Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) meminta KPK mengembangkan kasus korupsi rumah dinas DPR di Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“KPK perlu mengembangkan ke mana aliran dana hasil mark up-nya. Apakah hanya dinikmati orang per orang atau sekelompok orang, atau ke partai politik tertentu,” kata Sekretaris Jenderal Fitra Misbah Hasan kepada Tempo pada Selasa, 12 Maret 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, korupsi pengadaan peralatan rumah dinas di Setjen DPR menggunakan modus klasik yakni mark up anggaran dan menurunkan kualitas barang. Sebab itu, KPK perlu menginvestigasi perihal transparansi proses penetapan anggaran pengadaan sarana prasarana rumah dinas DPR itu.
“Proses lelang dan penentuan pemenang lelang, hingga ada tidaknya fee/kick back bagi pejabat Setjen DPR dan BURT (Badan Urusan Rumah Tangga) DPR. Celah ini yang selalu dimanfaatkan oleh Setjen DPR untuk mendapatkan keuntungan,” katanya.
Begitu juga dengan para anggota DPR yang mendapati sarana prasarana hasil pengadaan barang jasa (PBJ). Jika barang tak sesuai dengan spesifikasi, seharusnya anggota DPR bisa melaporkannya ke BURT.
“BURT juga harus aktif mengawasi kualitas proses dan hasil PBJ DPR. Ini yang saya rasa tak terjadi,” katanya.
Peneliti Fitra Gulfino Guevarra mengatakan, sejak 2016 hampir setiap tahun dia selalu mengkritisi indikasi penyelewengan anggaran DPR. Sebelumnya, dia mengkritisi pengadaan DPR seperti tes urine dan pakan ternak.
“Soal rumah dinas, kami sudah mengingatkan di 2022 bahwa itu tak masuk akal. Tetapi sepertinya Sekjen tutup mata dan telinga dengan mengabaikan masukan masyarakat dan terbukti hari ini KPK mengendus ada indikasi korupsi,” katanya.
Ia juga menyoroti perihal kebermanfaatan rumah dinas dengan anggarannya, mengingat ditemui rumah dinas DPR tak terpakai, pun dipakai juga oleh tenaga ahlinya. “Kemanfaatan dan dampaknya apa dengan pengadaan yang luar biasa mahal dan megah terhadap kinerja anggota DPR? Tak ada korelasi,” ujarnya.
Gulfino pun meminta KPK agar menindaklanjuti masukan masyarakat supaya anggaran negara bisa maksimal diterima oleh masyarakat. “KPK harus bertindak, jangan hanya di level DPR saja tapi ke daerah, supaya masyarakat punya kepercayaan kembali ke KPK dan penerintah,” katanya.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengungkap ada mark up harga dalam kasus dugaan korupsi rumah dinas DPR RI pada tahun anggaran 2020. “Ada persekongkolan. Katanya mahal, padahal di pasar enggak sebesar itu," katanya di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu, 6 Maret 2024.
Melansir laman LPSE DPR, terdapat empat pengadaan kelengkapan sarana Rumah Jabatan Anggota (RJA) DPR pada tahun anggaran 2020 untuk satuan kerja Sekretariat Jenderal DPR.
Pengadaan yang dimaksud, yaitu kelengkapan sarana RJA DPR Ulujami dengan harga perkiraan sendiri (HPS) Rp 10 miliar; pengadaan kelengkapan sarana RJA DPR Kalibata Blok A dan B dengan HPS Rp 39,7 miliar; pengadaan kelengkapan sarana RJA DPR Kalibata Blok C dan D dengan HPS Rp 37,7 miliar; dan pengadaan kelengkapan sarana RJA DPR Kalibata Blok E dan F dengan HPS Rp 34 miliar.
Pilihan Editor: Pegawai KPK Novel Aslen Tilap Uang Perjalanan Dinas Rp 550 Juta, Peneliti Antikorupsi: Rusak dari Kepala ke Ekor