SIKAP mereka sebagai suami-istri memang tampak berlebihan:
Bonnie tak malu-malu mencubit "suaminya", Jossie, di muka tamu.
Jossie pun tak canggung-canggung membalas dengan menepuk pantat
"istrinya". Tapi, percayalah, Jossie dan Bonnie -- keduanya
wanita -- telah melangsungkan "resepsi perkawinan" pertengahan
bulan lalu di Swinging Pub Bar, Blok M, Jakarta Selatan.
Sehingga mereka merasa berhak menyebut diri sebagai sepasang
suami-istri yang sah.
Aneh? Begitulah. Mereka adalah sepasang wanita, lazim disebut
lesbian, pertama di Indonesia yang terang-terangan mengumumkan
hubungan mereka dalam suatu resepsi. Ketika itu Jossie, 25
tahun, tampan dengan stelan jas putih kebiru-biruan dan berdasi
kembang-kembang merah. Dan Bonnie, 22 tahun, tampak makin manis
dalam gaun panjang merahnya.
Bonnie memotong kue pengantin. Jossie mulai menyuapi
pengantinnya. Hadirin, sekitar 120 orang, bertepuk tangan.
Mereka lalu menerima ucapan selamat bahagia & menempuh hidup
baru dari para yang hadir -- termasuk dari orang tua dan
keluarga masing-masing. Selesai berpesta, pengantin tersebut
pulang ke rumah mereka, di bilangan Pejaten (Jakarta Selatan).
Di ruang tamu rumah mereka, yang merangkap sebagai toko makanan
kecil, Jossie dan Bonnie bercerita. Jossie memulainya dengan
gaya yang cukup jantan. Sejak kecil, Jossie, indo-Belanda, lebih
merasa dirinya sebagai laki-laki daripada perempuan. Orang
tuanya pun, katanya, sebenarnya mengharapkan kelahirannya
sebagai laki-laki. Itulah sebabnya ia lebih suka -- dan boleh --
bermain pistol-pistolan dan berpakaian koboi daripada boneka.
Pemeriksaan seorang ahli, katanya, menyatakan tubuhnya memang
dikuasai hormon laki-laki (75%). Dengan begitu tak aneh bila
Jossie enggan mengenakan rok. Berangkat sekolah misalnya, ketika
duduk di SMA Santa Maria, Jakarta, ia memakai celana panjang. Di
sekolah barulah ia menggantinya dengan rok.
Ketemu Di Penjara
Di sekolah Jossie dijuluki si banci. Tapi sedikit yang berani
meledeknya. Sebab Jossie, pemegang sabuk cokelat yudo, tak
segan-segan melabrak teman laki-laki maupun wanita yang
mengejeknya. Dengan tato di tangannya, Jossie seperti hendak
menggaris bawahi kelaki-lakiannya.
Jossie memang suka berkelahi untuk menunjukkan dirinya sebagai
laki-laki -- di samping mengambil pacar wanita. Untuk
"keberandalannya" itulah ia terpaksa masuk tahanan polisi. Di
dalam tahanan, lucunya, Jossie malah ingin diperlakukan sebagai
wanita. Bukan apa-apa, katanya, berkumpul bersama dengan tahanan
laki-laki bisa runyam -- sebab cerita tentang tahanan yang
memelonco tahanan baru pernah didengarnya. Polwan yang memeriksa
keadaan fisik Jossie, mau tak mau, tentu memenuhi keinginan
Jossie.
Di dalam tahanan wanita itulah Jossie berkenalan dengan Bonnie,
sesama tahanan, yang juga kena perkara urusan "kenakalan".
Bonnie, juga indo-Belanda, sebelumnya katanya normal-normal
saja: berpacaran selalu dengan laki-laki. Namun, begitu
berkenalan dengan Jossie, katanya, "barulah saya menemukan wajah
idaman." Lebih dari itu, kata nyonya rumah muda lulusan SMEA ini
Jossie memang pintar merayu.
Keluar dari tahanan, kata Jossie, mereka berpacaran. Keluarga
Bonnie mula-mula mengira pacar anaknya tersebut-seperti yang
sudah-sudah -- tentu laki-laki adanya. Tapi Jossie ternyata
cewek, dan tiba-tiba pula mengajukan lamaran untuk mengawini
Bonnie. Namun, menurut Jossie dan Bonnie, keluarga mereka
akhirnya toh dapat memahami (lihat box).
Pagi-pagi, kata Jossie, "Saya sudah mengira tak mungkin kawin
secara hukum." Gereja -- Jossie dan Bonnie beragama Katolik --
dan Kantor Catatan Sipil yang mereka hubungi tak bersedia
mengesahkan pernikahan keduanya. Tapi dengan mengumumkan
pernikahan di sebuah bar, mereka merasa telah melakukan ikatan
suami-istri secara sah.
Menurut Pengacara Minang Warman, selagi Jossie tetap berstatus
hukum sebagai wanita, sulit bagi keduanya untuk memperoleh
pengesahan hukum perkawinan mereka. Sebab, begitulah,
undang-undang yang ada (UU Perkawinan maupun hukum agama), hanya
mengatur perkawinan antara laki-laki dan wanita saja. Vivian
misalnya, dapat menikah dengan laki-laki lainnya setelah ia
dibantu Minang Warman memperoleh status hukum sebagai wanita
dari pengadilan beberapa tahun lalu dan untuk memperoleh
sebutan wanita secara hukum, kata Minang, Vivian harus menjalani
operasi kelamin -- mengubah kelamin laki-laki jadi wanita.
Adalah Bonnie yang tak menginginkan Jossie bertukar kelamin.
Jika "suaminya" berani bongkar-pasang kelamin, seperti
diceritakan Jossie, "lebih baik saya kawin dengan lelaki normal
saja." Sebab keadaan sekarang, meski perkawinan mereka tanpa
disahkan undang-undang maupun suatu agama, "yang penting kami
happy."
Bonnie ingin berdikari -- sekarang keduanya tinggal di rumah
orang tua Jossie. Ia bekerja pada Robby Tjahjadi (yang pernah
dihukum sebagai penyelundup mobil). Jossie belum punya pekerjaan
tetap. Menurut Harian Pos Kota, hubungan seksual mereka
baik-baik saja, saling memuaskan. Kalau ada yang bertanya:
bagaimana caranya? Keduanya akan menjawab "Persis seperti yang
pernah anda lihat di buku-buku . . . "
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini