MEMINDAHKAN bagian tubuh dari tubuh yang satu ke yang lain tidak sulit. Membuat aturan hukum pemindahan dari seorang narapidana pun gampang. Yang tak bisa "sekali jadi" mungkin menyiapkan pandangan masyarakat tentang memindahkan ginjal dari balik tembok bui itu sendiri. Bisa jadi munculnya ginjal donor narapidana membuat donatir yang bukan narapidana menjadi malu disebut donatur. "Bisa-bisa masyarakat semakin enggan menjadi donor bagian tubuh." kata Aslam Sumhudi, menanggapi makalah D.H. Assegaf dalam diskusi panel dua hari di Aula Ditjen Pemasyarakatan Departemen Kehakiman, awal pekan ini. Tukar pendapat yang diselenggarakan Departemen Kehakiman, LBPH Kosgoro, dan PWI yang dihadiri 400 peserta itu seperti diisyarati, melongokkan perhatian ke para pesakitan di balik tembok bui. Tapi tidak seorang pun narapidana dihadirkan di tengah diskusi untuk didengar pendapatnya. Tapi gagasan Menteri Kehakiman Ismail Saleh, awal Mei 1986, soal kemungkinan para narapidana menjadi donor organ tubuh dengan imbalan mendapat remisi istimewa itu, gaungnya memang masih terasa. Ide itu tercetus ketika Menteri menerima Pengurus Perhimpunan Hukum Kedokteran Indonesia. Ada yang mendukung, tetapi juga tak kurang yang menentangnya, waktu itu. Ketua Umum PB IDI, Kartono Mohamad, salah satu yang ada di barisan Menteri. Albert Hasibuan, Anggota Komisi III DPR, bersama Pengacara Adnan Buyung Nasution menghadang gagasan itu. "Jangankan secara hukum, secara moral pun ide itu tidak bisa diterima," teriak Buyung lantang. Azhar Achmad, pengacara yang juga Ketua Umum LBPH Kosgoro, di pihak yang menyetujui gagasan itu. Bahkan dalam makalahnya, yang tidak sedemikian jelas urut bahasannya, tiba-tiba ia sampai pada detail bagaimana mengatur soal narapidana yang akan menyumbangkan bagian tubuhnya. Sepertinya masih butuh waktu lama untuk memahamkan masyarakat tentang hal itu. "Kami yakin reaksi-reaksi yang kurang mendukung gagasan tersebut semata-mata hanyalah karena dikaitkan gagasan tersebut dengan remisi," kata Azhar, koordinator acara tersebut. Tapi Soetomo, Jaksa Tinggi Pengganti Jakarta, justru melihat soal itu sebagai ganjalan. "Asas sukarela tidak terjadi pada diri narapidana. Mereka yang dalam kondisi tidak merdeka itu, bagaimanapun, akan melirik remisi dengan menyatakan kesediaannya menjadi donor. Kalau, misalnya, mereka mencabut kembali kesediaan tersebut sementara remisinya sudah dinikmati, mau diapakan?" kata Soetomo. "Persoalan hukumnya mudah diatur. Yang sulit adalah mempertemukan prinsip sukarela yang tidak dibenarkan menerima kompensasi apa pun dengan pemberian remisi tersebut," Nursyahbani Katjasungkana, Wakil Direktur LBH Jakarta, menambahkan. Persoalan ini memang lama terpaku pada prinsip sukarela. Beberapa peserta, yang mencoba menghadirkan kemungkinan semacam imbal beli bagian tubuh demikian, mental tak beroleh tanggapan. Lepas dari persoalan hukumnya "ginjal remisi" tersebut, suatu hal yang diperkirakan seorang pembicara, Bahrudin Suryobroto, akan membesar adalah peri laku disimulasi atau kemunafikan para narapidana. "Adakalanya terpidana tertentu memperhitungkan dengan cermat bagaimana ia seharusnya berperi laku sehingga mudah dapat mengelabui petugas dan mencapai tujuan yang ia inginkan. Sering kali kita dengar bahwa yang paling lihai di antara terpidana untuk mengadakan manipulasi terhadap petugas adalah mereka yang sering kali keluar masuk penjara," kata Bahrudin, menanggapi makalah Dirjen Pemasyarakatan Hudioro. Tetapi, bila soalnya hanya mencari ginjal, kenapa mesti lari ke lembaga pemasyarakatan? Padahal, dr. Abdul Mun'im Idries, dari Lembaga Kriminologi UI, menyebutkan bahwa setidaknya di tahun 1985 saja pihaknya menangani lebih dari 1.010 pembedahan mayat akibat kecelakaan lalu lintas, pembunuhan, bunuh diri, dan sebagainya. "Hendaknya itu dapat dimanfaatkan sebagai sumber donor," kata dokter forensik FK UI itu, mengemukakan makalahnya. Masyarakat sendiri tampaknya belum siap. Sebagian ada yang berpandangan bahwa diperlukan keutuhan organ tubuh ketika akan menghadap Tuhan. "Tetapi ini sekadar pandangan hidup belaka. Jadi, bukan didasari keyakinan agama," kata Aslam Sumhudi, dosen FISIP UI. Toh, diskusi itu bukan tanpa hasil. Setidaknya Hakim Agung Bismar Siregar dengan spontan membuka diskusi tersebut dengan kesediaan menyumbangkan bagian-bagian tubuhnya yang masih bisa digunakan kepada orang lain. Eko Yuswanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini