa-apa." Bagi Ujang, katanya, senjata itu perlu untuk melindungi diri sebagai pengemudi ojek. "Tapi ketika Mamung ingin menyewanya, bahkan kemudian membelinya Rp 100.000, saya berikan -- ternyata menyewakan senjata itu lebih menguntungkan dari menarik ojek," ujar Ujang mengungkapkan. Di persidangan, hanya ditampilkan dua buah barang bukti pistol dorlok meskipun, menurut Damanhuri, sejak tiga tahun lalu ia telah memesan, bahkan kemudian menjual, lima senjata durlok. Tertuduh ini mengakui senjata itu terbuat dari besi baja bekas tangkai versneling atau bekas kemudi mobil. Bagian-bagian itu dipesannya kepada pandai besi yang berbeda yang tersebar di beberapa desa di kawasan Banten. Pihak kepolisian menduga, masih banyak senjata dorlok yang belum disita. Menurut Kapolwil Banten, Kol. M. Affandi, daerah Banten memang sejak dulu terkenal sebagai pembuat senjata dorlok. Sebab, kata Affandi, setiap pandai besi di daerah ini dapat membuat senjata jenis ini, berlaras panjang dan pendek. Pada zaman perang dulu, senjata ini sempat dipakai untuk melawan Belanda. Tapi kemudian selain dipergunakan para petani untuk mengusir babi hutan, juga dipakai para penjahat untuk menakut-nakuti korbannya. "Tapi jarang terdengar ada orang yang mati karena senjata dorlok," tutur Affandi. Sebab, katanya, pemakainya lebih mementingkan bunyinya yang memang sama dengan senjata api standar ABRI. DENGAN terungkapnya pembuatan senjata dorlok dan tergulungnya para perampok yang menggunakan senjata itu, daerah Banten akhir-akhir ini cukup tenang. Tapi di Sumatera Selatan, sampai bulan lalu maslh tercatat berbagai perampokan yang kebanyakan menggunakan senjata dorlok. Sama halnya dengan Banten, produksi senjata dorlok di Sumatera Selatan juga dikenal sejak lama, lebih-lebih pada masa perang kemerdekaan. Daerah Kabupaten Musi Banyuasin dan Ogan Komering Ilir, yang dikenal banyak pandai besinya, adalah pembuat senjata dorlok terbanyak di provinsi ini. Pertengahan Januari tahun lalu, di Desa Bailangu, Pangkalan Balai, Musi Banyuasin, pihak kepolisian setempat menangkap tangan seorang pandai besi yang tengah membuat lima senjata berlaras panjang dan dua pistol. Dari si pandai besi satu itu saja kemudian didapat pengakuan bahwa selama ini ia telah membuat puluhan senjata laras panjang dan pendek atas pesanan orang-orang yang sebagian kemudian tertangkap karena terlibat berbagai perampokan di daerah ini. Operasi Sapu Jagat rupanya belum seluruhnya membersihkan senjata-senjata api liar, terutama jenis dorlok. Bahkan jenis ini bertambah terus, khususnya di Sumatera Selatan. Sebab, di daerah ini, di beberapa wilayah, membuat senjata api hampir merupakan kerajinan tangan, terutama bagi mereka yang memerlukannya sendiri untuk menjaga kebun dari gangguan babi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini