MALAM itu, tiba-tiba saja massa menyerbu. Batu beterbangan dan pentungan menghantam kian kemari. Sasarannya sebuah rumah di Kampung Yosodadi, Metro, Lampung. Genting, kaca jendela, pesawat televisi, dan perabotan pun remuk. Juga sebuah mobil pick up ikut hancur kena gempur. Untungnya, si empunya rumah beserta dua istri dan 20 anak - memang 20 anak, konon dari enam istri - sempat menghindar. Rumah itu adalah rumah Zahiri, jaksa yang bertugas di Kejaksaan Negeri Metro. Massa marah karena jaksa itu diduga telah memperkosa seorang gadis berusia 22, dan kemudian meninggalkannya begitu saja di tengah jalan. Menurut sumber di Kejaksaan Tinggi Lampung, Zahiri kini tengah diperiksa. Dan konon ini bukan kasus perkosaan pertama kali yang dituduhkan kepada Zahiri. Tahun 1984, kata sumber itu, yang bersangkutan diturunkan pangkatnya, dari madya darma menjadi muda darma, gara-gara kasus yang sama. Penyerbuan ke Kampung Yosodadi itu terjadi malam hari, 23 April lalu. Sehari sebelumnya, menurut ayah korban, Sudarti baiklah, gadis itu disebut dengan nama ini diajak tersangka ke rumah Kepala Kejaksaan. Katanya untuk mengurus lamaran Sudarti, yang ingin bekerja di kantor kejaksaan. Karena yang membawa jaksa Metro itu sendiri, dan dikatakan ada pula dua teman Sudarti yang akan mengurus surat lamaran juga, meski hari sudah sekitar pukul 7 malam, ayah Sudarti melepas anaknya tanpa curiga. Baru setelah anaknya meninggalkan rumah, ayah yang pejabat di Kecamatan Batanghari itu punya firasat buruk - entah mengapa. Ia menyuruh anaknya yang lain mengecek ke Kejaksaan Negeri Metro, dan ke rumah Kepala Kejaksaan. Gadis manis tamatan SMEA itu ternyata tak ada di dua tempat tersebut. Tentu saja tidak. Kata Sudarti kepada TEMPO, ia dibawa ke Sukadana, sekitar 35 km dari Metro. "Dia bilang, saya akan dibawa ke rumah dukun. Kata Pak Jaksa, supaya lamaran diterima tiga syarat harus dipenuhi: uang, beking, dan dukun," tutur Sudarti. Konon, Zahiri memang pernah meminta Rp 200 ribu, dan ayah Sudarti menyanggupinya. Tiba di sebuah rumah, rumah seorang dukun, kata Sudarti, korban mengaku langsung didorong ke dalam kamar dan disergap. Ia mencoba berontak, tapi apa daya seorang gadis menghadapi lelaki yang sudah beringas. Menjelang pagi, Sudarti merasa tubuhnya sakit. Esok harinya, ia diantar pulang. Tapi di tengah jalan, sekitar 1 km dari rumahnya, ia diturunkan begitu saja. Sore harinya - setelah ayah Sudarti menyuruh salah seorang anaknya melapor ke polisi - kabar tentang kejadian itu menyebar. Dan kemudian, entah bagaimana, berlanjut dengan penyerbuan ke rumah Zahiri. Menurut sebuah sumber di kejaksaan, konduite tersangka memang tak begitu baik. Khususnya yang berkenaan dengan wanita. Zahiri, lulusan Sekolah Hakim dan Jaksa (SHD) Surakarta awal 1960-an - sekolah ini sudah bubar - dikabarkan pernah menikah enam kali, dan kini istrinya yang resmi ada tiga. Yang dua orang tinggal bersama serumah di Kampung Yosodadi. Satu lagi, istri tua, ada di kampung lain. Sayang, Zahiri, yang bekerja di Metro sejak 1963, tak bisa ditemui. Ada apa sebenarnya dengan dirinya: dalam hal kasus Sudarti, juga kondisi kejiwaan Zahiri sendiri jangan-jangan ada yang menyebal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini